Pada sesi diskusi di grup Facebook Apresiasi Sastra, kang sigit mengajukan pertanyaan pancingan begini:
Sapardi pernah mengatakan, bahwa kerja terjemahan itu adalah sebuah penciptaan karya baru. Bagaimana pandangan Cak Wawan?
Untuk itu, saya menjawabnya begini:
Menurut saya nggak gitu-gitu amat, Kang. Haha. Menurut saya Pak Sapardi ekstrim kalau sampai bilang begitu. Pada tataran tertentu mungkin itu betul, karena memang tidak semua hal yang ada di satu budaya itu ada padanannya di budaya lain (baik padanan kata maupun padanan eksistensinya). Makanya ada yang kemudian disebut “transkreasi” itu, yang kasarannya bisa disebut sebagai “terjemahan kreatif.”
Konsep ini awalnya diperkenalkan penerjemah Mahabharata ke bahasa Inggris, P. Lal. Banyak hal yang tidak ada di Mahabharata yang harus dihadirkan secara kreatif dalam bahasa Inggris agar tetap asyik dan maknanya tertangkap. Belakangan, konsep ini lebih dekat dengan penerjemahan untuk iklan dan bahkan copywriting. Tapi, secara umum, transkreasi bisa kita pahami sebagai usaha menerjemahkan kata-kata atau kalimat dengan kesadaran yang tidak dibelenggu oleh batasan linguistik dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah terkait hal-hal yang tidak bisa diterjemahkan dengan mudah.
Tapi, Kang, kan tidak semua dalam penerjemahan sastra Inggris itu tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kita penerjemah ya harus rendah hati lah memahami apa maunya teks tersebut, dan kemudian mewakilinya dalam bahasa Indonesia. Kita penerjemah ini bisa dibilang cuma perantara saja seberat apa pun usaha yang telah kita lakukan.
Jadi … kalau penerjemahan itu disebut sebagai menciptakan karya baru, menurut saya ya kurang tepat.
Untuk kawan-kawan yang ingin mendengar sedikit obrolan tentang transkreasi, silakan lihat video berikut: