Mbak Penjual Soto: Lho, mas, sotonya sama teh cuma 5.000.
Mono: Lha iya, Mbak. Terus?
Mbak Penjual Soto: Lha ini uang sampean kok 6.500?
Mono: Lho, lha terus itu gimana hayo? (Mono menunjuk wajah si Mbak.)
Mbak Penjual Soto: Maksud sampean apa, Mas?
Mono: Lha senyum manis sampean itu masak digratiskan? Seumur-umur gak pernah aku lihat barang berharga digratiskan begitu saja.
Mbak Penjual Soto: (Ada campuran antara salting dan kalap di wajah yang tadi senyumnya super manis itu).
Mono: Aku gak akan bisa tidur nanti malam Mbak kalau itu sampean gratiskan begitu saja. Rasanya kayak berhutang mbak.
Mbak Penjual Soto: Apa semurah itu sampean hargai senyumku?
Mono: Koreksi, senyum manis, Mbak.
Mbak Penjual Soto: Iya, wis, senyum manis. Apa cuman 1.500?
Mono: Lha aku masak tahu harganya, Mbak? Itu tadi cuman tawaran hargaku.
Mbak Penjual Soto: Apa cuman–
Mono: Sik, sik, sik, Mbak
(Bla-bla-bla, bla-bla-bla… maka berlanjutlah perbincangan ini hingga berbulan-bulan dan berujung ke jenjang pernikahan dan kemudian mereka berdua hidup berbahagia nyaris selamanya. Lebih tepatnya, selamanya minus satu hari, karena tidak ada manusia yang abadi.)