“What else did the book say?”: Game of Thrones sebagai Kisah Literasi

Kalau lalu lintas informasi secara umum bisa terjadi dengan gaya yang begitu modern di Game of Thrones, bagaimana dengan penyimpanan informasi? Bagaimana informasi dihantarkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya? Itulah satu hal lagi yang unik dari GoT terkait kecenderungan Abad Pertengahannya. Dia sangat sadar diri dengan budaya pencarian informasi dan menjadikan kisahnya sebuah kisah tentang literasi. Dan ini lagi-lagi menunjukkan modernitas di balik jangat Abad Pertengahan dalam serial laris ini.

Tapi, sebelum terlalu jauh, mari kita tegaskan dulu apa yang dimaksud dengan literasi di sini. Secara umum memang literasi dipahami sebagai kegiatan baca-tulis. Setidaknya, dalam model otonomi, di mana literasi dipandang sebagai satu kegiatan utuh, demikian kira-kira literasi dipahami. Penerapan literasi semacam ini bisa kita temukan dalam pembelajaran membaca dan menulis. Atau, contoh kongkretnya yang lain adalah kegiatan membaca dan menulis yang terjadi 15 menit setiap hari di awal pembelajaran, yang praktis tidak berhubungan secara langsung dengan keseharian. Siapa saja bisa melakukannya tanpa ada pembedaan.

Tapi, ada juga model literasi lain yang disebut literasi ideologis. Dalam model ini, literasi bisa dipahami sebagai praktik sosial terkait penyerapan dan pemanfaatan informasi yang tak terlepas dari identitas, posisi sosial, dan kondisi ideologis secara umum. Atau, di sini literasi berhubungan dengan identitas aktivitas mencari informasi atau mentransfer informasi (baik itu melalui menulis, membaca, menonton, atau mendengar) untuk tujuan meningkatkan hajat hidup seseorang. Jadi membaca dan menulis yang kemudian dimanfaatkan untuk meningkatkan kehidupan itu sangat literasi, tapi kita dalam konteks ini perlu lebih jauh dari sekadar membaca (mencari informasi) dan menuliskan (merekam dan mentransfer informasi) saja. Kita akan masukkan juga usaha untuk memanfaatkan informasi tersebut.

Kayaknya itu saja deh pembuka di awal ini. Untuk lebih jelasnya, saya persilakan baca referensi bagus berjudul Suara dari Marjin, buku karya Bu Pratiwi Retnaningdyah dan Bu Sofie Dewayani. Buku ini memfokuskan pada model literasi yang kedua, literasi sebagai aksi sosial. Tapi di awal ada pembahasan tentang dua model literasi ini.

Sekarang, mari kita lanjut ngobrol Game of Thrones!

Literasi di Dunia Hipermaskulin

Transfer, penyerapan, dan pemanfaatan informasi sangat kental dalam Game of Thrones. Proses pencarian informasi untuk menyelesaikan masalah adalah sesuatu yang cukup penting dan menjadikan kisahnya terasa saintifik meski di permukaan kelihatan tradisional seperti Eropa di Abad Pertengahan.

Pertama-tama, mari kita lihat tokoh yang paling menyenangkan dalam kisah ini, yaitu Samwell Tarly. Sejak awal kemunculannya di Castle Black, Samwell ditampilkan sebagai orang yang canggung, pengecut, dan tidak bisa bertarung. Hal ini tentu saja sulit dipahami oleh orang-orang sekitarnya, yang dunia ditandai oleh hipermaskulinitas. Keunggulan laki-laki sangat ditentukan oleh kegagahannya. Dan, apalagi cara paling luhur menunjukkan kegagahan selain dengan bertarung dan menjatuhkan lawan? Di tempat latihan pedang-pedangan, Samwell pun menjadi mainan.

Tapi, begitu orang berbicara dengan Samwell, ketemulah bahwa dia punya karakter khusus, yaitu dia pintar. Dia tahu banyak hal tentang ini-itu, dan pintar membaca tanda. Kemampuan ini muncul waktu Ghost, srigalanya Jon Snow membawa potongan tangan dan kemudian ketemu si pemilik potongan tangan. Samwell adalah yang pertama mengamati bahwa mayat yang terlihat sudah lama itu tidak benar-benar membusuk. Tidak ada aroma busuknya. Inilah kemunculan pertama zombie di masyarakat balik tembok es. Dan inilah juga yang membuat Jeor Mormon sang komandan Night’s Watch sadar kalau Samwell punya nilai.

Ada momen lain Samwell menunjukkan keunggulannya. Tidak lama kemudian, Samwell juga dengan kekritisannya juga membantu Jon Snow memahami kenapa dia dijadikan Steward (penjaga kastil), dan bukan Ranger (prajurit jelajah). Bagi Samwell, dengan dijadikan Steward yang melayani komandan Night’s Watch, dan punya akses ke banyak informasi, Jon Snow sebenarnya disiapkan untuk menjadi seorang pemimpin.

Dan momen terakhir yang membuat orang-orang yakin nilai Samwell adalah ketika dia menceritakan tentang White Walker. Menurut dia, White Walker ribuan tahun, dan kemudian jika dia bangun dia akan mendatangkan bencana. Ketika ditanya bagaimana dia tahu itu, Samwell bilang bahwa dia membacanya dari buku. Dan di situlah orang-orang bertanya: “What else did the book say?” Pertanyaan ini sekilas sepele, tapi menunjukkan kepercayaan orang-orang hipermaskulinis ini kepada buku. Dan buku itu juga menceritakan tentang bagaimana bangunnya White Walker itu juga akan mendatangkan bencana yang sudah ratusan tahun tidak terjadi. Di situ orang-orang mulai yakin bahwa kebiasaan baca Samwell (yang selama ini tidak dihargai dan mungkin dianggap hanya buang-buang waktu itu) berpotensi memiliki nilai.

Tapi, yang perlu diingat adalah, kebiasaan baca ini baru memiliki nilai ketika dia dibenturkan dengan kondisi lapangan yang membutuhkan solusi.
Kalau tertarik, silakan lihat video yang dibuat khusus untuk menyoroti kiprah Samwell yang berjudul “The Legend of Samwell Tarly” ini. Ternyata dia juga penggemar fanatik sendiri. Sebagai bonus, ini ada gambar Samwell dari Pixabay:

Samwell Tarly kyut

Otonom vs Ideologis?

Belakangan, ketika cerita Game of Thrones semakin dalam, kita mendapati bahwa Samwell akhirnya mendapat tugas literasi secara spesifik. Dia ditugaskan untuk berangkat ke Benteng di King’s Landing, ke tempat para maester. Tujuannya jelas: untuk mencari segala informasi yang tersimpan di sana yang bisa menyelesaikan permasalahan White Walker dari utara. Dalam perjalanan menuju ibukota, kita sekali lagi dihadapkan pada keraguan keluarga akan nilai Samwell. Kita diingatkan bahwa bagi keluarganya, dan banyak orang, ketidakberaniannya mengangkat senjata (kecuali waktu mengangkat kaca naga untuk membunuh white walker) adalah bukti kepengecutan dan tidak adanya nilai. Tapi, setelah ini penegasan ini selesai, kita diajak melihat lagi tentang nilai informasi.

Di Benteng, kita mendapat kontras antara dua model literasi. Di sini saya pingin sedikit mengingatkan pada model literasi otonom dan literasi ideologis yang saya singgung di atas untuk membuka tulisan ini. Para maester di sana sehari-hari membaca dan menulis tanpa tujuan yang jelas selain membaca dan mencatat. Ada kalanya mereka memperbarui skrol-skrol lama. Para maester ini bahkan tidak melakukan apa-apa terhadap orang-orang yang sakit greyscale atau kulit bersisik (semacam versi GoT dari penyakit lepra yang banyak menjadi momok di abad pertengahan). Mereka hanya diberi kamar untuk menghabiskan masa hidupnya agar tidak menulari orang lain. Ada prinsip pengobatan untuk mencoba menyembuhkannya, tapi tak seorang pun mencobanya karena dianggap berbahaya.

Sebaliknya, Samwell memiliki tujuan jelas: dia membaca untuk mencari solusi atas persoalan White Walker. Ketika dia dihadapkan dengan Jorah Mormont, yang merupakan anak mantan komandannya di Night’s Watch yang kembali ke King’s Landing untuk mencari penyembuhan atas penyakit greyscale yang dideritanya, yang dilakukan Samwell adalah mencari referensi tentang cara pengobatan dan kemudian mencobanya sendiri. Akhrinya, dia pun berhasil menyembuhkan Jorah Mormont. Sementara itu, dia juga tetap mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang cara menghentikan bahaya laten White Walker yang semakin lama semakin dekat itu. Akhirnya dia pun berhasil mendapatkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang dia dapatkan. Dalam dua teori tentang literasi yang saya singgung sebelumnya, yang terjadi pada si Samwell ini lebih cenderung ideologis, karena lebih erat kaitannya dengan kebutuhan hidup keseharian, yang pada akhirnya berhubungan dengan peningkatan hajat hidup.

Di sini, kita bisa bilang bahwa ada kecenderungan Game of Thrones lebih berpihak pada literasi ideologis. Memang kecenderungan semacam itu lebih kuat. Apalagi ketika kita lihat kontras antara yang dilakukan Samwell dan yang dilakukan para maester yang sepanjang hari hanya membaca dan menjaga ilmu pengetahuan (atau mungkin sekadar informasi) itu. Tapi jangan terkecoh.

Ada juga momen-momen yang menunjukkan bahwa baca-baca informasi saja juga memiliki arti pentingnya tersendiri. Ya, momen-momen yang bisa dibilang literasi otonom ini juga ada yang berarti, meskipun tidak langsung saat itu juga. Lihatlah ketika Killy mulai belajar membaca ketika ditinggal Samwell ke Benteng. Dia membaca-baca tentang keluarga raja-raja Targaryen dan menemukan bahwa sebenarnya Aeghar Targaryen sebenarnya tidak memperkosa Lyanna Stark. Mereka sebenarnya menikah dan disaksikan oleh seorang maester yang kemudian mencatat kejadian itu. Hal ini sekilas tampak tidak terlalu bermanfaat buat Samwell yang membaca dengan agenda, membaca untuk mencari solusi. Seolah Samwell bilang ke Killy: “Apa gunanya kamu baca-baca macam itu.” Kelak, menjelang akhir cerita, ketika waktunya jelai-jelai cerita yang berjuntaian itu harus disambung, kita mendapati bahwa informasi yang diperoleh Killy dari baca-baca santai sambil belajar membaca itu bermanfaat.

Di bagian ini, kita bisa melihat Game of Thrones sebagai sebuah serial yang erat kaitannya dengan penyimpanan dan transfer informasi. Yang lebih penting adalah bahwa transfer informasi ini banyak sekali yang terjadi lewat aksara. Samwell Tarly adalah tokoh yang layak mendapat sorotan tersendiri di sini. Dia menjadikan kisah penyimpanan, pencarian, dan transfer informasi serta pengetahuan ini terjadi dengan sangat modern. Bahkan, ada momen-momen literasi–kita sebut saja lah begitu–yang menunjukkan ketegangan antara literasi yang bersifat otonom dan yang bersifat ideologis. Dan asyiknya: GoT mau main-main dengan mempertanyakan apa betul bacaan santai dan menghibur itu tidak sepenuhnya berguna. Tentu saja ini penting mengingat GoT sendiri adalah tontotan hiburan dan novel yang menjadi asalnya, The Song of Ice and Fire, adalah kisah fantasi populer yang memang menghibur.

Oh ya, sebagai penutup, di akhir kisah ini kita akan tahu lho siapa penulis The Song of Ice and Fire itu. Bukan penulis aslinya di dunia nyata, tapi … Sudahlah. Silakan tonton dulu.

Selanjutnya kita akan bicarakan bentuk transfer informasi yang khas Game of Thrones, yaitu transfer informasi ala gagak mata tiga.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *