“Segala sesuatu yang dilakukan terus-menerus itu akan menjadikannya klise dan berpotensi kehilangan maknanya,” begitu kira-kira jawab Greg Graffin, frontman Bad Religion dan penggagas “A Punk Manifesto” itu, kalau ditanya tentang hal-hal yang mapan dan sudah menjadi ritual. Saya lumayan setuju dengan itu. Makanya, ketika Kang Wiro tadi pagi meminta para peserta hajatan #31HariMenulis untuk menulis tentang dampak psikologis dari menulis terus-menerus selama 15 hari ini, saya langsung siap menerima request itu. Apa dampaknya? Ternyata sangat besar bagi saya. Yang jelas, ada banyak keasyikan, plus saya jadi punya satu bilik tersendiri dalam otak saya. Apalagi ini?
Begini ceritanya:
Sebenarnya, saya mulai menulis seri non-stop ini beberapa hari terakhir bulan April. Niatnya adalah menulis tentang semua pengalaman Ramadhan yang masih tertinggal di ingatan. Semacam pengecekan terakhir dan backup hasilnya menjelang usia 40 (yang katanya ditandai dengan semakin gencarnya degenerasi fungsi-fungsi tubuh). Saya beri judul seri tulisan itu “Nostalgia Ramadhan.” Tapi, dua hari menjelang Mei, saya melihat tweet Mas Jaki tentang akan adanya hajatan “31 Hari Menulis,” yang diadakan alumni Komunikasi UGM. Nah, saya langsung melihat ini sebagai motivasi bagi saya. Kayaknya ini lebih asyik lagi. Saya jadi punya target minimal berapa tulisan lagi untuk nostalgia Ramadhan itu. Maka, projek Nostalgia Ramadhan itu pun akhirnya memiliki nama baru: “31 Hari Menulis Nostalgia Ramadhan.”
Ternyata, hey, hey, ternyata, aturan #31HariManulis menghadirkan elemen lain dalam projek hura-hura itu. Menurut aturan #31HariMenulis, setiap hari kita harus setor tulisan. Tidak ada kompromi. Ada aturan bahwa yang skip sehari akan kena denda. Bagi saya, aturan ini ternyata mengasyikkan: dia mempersempit ruang saya. Ada satu batasan yang harus saya ikuti: setiap hari harus menulis, tanpa alasan lain. Sebenarnya dendanya sih biasa. Saya yakin masih bisa membayarnya kalau saya sampai kena—kalau uang saya sendiri nggak ada, mungkin saya masih bisa pinjam sana-sini. Tapi, yang lebih mengasyikkan adalah mengalahkan diri sendiri agar tetap ada di koridor ini. Kadang-kadang, saya memang suka kalau berhasil mengalahkan diri sendiri, hasrat sendiri, keliaran sendiri. Saya jadi merasa bisa mengendalikan bagian-bagian dari diri saya yang tidak jinak (yang memang seringkali saya pelihara agar tidak jinak-jinak amat). Intinya, keasyikan pertama dari aturan #31HariMenulis adalah dia memberi saya alasan untuk sesekali menjinakkan bagian-bagian liar di diri saya, memojokkannya ke satu sudut sempit, dan menuntutnya sesekali patuh.
Dari adanya koridor menulis harian ini, tanpa sadar saya membangun satu bilik baru di otak saya. Yang saya maksud bilik baru di sini tentu saja metaforis, semetaforis kumisnya Pak Dhe Heru Sutimbul. Tuntutan untuk menyiapkan tulisan setiap hari tanpa ada kompromi itu memaksa saya untuk membayangkan apa yang harus saya tuliskan besok. Hal ini biasanya terjadi kalau saya sedang rehat sejenak, sedang tidak mengerjakan tugas-tugas harian standar seperti menyiapkan materi ngajar, merekam materi ngajar pakai Zoom, membaca, dan lain-lain. Terkadang, lesatan pikiran rencana topik yang akan dibahas besok itu baru setengah matang ketika tiba-tiba saya harus menjalankan tugas lainnya. Akhirnya, saya pun harus meninggalkannya. Nah, waktu saya akan meninggalkannya itu, saya selalu mencoba mengingatnya dengan harapan nanti, ketika ada kesempatan lagi, gagasan setengah matang itu masih belum hilang. Di awal-awal, gagasan-gagasan setengah matang itu sering nyaris hilang, tapi tidak sampai hilang. Jadinya, ketika saya mengunjungi lagi gagasan setengah matang itu, saya merasa seperti mendatangi lagi sebuah kamar tempat gagasan setengah matang itu teronggok dan siap disentuh dan diolah lagi–seperti clay di lagunya Pearl Jam itu. Akhirnya, lama-kelamaan, ruangan itu menjadi bilik metaforis di otak. Untuk menjaga bangunan bilik itu agar tetap kokoh, akhirnya saya membuat spreadsheet yang isinya adalah gagasan-gagasan yang telah saya garap dan yang nanti bisa saya garap. Dengan bantuan spreadsheet ini, kamar itu jadi makin kokoh karena saya tahu bahwa kalau sampai saya melupakan sesuatu, ada spreadsheet yang bisa membantu saya untuk mengingatnya lagi. Begitulah, saya jadi punya bilik #31HariMenulis Nostalgia Ramadhan.
Pada hari ke-16 ini, bilik itu saya datangi tapi hanya untuk melihat-lihat. Saya tidak mengambil sesuatu dari sana untuk diolah dan dipajang di blog. Bilik itu saya kunjungi hari ini saya untuk memastikan dia ada. Besok, saya akan ke sana, mengambil satu bahan, mengolahnya dan kemudian akan saya pasang di blog.
Yang ketiga adalah, saya jadi berani bermimpi tentang sebuah buku. Sejauh ini, selain skripsi-skripsi yang pernah saya tulis, saya belum pernah membuat proyek satu buku yang utuh membahas satu tema saja. Buku Ekskavasi itu adalah kumpulan serpihan-serpihan yang kemudian saya buatkan tali penghubung. Tapi, setelah menjalani #31HariMenulis dan secara kontinyu menulis tentang nostalgia Ramadhan dari tiga fase hidup (fase Sidoarjo, fase Malang-Kediri, fase Arkansas), saya jadi mulai membayangkan plot, menaksir apakah kiranya nanti saya bisa menjadikan tulisan-tulisan ini sebuah tulisan yang utuh tentang satu topik. Dan sepertinya, kalau saya masih bisa menjaga energi dan semangat ini, hal yang semacam itu sangat mungkin terjadi. Paling tidak, setelah semua ini berakhir, saya setidaknya punya draf kasar barang 30 ribuan kata yang bisa saya tambahi atau kurangi atau tajamkan atau percantik agar bisa jadi draf buku yang utuh. Nah, itu mimpi kawan, itu mimpi. Tapi, mimpi semacam ini penting buat saya, karena sebelumnya saya belum pernah punya mimpi seperti itu. Paling tidak sekarang ada mimpi. Kan kata Walt Disney “if you can dream it, you can do it.” Betul, nggak?
Nah, yang paling pamungkas (tanpa harus menjadi One Only), saya jadi merasa punya komunitas menulis baru. Dari dulu saya selalu punya teman-teman yang suka menulis, suka saling baca, saling menyemangati. Tapi, biasanya kami menulis di tempat yang berbeda-beda, waktu yang berbeda-beda, dan topik yang berbeda-beda. Sekarang, meskipun tempat dan topiknya tetap beda, paling tidak kami punya waktu menulis yang saya. Tiap hari pasti menulis. Pada awalnya, saya menulis setelah sahur selama 15-20 menit sebagai sebuah ritual sekuler. Tapi, lama kelamaan saya jadi ingin mencoba mencari waktu-waktu lain. Saya coba menulis pada jam 9 malam ketika anak saya sudah mulai masuk kamar. Pernah juga saya menulis pada jam 10 malam sampai jam 11 malam. Alasannya melankolis: siapa tahu penulis-penulis lain menulisnya malam, terutama menjelang deadline. Saya ingin menulis bareng mereka pada saat yang sama. Siap tahu ketika saya memencet huruf “a,” ada juga penulis lain yang juga memencet “a.” Siapa tahu ketika saya menulis “ketika,” ada penulis lain yang juga menulis “ketika.” Terlalu melankolis ya saya? Kayaknya ini dampak kebanyakan nonton film-film komedi romantik di akhir-akhir masa kuliah. Tapi, saya harus tekankan di sini bahwa saya benar-benar senang merasa memiliki komunitas menulis baru meskipun hanya sedikit saja yang saya benar-benar kenal.
Daripada saya semakin berlarut-larut dalam melankolia, saya pungkasi dulu tulisan hari ini. Kalau Bang Wiro dan tim ingin mendapat ketegasan, saya tegaskan bahwa #31HariMenulis Nostalgia Ramadhan ini benar-benar menggairahkan buat saya. Saya banyak melakukan “challenge menulis” secara pribadi (misalnya menulis seri postingan tentang Studio Ghibli atau seri postingan tentang perjalanan-perjalanan seminar), tapi challenge menulis yang ketat dan masif semacam #31HariMenulis ini jelas memberikan dampak yang tak mungkin saya dapatkan dalam challenge pribadi. Mungkin ini akan menjadi awal petualangan saya mencari challenge. Semoga istri saya tidak protes. Alih-alih challenge mengisi blog, dia sejauh ini lebih berbahagia kalau saya ikut challenge mengisi buku tabungan. XOXO. Okelah, Bang Wiro, cukup ya? Salam cinta dari bumi Kanjuruhan.