Semalam suntuk saya disiksa suara kucing pacaran. Kampret, mau kawin saja kok pakai ludrukan begitu. Ceritanya begini, dua hari yang lalu ada orang asing naik motor membuang seekor kucing tepat di depan rumah saya. Saya turun mau melabrak orang itu tapi dia keburu kabur. Akhirnya saya jadi maklum juga kenapa dia buang kucingnya: kucing betina itu sudah cukup besar alias akil baliq, tapi leletnya luarbiasa.
Berpuluh-puluh tahun mengamati kucing saya mampu bedakan mana kucing cerdas, kucing lemot, kucing katrok, kucing berahi, kucing nyolongan, kucing cuek, apalagi kucing garong yang hobi kawin kayak bupati yang dari sono itu nooh… Nah, kucing yang dideportasi oleh majikannya itu sebenarnya cukup manis juga, tapi kelakuannya memang menunjukkan mental retardation alias keterbelakangan mental. Mosok kucing babon segede itu cuma bisa melolong di bawah pohon ketika turun hujan, tidak sedikit pun berusaha lari ke rumah terdekat untuk berteduh. Jelas dia pasti kucing bloon.
Tapi meski bloon bodinya boleh juga.
Singkat cerita tadi malam dia ketemu jodoh dengan kucing pejantan yang tak kalah goblognya. Kucing itu sehari-hari nongkrong di rumah bu Hajjah Matsahir, guru ngaji di perumahan kami. Namanya juga pasangan kucing dodol, semalam suntuk mereka cuma ngeang-ngeong dengan gaduhnya tapi tidak segera menuntaskan permainan mereka. Ini yang bikin saya gemas sampai jam setengah tiga.
Barusan jam 8 tadi mereka gaduh lagi, saling mengendus dan menggosok-gosokkan tubuh tapi tidak ‘action’ juga. Akhirnya moment yang saya tunggu pun tiba. Kedua mahluk bahlul itu kembali meraung-raung, kali ini tepat di bawah balkon rumah saya.
Saya mengendap-endap membawa air seember, menghitung koordinat posisi mereka di bawah sana, dan byuuurrrr, impas sudah kesumat saya. Keduanya kabur tunggang-langgang, hilang sudah syahwatnya. Kawin ya kawin saja, gak usah banyak negosiasi apalagi sampai didengar tetangga, dasar kucing tak punya perasaan!