Beberapa waktu yang lalu saya mulai lagi beraktivitas di Facebook setelah lama sekali hanya ke Facebook kalau ingin menjawab pesan masuk dari kawan-kawan. Alasan saya kembali ke Facebook adalah grup Apresiasi Sastra. Kang Sigit Susanto dan Nurel Javissarqi, dua orang yang saat ini menggawangi grup Apresiasi Sastra, mengajak saya ikut forum diskusi unik khas Apresiasi Sastra. Diskusinya tentang penerjemahan sastra.
Ternyata, berdiskusi dunia maya ala Apresiasi Sastra ini ya asyik juga. Enak saja rasanya diskusi secara tertulis. Saya jadi ada kesempatan berpikir, menimbang-nimbang, dan mengusahakan susunan terbaik dan terefektif sebelum menjawab. Buat saya yang kebetulan kebagian ditanya-tanya, akhirnya kesempatan ini jadi membuat saya introspeksi diri. Rasanya ada paksaan untuk mereka-reka hubungan diri sendiri dengan penerjemahan. Dan tentu saja juga saya jadi harus menanyakan kepada diri sendiri seperti apa gaya penerjemahan saya.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya, saya jadi mempertanyakan kepada diri sendiri status saya sendiri sebagai penerjemah sastra. Sejujurnya, sudah agak lama saya tidak menerbitkan buku terjemahan sastra. Terakhir menerbitkan buku di awal 2019. Sudah dua tahun sekarang. Selama ini, kebanyakan saya menerjemahkan sastra secara hura-hura (puisi, lagu, potongan-potongan prosa). Dan, yang membuat membuat saya merasa dilematis, saya sepertinya terlalu sibuk menerjemahkan yang lain-lain, yang bukan sastra, website, konten sosial media, iklan, subtitle, dan banyak lainnya.
Sepertinya tahun ini saya harus menerbitkan buku terjemahan. Mungkin saya masih belum bisa melanjutkan penerjemahan Ulysses secara all-out. Selama ini saya menerjemahkan Ulysses praktis seperti terlalu santai–bahkan tanpa tahu kapan akan selesai. Tapi, saya coba bertekad deh: setidaknya, saya akan berusaha menerbitkan beberapa bab dari novel itu tahun ini. Biarlah ini jadi resolusi tahun baru yang telat dua bulan. Tapi ya sutralah. Saya pikir lebih baik menuntut diri sendiri seperti ini daripada tidak sama sekali.
Kira-kira begitulah refleksi diskusi tertulis beberapa waktu yang lalu. Saya menjawabnya secara woles, ketika memungkinkan. Untungnya kawan-kawan di grup yang super woles itu–yang dijalankan oleh orang-orang militan sastra itu–berkenan. Yang juga mengejutkan, ternyata mereka memberi saya hadiah dua buku. 😀