Pesanan 50 Miliar Nulis Biografi? Itu Bohong!

Yadi: Wah kamu punya Tetralogi Barisan Aurora lengkap ya?
Boy: Pasti lah, man. Itu ada tanda tangannya Aksana Hidalgo, lho.
Yadi: Wah, coba lihat. (Yadi segera mengambil buku pertama Tetralogi Barisan Aurora yang konon merupakan buku paling laris dalam sejarah perbukuan nusantara itu. Keempat buku itu berkisah tentang 1) masa kecil Aksana Hidalgo ketika dia masih tinggal di sebuah perkampungan Alaska dan bermain-main dengan teman sekolahnya, 2) masa-masa waktu dia balik ke Indonesia, 3) pengalamannya waktu balik lagi ke Amerika Serikat sebagai penerima beasiswa dan mencari cinta monyet eskimonya di 50 negara bagian Amerika dan 4) kisahnya setelah balik ke Indonesia lagi dst, dsb, dll, dllajr.)
Boy: Gimana… keren nggak?
Yadi: Mbois, pol, bossssssss!
Boy: Hahaha… Aksana Hidalgo kan temen gue satu angkatan beasiswa waktu di Amerika dulu, man. Kita friend banget tahu.
Yadi: Oh ya, iya. Katanya kamu juga ikut di salah satu perjalanannya dulu ya?
Boy: Yo’i. Tapi sayangnya nggak ikut dia tulis, soalnya waktu itu road-trip, nggak sekeren perjalanan naik bis greyhoundnya itu.
Yadi: Eh, bentar, kalau kamu teman dekatnya Aksana, apa benar tempo hari itu dia ditawari 50 miliar buat nulis biografinya si menteri Pepi?
Boy: Nyebar sampai ke Malang ya beritanya?
Yadi: Sekarang ini kan jamannya twitter, bos. Orang galau di Siberia sana langsung ketahuan dari Sidoarjo asal kita follow.
Boy: Bener, man. Gini, sebenarnya berita itu ada benar dan salahnya.
Yadi: Gimana-gimana? Asyik nih dpt cerita orang dalam.
Boy: Jadi begini. Aksana sebenarnya dapat tawaran, tapi tawarannya nggak sebesar 50 miliar.
Yadi: Oh ya? Terus berapa?
Boy: Jumlahnya 48.75 miliar.
Yadi: Haiyyyah. Kok bisa ganjil gitu jumlahnya?
Boy: Biasalah, man, ada makelar. Kan ada orang dalam yang memberitahu si Pepi itu kalau Aksana Hidalgo itu penulis yg paling cocok buat nulis sesuatu buat si pak Menteri. Oh ya, ini dia satu lagi ketidakbenaran. Jadi dia bukan diminta nulis autobiografi, tapi–
Yadi: Sik-sik-sik–
Boy: Lakone opo Pak Mantep?
Yadi: Hahaha… kamu ini…
Boy: Loe sendiri sih ngomongnya kayak iklan jadul.
Yadi: Bentar-bentar, bos. Balik ke soal 48,–embuh koma berapa miliar tadi.
Boy: 48,75 miliar! Ya itu tadi, si makelar minta jatah 2,5 persen lah dari 50 miliar itu. Makelar kan ada “jasa”-nya (Boy memberi tanda kutip dengan jari-jari di samping telinga waktu bilang “jasa”). Tapi ya, ini antara kita aja ya, man. Si makelar bilang itu ke Aksana.
Yadi: Oh, oke-oke. Terus apa lagi tadi?
Boy: Ya, yang dipesan itu bukan biografi.
Yadi: Terus apa?
Boy: Yang dipesan itu laporan perjalanan-perjalanan ke luar negeri.
Yadi: Oh? Ini apa lagi? Apa pentingnya laporan perjalanan sampai dihargai 50 miliar gitu?
Boy: Lho, kalau kamu tanya begitu, bagaimana kalau aku tanya balik. Buat apa si Pepi–maksudku menteri Pepi–sampai buang-buang duit 50 miliar kalau buat butuh nulis biografi, atau novel biografis? Novel begituan mah bisa dipesankan dari penulis lain dengan harga lebih murah. Lagian, mana ada sih penulis yang nggak mau nulis novel biografi tentang seorang menteri? Nulis tentang menteri itu sendiri sudah kebanggaan, man. Menunjukkan kedekatan loe dengan orang gedean. Kedekatan dengan orang gedean itu artinya kedekatan dengan orang gedean yang lain. Prestise, man, prestise.
Yadi: Masak sih segitunya seorang penulis itu? Bukannya penulis, apalagi novelis, hanya menuliskan hal-hal yang sangat penting dan memaksa untuk dituliskan?
Boy: Iya itu kalau menurut loe anak jurusan sastra! Tapi di luar sana kan gak semua novelis baca aturan-aturan nulis novel sebelum nulis beneran? Di sini, di Jakarta sini, hidup kan nggak gratis, man. Jadi ya, wajarlah kalau ada–maksudku banyak–penulis yang menulis buat dijual. Wajar, man, kerja keras kan harus dibayar. Cari bahan dan mikir keras buat nulis novel itu kan kerja yang harus dibayar, man.
Yadi: Iya sih. Jadi?
Boy: Jadi apa? Jadi Noeroel Fathoni!
Yadi: Hahaha… Itu Yadi Nurul Fathoni, bos!
Boy: Hahaha… Jadi ya gitu lah bos. Sampai mana tadi?
Yadi: Sampai pesan tulisan apa…
Boy: Oh iya, jadi menteri Pepi itu sebenarnya pesan tulisan catatan-catatan perjalanan ke luar negeri.
Yadi: Lho? Buat apa?
Boy: Ya itu, buat beberapa kawannya, biasa, anggota DPR yang jadi anggota DPR berkat bantuannya. Bapak-ibu yang dihormati itu kan suka bikin kunjungan dinas studi banding-studi banding gitu lah. Pernah dengar kan?
Yadi: Pasti lah bos! Teman kita, si Evi, waktu di Melbourne kan sempat ikut nggegeri mereka waktu ada pertemuan dengan wakil rakyat yang–
Boy: Oh, jadi si Evi–Evi sastra, kan?–ikut jadi saksi insiden anggota DPR @yahoo.com itu ya?
Yadi: Hahaha… Iya-iya. Di Kompasiana ramai tuh.
Boy: Yo’i. Gini, balik lagi. Jadi si Aksana Hidalgo itu diminta nulis catatan-catatan perjalanan yang nantinya buat mendukung studi banding-studi banding bapak ibu itu buat tahun 2012 ini. Maksudnya mau disebarin ke masyarakat, biar ketahuan apa aja yang mereka kerjain.
Yadi: Mana bisa rakyat percaya?
Boy: Ya itu, Aksana diminta nulis tentang negara-negara bagian Amerika dan nge-highlight hal-hal yang bisa dijadiin bandingan buat konteks Indonesia, man. Kan dengan begitu hasil studi banding itu nantinya bisa diketahui masyarakat dan bapak-ibu itu akhirnya kan jadi studi banding beneran.
Yadi: Gila! Job asyik itu. Kan tinggal mengembangkan sedikit dari perjalanan naik bis cari cinta monyetnya itu? Wah, job asyik itu. Berapa catatan perjalanan?
Boy: Ya sebanyak state Amerika lah. Lima puluh.
Yadi: Hah? 50?
Boy: Ya, 50!
Yadi: Dengan bayaran 50 miliar?
Boy: 48,75 miliar!
Yadi: Lah! Ya kayaknya nggak banyak-banyak amat lah! Meskipun kalo di Malang 1 M masih bisa dipake bikin rumah tingkat tiga di kawasan Joyo Grand sih. Tapi tetep aja nggak banyak buat penulis sekelas Aksana.
Boy: Ya iya lah. Lha wong hasil dia dari Tetralogi itu konon lebih dari 1 M kok. Itu aja belum termasuk pendapatan waktu novel-novel itu difilmin.
Yadi: Nah!
Boy: Apalagi, karena itu buat catatan studi banding DPR, dia bakal nggak dapat kredit lah. Nggak dapat copyright! Nanti buku2 itu ya dinamai berdasarkan komisi2 yang ngadain studi banding.
Yadi: Hah? Lima puluh buku tanpa kredit? Ganjil!
Boy: Pastilah! Seganjil harganya tadi! Tapi ya masing-masing nggak setebal buku lah. Katanya sih maksimal 50 halaman.
Yadi: Ya tetep aja, man. Bisa jadi minimal 15-an buku lah. Banyak itu. Gila.
Boy: Iya sih. Belum lagi, Tetralogi Barisan Aurora itu yg lebih ngebanggain buat si Aksana selain 1 M-nya kan juga prestise-nya sebagai penulis sukses, nyastra, bla-bla-bla…
Yadi: Ya, ya, mesti saja si Aksana nolak.
Boy: Penulis gila aja tuh yang mau nerima pesanan menteri kayak gitu, man.
Yadi: Lagian, kok nggak perhitungan sama sekali sih si menteri itu?
Boy: Justru itu, man, terlalu perhitungan. Pegimane sih loe!
Yadi: Hahaha… (Akhirnya perbincangan pun berlanjut dan berbelok ke hal-hal lain, mulai gosip trending topic terkini di kalangan teman-teman kuliah mereka, gosip beberapa penulis ibukota yang kebetulan dikenal oleh Boy, hingga akhirnya malam memaksa mereka menghentikan pembicaraan secara natural. Malam ini adalah malam pertama dan terakhir Yadi di Jakarta. Besok dia akan berlanjut ke Bandung menemui teman-temannya di milis Komplotan Blogger Nusantara Jaya. Tapi Boy sudah berjanji akan mengajak Yadi sarapan soto Betawi di TIM besok, pas sebelum mereka ke kampung rambutan.)

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *