Dalam diskusi di grup Facebook Apresiasi Sastra, Sarwo Ferdi Wibowo bertanya:
… bagaimana mas menerjemahkan peribahasa atau ungkapan dalam sastra? Menerjemahkannya begitu saja (apple to Apple dengan apel dengan apel) atau memilih peribahasa dengan makna serupa dari bahasa Indonesia?
Tentu pertanyaan ini lebih menyasar pada strategi yang saya pakai sendiri. Untuk itu, saya pun menjawab seperti ini:
Untuk kasus-kasus seperti ini, ada dua pilihan. KIta bisa a) memutuskan untuk mencari peribahasa dlm bahasa Indonesia yang memiliki makna setara dengan bahasa Inggris, atau b) memberikan langsung makna dari peribahasa dalam bahasa Inggris itu. Kalau memilih yang pertama, tentu kita perlu kerja keras. Tapi ada kalanya bisa dilakukan dan kita bisa memberikan kekayaan bahasa yang ya kira-kira setara dengan kekayaan bahasa aslinya lah. Kalau memilih yang kedua, maka pesan lebih tersampaikan meskipun akhirnya aspek kekayaan bahasa jadi tidak setara. Kalau menerjemahkan secara literal seperti “apple to apple” menjadi “apel dengan apel”–saya pribadi mencoba menghindari yang seperti itu.
Pada prinsipnya, ada dua sikap penerjemah yang bisa dipilih untuk menerjemahkan karya sastra. Yang pertama, memilih untuk memihak kepada teks. Kalau sikap ini yg kita ambil, ya berarti kita berusaha sebisa mungkin mewakili segala aspek dan kekayaan teks bhs Inggris ketika menerjemahkan ke bahasa Indonesia. Secara teknis, sikap ini disebut “sourcerer” (berorientasi kepada teks sumber). Yang kedua, kita bisa memilih memihak kepada pembaca. Yang dimaksud di sini adalah kita buat pembaca senyaman mungkin dengan teks, bisa memahami dan menikmati ceritanya. Kalau mengambil sikap yang kedua ini, kita mungkin akan sering melakukan penyederhanaan-penyederhanaan atau mencari padanan yang kurang lebih mewakili maksud dari teks asli. Sikap kedua ini biasanya disebut sebagai “targeteer” (berorientasi kepada target). Kedua-keduanya sah untuk dijadikan sikap dalam menerjemahkan.
Karya-karya sastra yang bagus biasanya memiliki kedalaman dan kekayaan isi sekaligus bahasa. Tapi, tidak bisa dipungkiri juga bahwa banyak orang yang membaca karya sastra untuk mendapatkan kenikmatan hiburan atau kenikmatan berimajinasi (yang nantinya mungkin bisa mengarah ke mengambil nilai-nilai dari sana). Penerjemah yang memilih untuk mempertahankan semua aspek dari kekayaan isi dan bahasa itu mungkin akan cenderung menjadi penerjemah yang sourcerer. Sementara itu, penerjemah yang lain, yang ingin orang lain juga menikmati karya sastra tertentu sebagai karya yang bisa dinikmati, mungkin akan memilih mengambil sikap targeteer.”
Kalau sidang jamaah blog tertarik membaca lebih jauh perihal ini, silakan lihat buku agak lawas berjudul Literary Translation: A Practical Guide karya Clifford E. Landers.