Jangan-jangan, saya mulai punya tradisi baru di tiap bulan Ramadan. Di awal-awal bulan Ramadan tahun ini, saya sempat resah dan bertanya-tanya, kira-kira apa yang bisa kita lakukan bulan puasa ini untuk produktif. Seiring bergulirnya ramadan, di hari ketiga, ternyata saya sudah punya satu kegiatan rutin yang terus sy lakukan. Tidak terlalu megah atau yang gimana-gimana sih, tapi kayaknya sudah menampakkan benang merah dengan tradisi.

Sebagai gambaran, saya bukan orang yang sangat banyak waktu luang. Saya punya hutang tugas dan tanggungan mengerjakan hal-hal tertentu. Ada tugas administratif di kampus, ada tugas ngajar yang harus dijalankan sebagaimana mestinya, ada tanggungan menulis buku dengan seorang kolega, dan tentu saja ada tanggung jawab melakukan tugas-tugas domestik dan keluarga. Jadi, bisa dibilang saya selalu produktif dalam hidup keseharian, meskipun hasilnya tidak selalu diukur dengan uang, karya kongkret, atau poin-poin tertentu. Tapi tetap produktif, dan saya oke saja dengan itu.

Tapi, di bulan puasa tahun lalu, saya terlanjur terjerumus. Saya mengikuti program #30harimenulis yang diadakan alumnus Ilmu Komunikasi UGM. Sebenarnya programnya adalah program 30 hari menulis di bulan Mei 2020. Tulisannya adalah tulisan untuk blog. Tapi, karena waktu itu beririsan dengan bulan Ramadan, saya putuskanlah menjadikan momen itu sebagai satu ritual tambahan saya di bulan Ramadan. Tiap hari saya menulis tentang pengalaman-pengalaman Ramadan sejak kecil hingga tahun 2020 itu–tentu saja yang bisa saya ingat. Ternyata kegiatan itu mengasyikkan dan saya jadi bergairah dan merasa justru terpicu untuk mengingat, merefleksikan, dan menuliskan. Akhirnya, jadilah kumpulan Nostalgia Ramadan ini.

Nah, tahun ini, Ramadan sudah terlanjur datang. Sementara itu, saya belum dapat informasi tentang tantangan menulis sama sekali. Entah kenapa tapi, saya resah sendiri. Seperti akan ada yang hilang dan sayang kalau Ramadan berlalu tanpa ada pencapaian menulis sama sekali. Tentu saja di sini saya tidak bermaksud mengabaikan pentingnya menulis ilmiah dan merampungkan buku dengan kolega itu. Bahkan, saya sempat berpikir untuk menjadikan usaha merampungkan tulisan dengan kolega itu sebagai bagian dari ritual saya. Tapi kemudian saya sadar, saya masih bisa dibilang harus gulat untuk menulis buku dengan kolega itu. Saya masih dalam setelan latihan. Konyol dong kalau saya memaksa melakukan ritual yang akhirnya justru membanting saya sendiri. Where’s the joy in that? Mungkin dua tiga tahun lagi, setelah tugas menulis buku dengan kolega itu selesai dan saya sudah terlatih, saya bisa bikin tradisi menulis buku di bulan Ramadan. Sultan sekali saya nanti! Jadi, untuk bulan ini, praktis saya masih bertanya-tanya tentang kegiatan menulis untuk bulan puasa ini.

Untungnya oh untungnya, puasa mendatangkan rahmat secara tak terduga :). Di tengah-tengah keresahan dan skroling Instagram untuk melanjutkan satu penelitian, saya ketemu dengan postingan-postingan yang bertajuk #30haribercerita. Saya perhatikan bahwa di bulan Januari kemarin ada beberapa orang yang menggunakan tagar itu untuk menandai postingan-postingan mereka. Ada yang sampai genap satu bulan, tapi banyak juga yang tanggal di tengah bulan. Nah, itulah yang bisa memotivasi saya. Akhirnya, saya pun mencoba melakukannya dengan aturan-aturan longgar yang saya buat sendiri: sebisa mungkin harus dipantik sesuatu yang terjadi di hari itu, tentu harus ada fotonya, sebisa mungkin menyenangkan untuk dibaca, dan kalau tidak ada bahan dari hari itu, bolehlah menggunakan pelarian: bahan-bahan foto dari kehidupan di Fayetteville yang tak ada habisnya itu. Ini dia ritual tambahan saya di Ramadan tahun ini!

Akhirul posting, silakan deh mampir ke akun IG saya (jangan lupa like, komen, dan follow ya? wkwkwkw) untuk melihat #30haribercerita yang diawali dengan woles (satu dua kalimat saja) tapi kemudian membolasalju hingga jadi postingan penuh yang ya sampai habis jatahnya caption IG lah. Sayangnya saya masih belum menemukan sempat mengumpulkan tulisan-tulisan itu jadi satu tag khusus. Semoga dalam waktu dekat segera ada. Untuk saat ini, biarkan saya berpuas dan berdoa semoga tradisi kecil ini bertahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *