Anjing-Asu adalah anak manis, semanis namanya. Anjing-Asu sungguh budiman sedari kecil. Anjing-Asu adalah anak yang lucu, manis dan setia (lagi-lagi, persis seperti kemuliaan namanya). Orang-orang mencintainya, dan dia mencintai orang-orang. Ketika dia tinggalkan kampungnya untuk sekolah di kota-kota yang jauh, orang-orang percaya dia akan menjadi cahaya. Ibunya bangga, nama yang diharapkan menjadi doa baginya bekerja sebagaimana mestinya.
Ketika Anjing-Asu memutuskan bertualang di alam politik, berbekal kecemerlangan pikir dan kemuliaan hati, masyarakat terbelah hatinya. Sebagian menyesalkan Anjing-Asu yang putih masuk ke alam politik yang penuh licin lumut dan jorok lumpur. Sebagian yang lain optimis, Anjing-Asu akan menjadi pembaharu. Dan kalau Anda mengenal Anjing-Asu yang dulu, optimisme semacam itu bukan tidak beralasan.
Apatah mau dikata, ternyata alam politik terlalu buas dan liar untuk dibaharui seorang saja, biarpun budinya seluhur Anjing-Asu. Trilyunan virus, bakteri, dan baksil yang bersimaharajalela di alam politik tak henti-hentinya menggelitik akal sehat Anjing-Asu. Cita-cita Anjing-Asu untuk menciptakan kesentosaan massa terkikis sedikit demi sedikit. Bibit-bibit negativitas di ceruk hati Anjing-Asu, yang selama ini tak pernah dihiraukan, kini terpupuk oleh lembab, basah dan nutrisi negatif di alam politik.
Ketika mulai menengarai perubahan perangai Anjing-Asu, masyarakat kembali terbelah. Di satu sisi mereka bersedih, atau kecewa, atau bahkan menyayangkan telah membiarkan Anjing-Asu seorang diri memasuki belantara alam politik. Sebagian yang lain masih berharap (meskipun nyaris sia-sia) kemuliaan namanya bisa membimbingnya kembali menuju cahaya.
“Kunamakan dia ‘Anjing-Asu’ sebagai doa,” ratap ibunya di malam-malam dingin ketika listrik padam. “Kuingin nama itu yang melindunginya, selamatkanlah ia.”
Apatah mau dikata, nama bukanlah baju zirah yang mampu menghadapi terpaan golok dan kapak. Kalaupun nama itu serupa baju zirah, tetap saja tak mampu dia menghalau menempelnya virus, bakteri, baksil alam politik yang lengket dan menghisap tanpa henti. Maka, kelak, seperti kita semua ketahui, “Anjing-Asu” kini telah kehilangan semua kemuliaan dan keluhurannya. Sedikit saja yang percaya “Anjing-Asu” mengimplikasikan kelucuan, kemanisan, dan kesetiaan. Malah, banyak yang menggunakan “Anjing-Asu” sebagai umpatan. Untunglah ibu Anjing-Asu sudah lama tiada.
Tapi, di masa itu, masih banyak orang yang optimis dan percaya pembaharuan akan datang dari Anjing-Asu (tentu saja setelah memperbaharui dirinya sendiri). Hingga akhir masa hidupnya, seorang ibu tetap berdoa ketika malam dingin dan listrik semakin sering padam , “Selamatkanlah ia, selamatkanlah ia, selamatkanlah ia.” Sayangnya, konon doa tidak akan pernah berhasil sebelum yang didoakan sendiri tersentuh hatinya. Tapi, siapa yang bisa menyentuh hati mereka yang terlumuri oleh tebalnya virus, bakteri dan baksil alam politik?