Setelah sempat kaget melihat bagaimana saya tidak diumpat orang padahal semestinya mungkin bisa berpotensi diumpat, mari kita lanjutkan perjalanan. Kali ini kurang lebih kami sekitar 1 kilometer menuju hotel. Yang terasa menonjol adalah absennya kekhawatiran di sudut-sudut sepi kota.
Tentu saya belum sepenuhnya akrab dengan kota Tampere. Lha wong kami baru sampai tiga hari sebelumnya (pada malam hari). Satu-satunya bagian yang kami akrabi adalah jalur antara pusat perbelanjaan Ratina, Nokia Arena, Marriot dan penginapan kami. Daerah-daerah lain di kota ini hanya saya tahu dan pernah lihat dalam perjalanan naik bis atau tur keliling kota pada sore harinya.
Karena itulah saya begitu mengandalkan kepada Google Maps untuk memastikan bisa mencapai penginapan. Saya menandai bahwa di toko bernama “Whatever” kami harus belok kanan dan berjalan beberapa ratus meter lagi sebelum sampai lokasi.
Nah, sambil menoleh ke kanan-kiri itulah saya melihat orang-orang keluar dari jalan-jalan kecil, semacam lorong di antara gedung-gedung bertingkat atau non bertingkat. Ada yang berjalan sendiri, ada yang berduaan. Di belakang mereka jalan-jalan panjang dan senyap. Semuanya tertutup salju, sebagian tertutup salju tebal sehingga sulit memastikan apakah itu memang jalan umum atau sekadar kawasan yang bisa dilalui saja. Kemungkinan memang jalan umum karena di Google Maps tampak seperti ada jalur-jalur kecil.
Nah, meskipun gang-gang itu panjang, sempit, dan senyap, tak satu pun dari jalan itu yang gelap. Semuanya diterangi lampu yang sebagian besar berwarna tungsten atau kuning hangat.
Saya ingat ketika pada malam sebelumnya kami diajak Mas Tholchah ke rumahnya di pinggiran. Di sebelah gedung apartemennya terdapat hutan, tapi hutan dengan pohon-pohon cemara itu juga tidak terlalu gelap. Di depannya banyak lampu tidak tampak mencekam saat melewatinya.
Di dalam kota, suasana terang terasa konsisten di segala penjuru kota. Karena itu pula saya tidak merasa grogi ketika Google Maps menganjurkan kami untuk belok ke satu jalan dan jalannya sepi sekali sampai beberapa seratus dua ratus meter. Sebenarnya agak ragu menyusuri jalan sepi di kota asing begitu. Tapi, demi mengingat bahwa sebelumnya sudah melihat orang-orang yang keluar dari gang-gang sepi panjang yang terang tadi, rasa grogi itu berkurang. Pikiran bahwa akan ada orang yang muncul dari balik kegelapan untuk menodong, menyergap, atau memalak langsung hilang. Toh, tidak ada tempat yang sangat gelap.
“Apa memang tidak ada tempat gelap di Finlandia ini, mas?” tanya saya ke Mas Tholchah ketika ada kesempatan.
“Wah, ya mesti ada kalau di pinggiran kota, di desa-desa. Tapi menurut saya tetap aman sih,” jawab Mas Tholchah. “Orang-orang suka keluar malam sendirian dan mengajak anjingnya jalan-jalan.”
Di sini memang cukup banyak anjing, baik “service dogs” atau anjing yang dibawa untuk membantu orang yang sudah tua atau punya trauma, maupun “pet dog” semacam chihuahua yang cuman sebesar kucing tapi menyalaknya tak kalah galak itu.
Begitulah ceritanya perjalanan malam di Tampere, Finlandia. Suasana terasa aman meskipun asing. Kalau nyaman sih ya tidak senyaman di Malang yang relatif hangat. Tapi ya … kadang-kadang bukan hanya “kenyamanan” yang bisa diapresiasi, “keamanan” juga patut diciptakan dan dijaga.