Django Unchained di Luar Habitat

Saya bertanya-tanya: bagaimanakah rasanya melihat film Django Unchained (yang naskahnya diracik dan penyutradaraannya dipegang sendiri oleh Quentin Tarantino) di Indonesia? Melihat, mendengar atau membaca karya-karya dari Amerika yang mengandung muatan ketegangan ras terasa sangat berbeda di Indonesia. Seingat saya, membaca Huckleberry Finn pada semester dua kuliah saya di Universitas Negeri Malang dulu terasa biasa-biasa saja.

Saya cukup yakin karena saat itu 1) kemampuan bahasa Inggris saya masih sangat kurang, 2) saya kurang tahu sejarah hubungan warga kulit hitam dan kulit putih di Amerika selain bahwasanya orang kulit hitam dulunya adalah budak yang dibawa dari Afrika untuk bekerja di perkebunan2 Amerika. Saya waktu itu belum tahu bahwa pada paruh kedua abad ke-19 terjadi Perang Saudara di mana urusan perbudakan menempati posisi sangat penting, bahwa pada awal abad ke-20 ada yang namanya kebijakan “apartheid” bernama Jim Crow di kawasan Selatan Amerika Serikat, bahwa pada tahun 1960-an terjadi gerakan Hak Sipil di seluruh Amerika, bahwa pada tahun 1992 terjadi kerusuhan di Los Angeles yang dipicu oleh vonis yang dirasa kurang adil terhadap polisi yang telah menyiksa seorang pelanggar lalu lintas kulit hitam, bahwa dalam kehidupan nyata di Amerika pada zaman sekarang ada perasaan persaudaraan tersendiri di kalangan orang kulit hitam Amerika dan adanya kesadaran tentang keberberbedaan pada banyak orang kulit hitam di Amerika, dll.

Sekarang, setelah tahu adanya semua itu (tanpa berani mengklaim tahu secara mendalam :D) saya jadi bertanya-tanya, bagaimana rasanya nonton Django Unchained (2012) yang di Amerika Serikat terasa sangat bermuatan rasial itu di bioskop-bioskop Indonesia. Di satu sisi, saya yakin sekali muatan ras dari film itu akan hilang. Tapi, apakah artinya absennya muatan rasial saat menonton film itu merupakan kerugian? Sementara, saya hanya bisa berhipotesis: TIDAK. Saya sebaliknya berargumen bahwa penikmatan film tersebut di luar habitat sosialnya malah akan membuat pemirsanya (yang di sini saya sebut sebagai pemirsa tanpa praduga) lebih bisa melihat seninya Quentin Tarantino. Bagaimana bisa?

Sudah beberapa hari ini saya membaca postingan-postingan majalah online yang protes bahwasanya 1) banyak hal tentang perbudakan yang tidak akan kita temukan di filmDjango Unchained,2) bahwa filmDjango Unchaineddilandasi oleh motif yang merugikan orang kulit hitam sendiri (meskipun di situ ceritanya tentang budak yang berhasil membalas dendam kepada mantan tuannya). Kalau dilihat dari jalan ceritanya, memang ada benarnya juga kritikan-kritikan semacam ini. Banyak hal terkait perbudakan yang dalam film ini seolah-olah dibuat dari imajinasinya Quentin Tarantino sendiri. Dialog-dialognya juga tidak dapat menghadirkan kembali bahasa dengan nuansa perbudakan, kecuali penggunaan kata “n***3r” yang sangat dermawan—seperti pada banyak film Quentin Tarantino. Tapi, sejauh pengamatan saya atas Quentin Tarantino, dia memang bukan penulis naskah film sejarah, dan tidak ada sedikit pun indikasi dia tertarik membuat film semacam itu.

Film Quentin Tarantino sebelum ini, yaituInglourious Basterds, adalah satu-satunya film Quentin Tarantino yang bisa disalahartikan sebagai “film sejarah,” hanya karena film itu adalah film perang dunia II. Tapi lihat saja, dia sama sekali tidak ada niat membuat film PDII yang bertendensi menjadi film sejarah. Lihat saja bagaimana dia skenariokan di film itu Hitler tewas terbakar di gedung bioskop. Semua orang juga tahu Hitler tidak mati begitu. Tapi Tarantino seolah bilang, suka-suka aku Hitler mau mati bagaimana, lha wong ini film-filmku sendiri kok? Kalau dilihat dari kacamata tebal guru sejarah, memang film Quentin Tarantino pasti dapat nilai F-. Lagi-lagi, semuanya karena dia sepertinya bukan meniatkan filmnya sebagai film sejarah.

Logika yang bisa dipakai untuk membaca film-film Quentin Tarantino adalah logika naratif dan nilai moral yang sangat mendasar (atau istilah cool-nya arketipal :D). Mari kita absen film-film Tarantino sebelumnya: di Reservoir Dogs semua yang mati adalah orang-orang yang menculasi sesama kawannya (tak peduli itu polisi atau penjahat) dan yang menderita paling lama adalah mata-mata yang telah membuat orang tak bersalah disiksa karena dikira mata-mata, diPulp Fiction kita melihat tokoh Vincent Vega yang sebenarnya paling ganteng akhirnya tewas dengan gampang, kelihatannya karena dia sudah mendapat kesempatan bertobat tapi tidak mau bertobat, dan seterusnya dan seterusnya…

Nah, kembali lagi ke hipotesis saya di tengah postingan ini, bahwa melihat Django Unchained di luar habitat ras-nya membuat kita lebih bisa melihat seni-nya Quentin Tarantino dalam membuat film, saya simpulkan sementara bahwa dengan melihat film itu sambil melepaskannya dari beban rasial, kita mungkin jadi lebih bisa meraba tekstur patung sinematik yang dipahat seniman Tarantino, dan bahkan mungkin bisa membuat kita lebih melihat detil-detil penting yang secara serius digarap Tarantino tetapi dilewatkan begitu saja oleh khalayak Amerika yang sibuk menakar akurasi sejarah atau elemen rasialnya. Detil-detil itu mungkin baru beberapa bulan lagi akan teramati, bahkan oleh pengamat perfilman Amerika yang menyukai telaah kritis.

Tapi, siapalah saya yang ngoceh sambil lupa bercermin ini? 😀

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *