Berdamai dengan Dingin (1)

Sudah lebih dari tujuh tahun saya tidak merasakan dingin yang ekstrim. Hidup di Malang, suhu paling dingin di puncak bediding pun paling-paling hanya belasan atas derajat celsius. Kalau sempat main ke Bromo atau ke Ranu Kumbolo, mungkin kita bisa menikmati hawa dingin satu digit celsius. Karena itulah, ketika diajak ikut penutupan program In2Food di Finlandia yang sedang di awal musim dingin, ada banyak yang perlu dipersiapkan.

Persiapan yang kami perlukan tidak hanya berupa persiapan infrastruktur, tapi juga strategi pemanfaatan infrastruktur. Jaket musim dingin, wajib. Sarung tangan berinsulasi, wajib. Kupluk berinsulasi, wajib. Thermal long john, wajib. Tapi, karena kami mengawali perjalanan dari Jakarta dan singgah di Dubai sebelum masuk Eropa, maka ya harus ada strategi kapan harus memakai baju hangatnya.

Akhirnya, dari Indonesia kami pakai baju standar bepergian. Di Dubai tetap biasa. Memang Dubai sedang musim dingin, tapi musim dinginnnya kawasan Teluk, paling-paling suhunya menjadi dua puluhan atau belasan derajat celsius paling dingin. Baru ketika sampai ke Belanda kami merasakan dingin.

Di Belanda, Dalam Bandara juga Dingin

Di Belanda, dingin sudah terasa bahkan dari dalam Bandara Schiphol. Ketika kami sudah melewati imigrasi dan mendapatkan stempel masuk Eropa, hawa dingin sudah terasa. Ketika selesai mengambil koper dari Emirat dan memindahkan ke maskapai Finnair yang akan membawa kami ke Helsinki, hawa sudah dingin.

Tentu ini membuat heran. Berdasarkan pengalaman di Amerika, setahu saya tidak ada ruangan yang dingin di musim dingin. Ketika musim dingin, semua ruangan jadi cenderung panas. Tapi ini kok dingin? Ada apa?

Beberapa waktu kemudian, ketika sempat bertemu dengan Yesa, seorang WNI yang baru bekerja di Belanda, saya mendapat informasi bahwa secara umum ada kebijakan untuk mengurangi penggunaan energi. Ada tren menuju hidup yang lebih hemat energi, dan mungkin itu berdampak ke penggunaan pemanas di airport.

Namun, ternyata ada sebab lain juga kenapa hawa di Schiphol dingin. Menurut berita ini, Schiphol mengurangi penggunaan pemanasnya karena perang di Ukraina. Belanda sangat membutuhkan bahan bakar fosil dari Rusia untuk kebutuhan energinya, dan perang Ukraina-Rusia membuat harga minyak naik. Makanya berbagai pihak sekarang mengurangi penggunaan bahan bakar fosilnya. Di Schiphol, wujudnya adalah dengan menurunkan thermostat untuk pemanas ruangannya.

Di Schiphol inilah kami mulai memakai infrastruktur musim dingin kami. Thermal mulai kami pakai. Jaket musim dingin dikeluarkan. Begitu juga kupluk. Jaket sudah bisa dipakai di sana, tapi kupluk dan sarung tangan tentu belum.

Disambut Salju di Helsinki

Ketika pesawat Finnair mendekati bandara Helsinki, dari jendela pesawat mulai terlihat jelas salju yang menutupi seluruh permukaan tanah kecuali jalan-jalan yang dilewati mobil. Hal itu semakin jelas ketika roda pesawat semakin mendekati aspal bandara. Ternyata, di seluruh bandara, seluruh permukaannya tertutup salju, kecuali runway dan jalur-jalur untuk taksinya pesawat.

Penampakan kawasan sekitar Bandara Helsinki dari atas pesawat ketika pesawat sudah menembus awan dan menuju alam musim dingin

Tulisan yang muncul pertama adalah “Finavia.” Hanya waktu itu hanya menebak-nebak bahwa Finavia itu adalah nama bandara. Belakangan, baru saya ketahui bahwa bandara-bandara utama di Finlandia memiliki tulisan “Finavia.” Ternyata, Finavia adalah nama pengelola bandara Finlandia. Mungkin seperti PT Angkasa Pura kalau di Indonesia. Dan, satu hal yang paling dihormati dari Finavia adalah kemampuannya yang unggul dalam hal penanganan musim dingin. Wikipedia adalah saksinuya.

Menurut situs Finavia sendiri, kemampuan menanganani musim dingin adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Mereka menyebutnya “snowhow.” Dan itu wajib buat sebuah negara yang musim dinginnya bisa berlangsung hingga 6 bulan penuh.

Salju adalah sebuah kenyataan, dan there’s nothing you can do to change that. Jadi, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah menerima kenyataan itu dan melakukan berbagai inovasi yang mengarah kepada kemudahan hidup. Finavia tampaknya sudah menerima hal itu dengan ikhlas dan kemudian mewujudkannya dalam manajemen musim dingin yang menjadi percontohan.

Bagi saya pribadi, Helsinki dan Tampere adalah kota paling utara yang pernah saya kunjungi. Sebelumnya saya pernah ke Minneapolis, yang termasuk kota paling utara di Amerika Serikat. Finavia hanyalah satu contoh bagaimana ada perbedaan dalam hal penanganan kondisi musim dingin antara Finlandia dan Amerika Serikat.

Nanti, ketika saya mulai masuk ke kota Helsinki, akan tampak hal-hal berbeda tentang bagaimana Finlandia menghadapi musim dingin. Tunggu postingan selanjutnya kalau ada kesempatan lagi ya.

More From Author

Teknologi Penerjemahan: Seri Tulisan

Kita sudah tahu Google Translate, CAT Tools, and ChatGPT yang bisa membantu penerjemahan. Itulah teknologi…

Kafe Pustaka Pamit dengan Bangga

Setelah 9 tahun, melewati badai event literasi, gelombang demi gelombang pandemi, dan pergeseran administrasi perguruan…

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *