Setelah beberapa minggu lalu berkesempatan baca Warriors, minggu ini saya berkesempatan baca Dalam Rinai Hujan. Kedua novel ini dikemas penulisnya, Arie Saptaji, sebagai bagian dari Trilogi Temanggung. Saya baca satu per satu. Naskahnya senada, baik dalam gaya dan warna.
Novel Dalam Rinai Hujan diawali dengan uppercut di ulu hati pembaca: tokoh utama terbangun dalam gelap kamar hotel, telanjang, kesakitan. Saat melihat film dengan hook yang seperti ini, pembaca niscaya terseret, bahkan bisa langsung berempati dengan si tokoh. Saya perlu padankan dengan film di sini karena memang novel ini bergaya seperti film, atau seni panggung lah minimal, diawali dengan tirai diangkat dan diakhiri dengan tirai turun.
Kalau dibuatkan deskripsi singkat, kira-kira begini: novel ini berkisah tentang sebuah keluarga tanpa ayah (belum lama ini meninggal) yang anak putrinya terseret sepasang pria-wanita bangsat dan anak lelakinya berusaha mencari dengan segala yang memungkinkan di pertengahan era 2000-an itu. Sang ibu kira² masih mencoba pulih dari kehilangan suaminya karena leukemia sambil mencoba menciptakan harmoni dengan sekeliling dan keadaan–caranya memimpin keluarga penuh kehati-hatian, seperti orang yang belum lama memegang peran itu, memang begitu.
Saya tidak akan ceritakan akhirnya (saya menangis), tapi saya harus soroti perjalanan menuju akhir itu. Ada trauma pemerkosaan yang menjadi jangkar cerita ini, dan bagaimana trauma itu dihadapi dan diselesaikan membuat saya tak henti manggut-manggut. Ajaran Injil, kebijaksanaan kejawen, dan usaha pendeta (perempuan) membumikan hikmah menegaskan peran agama sebagai pemberi ketenangan di batin saat dunia sulit dikendalikan (lihat bagian sulam cross-stitching). Ada kalanya dunia sinema dibawa masuk ke dalam persoalan-persoalan kecilnya, entah itu sebagai analogi maupun sebagai pemberi warna (karena soundtrack-nya dipinjam dan digunakan untuk memaknai kehidupan).
Sebagai penikmat Quentin Tarantino, saya sedikit banyak mengharap keadilan dijatuhkan dengan kepalan Batman, tegas dan berat. Tapi novel ini tidak mau begitu. Dia memilih jalan lain. Dia seolah bilang trauma diselesaikan tidak secara an eye for an eye, tapi dengan … well, baca deh. Lagipula, tidak semua persoalan hidup ini selalu jelas ujung pangkalnya dan apa maksudnya dan apa solusinya. Analogi sulam cross-stitching yang di bagian belakang terlihat sedikit berpola tapi tidak tampak jelas (padahal di bagian depan indah) adalah satu analogi yang bagus tentang ini.
Novel ini terasa ingin menghadirkan dunia yang memadai secara ekonomis. Narator mata-tuhan yang lentur berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya membuat kita seperti melihat film. Ada kalanya yang tampak permukaan, ada kalanya suasana hati, ada kalanya si narator melakukan intervensi dengan penjelasan² yang menciptakan efek teatrikal (lihat bagian di mana Widi berkelahi dengan Indra). Semesta 2000-an dihadirkan dengan sabar dan dicicil, mulai dari SMS, rental VCD, warnet, Friendster, blog, dsb. Hidung dan lidah juga disapa melalui kuliner Yogya dan kafe²nya. Jangan bilang lagi novel ini tidak bisa disamakan dengan film (kuliner dan kafe/kedai kopi adalah elemen penting film Indonesia pasca Pak Bondan Winarno dan Filosofi Kopi, kawan!)
Buat yang ingin meluangkan waktu menelisik lebih jauh ke novel ini, kayaknya asyik deh kalau menggali simbol-simbol yang ada di balik air, makanan, pakaian dan handphone. Kalau ingin menggali lebih dalam, lihat bagaimana komunikasi memainkan peran yang vital di sini.