Di antara banyak hal yang bersliweran di kepala saya dua minggu ini, ada satu hal yang tak pernah benar2 jauh dari sana. Kalau pikiran saya itu mengalir seperti kali, ibaratnya hal yang saya sebutkan di kalimat itu tadi adalah semacam mamalia air yang bisa berjam2 tdk kelihatan tapi sesekali pasti muncul untuk sekadar melambai atau menghirup oksigen. Hal itu adalah: salah satu komplain Mas Yusi Avianto Pareanom atas penggunaan bahasa Indonesia gado2 ala Umar Kayam.
Pendapat saya awalnya (dan sederhananya) adalah: ini dia yg terjadi kalau pembaca Umar Kayam itu editor buku di Indonesia. Dia pasti resah karena ada ‘gangguan’ dalam kemulusan baca Umar Kayam. Tentu bahasa Inggris yg menjamur bak musim hujan di kawasan khatulistiwa pasti mengganggu buat org yg sangat perhatian dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, mas Yusi juga merasa nggak nyaman karena sepertinya penggunaan bahasa gado2 itu sepertinya tidak perlu2 banget secara estetika tulis dalam kaitannya dengan cerpen2 Amerika Pak Kayam itu. Kalau ini sepertinya yang bicara adalah Yusi Pareanom sebagai seorang cerpenis (dan guru creative writing yg cukup dihormati murid2nya).
Saya pun kemudian coba tanyakan ke sana-ke mari, biar saya nggak tiba2 ngotot dengan pendapat pribadi saya yang mungkin diwarnai oleh sentimen pribadi (hehehe… saya kan termasuk org yg mendukung pengayaan bahasa Indonesia selera lokal dan kalau perlu penyertaan kata2 asing kalau memang di otak kita memaksa itu :D). Saya tanyakan ke tulisan2 lama bahasa Indonesia, ke para peneliti sejarah bahasa Indonesia, sekaligus ke orang2 yg menyeriusi linguistik bahasa Indonesia. Sementara ini, saya sudah punya beberapa gagasan yg pingin saya sampaikan kepada mas Yusi Avianto Pareanom.
Yg pingin saya sampaikan adalah:
Bahwa bahasa Indonesia pada saat pak Kayam menulis cerpen2 itu (tahun 1960-an awal) masih muda dan masih ‘supel’ dan masih sangat mau menampung bahasa2 lain yg, misalnya, jalan2 ke Indonesia dan kemudian kemalaman :D. Seperti kata ‘supel’ itu sendiri yang asalnya (dari mana hayo?) dari bahasa Inggris ‘supple’ yang artinya fleksibel. Ingat juga kan penggunaan kata2 semacam ‘dus,’ atau ‘alas’? Saya barusan meniatkan pakai kata2 yg diambil dr bahasa Inggris sekadar menyoroti bahwa pinjaman2 bahasa Indonesia itu tidak hanya dari bahasa Belanda. Ya, seperti halnya kata2 itu, banyak kata2 yg kelak tidak lolos seleksi alam dan hanya yg paling cocok kondisi fisiknya yg kemudian bisa selamat (ingat si Charlie?). Banyak kok kata bahasa Inggris di buku pak Kayam itu yg kelak selamat, seperti misalnya kata ‘lipstick’ (yg kini jd lipstik, daaaa???) atau ‘burger’ atau ‘cafe’ dll.
Karena Pak Kayam memang cenderung menggunakan bahasa lisan dalam karya2 itu, dan bukan bahasa resmi. Btw, kalau kita baca sejarah bahasa Indonesia, sebenarnya yg kita pakai sekarang itu kan evolusi dar bahasa Melayu Tinggi kan? Bahasa Melayu Tinggi yg dipakai untuk karya2 sastra di lingkungan istana2, misalnya, istana Malaka atau, kelanjutannya, kerajaan Riau-Johor. Sebenarnya, bahasa2 melayu yg bukan tinggi ada di mana2, termasuk yg dipakai sebagai pengantar perdagangan di pelabuhan2 di seluruh kepulauan nuswantara, atau bahasa2 melayu yang menjadi creol seperti yg berkembang di kawasan kepulauan Maluku, atau lain2nya maeih banyak. Untuk kepentingan kolonial, Belanda agak memaksakan bahwa bahasa Melayu tinggi itulah yg dipakai secara agak resmi, dan yg lain dianggap bahasa melayu rendah. Salah satu upayanya adalah (ingat buku teks SD, SMP deh) pendirian penerbit Balai Pustaka yg menerbitkan terjemahan karya2 sastra dunia (termasuk karya Mark Twain) ke dalam bahasa Melayu Tinggi, dan hanya menerbitkan karya2 asli HindiaBelanda yg memakai bahasa ini juga. Yang Melayu lokal-an? Ya, Njenengan semua tahu kan akhirnya banyak yg disebut sebagai ‘bacaan liar’ itu. Dan bahasa yg dipakai pak Kayam adalah bahasa Indonesia lisan lokal. Kalau dalam cerpen Madame Schlitz, misalnya, bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia-nya orang Jawa yg tinggal di Amrikiyya. Kalau prosa pak Kayam kelak, termasuk juga esai2nya, itu menurut saya menggunakan bahasa Indonesia-Jawa. Kalau kita masih mengakui bahwa bahasa Indonesia ini hanyalah satu variasi bahasa Melayu modern, maka kita sebut saja bahasa Pak Kayam itu bahasa Melayu-Jawa (seperti halnya ada bahasa Melayu-Maluku, atau Melayu-Tionghoa, atau Melayu tanda hubung lainnya).
Untuk lebih jelasnya, tunggu sampai ada kesempatan menuliskan artikel pura2 ilmiah tentang ini :D.