Permen Kapuk dan Detektor Wali

Mungkin sudah puluhan bahkan ratusan kali saya sampaikan di blog ini, saya sangat menghormati ketidakterdugaan dan ketidakakraban. Bisa dibilang ini sikap aktif yang saya tumbuhkan sejak sepuluhan tahun yang lalu demi mengikis sikap terlalu gemar kenyamanan yang mengakar pada diri kita karena pengaruh lingkungan sosial. Begitulah, sikap hormat kepada ketidakterdugaan ini terbukti telah menunjukkan hal-hal indah dan asyik yang mungkin tidak akan saya ketahui kalau saya merasa grogi saat menghadapi hal-hal yang tidak saya akrabi.

Cukup tentang saya. Kali ini saya ingin cerita tentang satu mekanisme keamanan unik yang saya ketahui karena mencari permen kapuk (atau nama lainnya “gulali kapas” atau inggrisnya “cotton candy” atau padanan jawa-nya mungkin “arbanat”).

Sejak beberapa hari yang lalu anak saya berulang kali bilang pingin dibelikan permen kapuk. Menurut saya, permen kapuk adalah sesuatu yang gampang-gampang sulit dicari. Permen kapuk seringkali ada pada saat dia tidak dibutuhkan. Saat ada parade atau pasar malam, mereka seringkali ada. Saat kita jalan-jalan di negeri antah-berantah, di tengah-tengah perjalanan belasan jam lintas negara bagian, tiba-tiba kita ketemu orang jual permen kapuk. Terakhir saya makan permen kapuk saat menempuh perjalanan ke kota College Station, Texas, yang berjarak 9 jam bermobil dari tempat tinggal saya. Saya menemukan pom bensin yang jual permen kapuk sekitar satu jam sebelum tiba di tempat tinggal teman saya di College Station. Dan itulah satu-satunya tempat yang saya tahu pasti jual permen kapuk. Saya ingin sekali menuruti keinginan anak saya. Tapi masak saya naik kendaraan 8 jam cuma buat beli itu? Memangnya saya ini ponakannya Abu Rizal Bakrie?

Saya tahu pasti ada permen kapuk tidak jauh-jauh dari tempat saya tinggal. Tapi bagaimana menemukannya? Saat itulah muncul bayangan, “Andaikan detektor logam bisa dioprek sedikit untuk dijadikan detektor permen kapuk”?

Akhirnya terbersit di pikiran untuk menelpon teman saya penduduk asli Fayetteville yang menghabiskan masa kecilnya di Fayetteville. Maka saya mulailah dari teman sekelas saya saat ini, sebut saja namanya Kumbang. Saya telpon si Kumbang dan tanya soal toko yang jual permen kapuk. Dia minta saya tutup telpon 3 menit dan dia akan telpon kembali. Saya tidak tahu kenapa dia butuh 3 menit? Biasanya orang Indonesia suka 5 menit untuk mengindikasikan waktu yang singkat. Mungkin dia tanya kakak atau adiknya yang punya anak. Mungkin dia tanya bapak ibunya di mana mereka dulu membelikan permen kapuk. Bisa juga, dia buka buku harian dari masa kecilnya saat berumur 7 tahun dan mencari di indeks “permen kapuk”.

Tiga menit lebih dua puluh tiga detik kemudian, dia menelpon balik saya. “OK. Kalau mau permen kapuk, kamu bisa pergi ke Chuck E. Cheese. Di tempat main anak-anak di situ, kamu bisa dapat permen kapuk.” Saya baru tahu kalau Chuck E. Cheese juga punya mainan anak-anak. Selama ini, yang ada di bayangan saya tentang Chuck E. Cheese adalah restoran pizza atau pasta atau apa-apa yang mengandung keju. Seorang teman dulu suka mengajak dua puteranya ke Chuck E. Cheese (saya asumsikan membeli pizza—asumsi yang meleset!). “Oke, saya akan ke sana. Terima kasih full, man.” Saya mungkin mengulangi ucapan terima kasih itu sampai dua puluh tiga kali saking girangnya.

Kami langsung meluncur ke TKP lebih cepat dari densus 88 merespon laporan. Di depan Chuck E. Cheese, kami terkaget-kaget karena Chuck E. Cheese sama sekali tidak menyerupai restoran. Memang terlihat konter tempat pemesanan makanan, tapi kecil banget. Yang banyak justru mainan segala rupa yang mengakomodir anak-anak mulai dari yang usia dua tahun (seperti mainan gajah-gajahan yang bergoyang lugu itu) sampai untuk yang usia cukup besar seperti game ding-dong yang lumayan rumit dan ganas (mengandung senapan serang otomatis berukuran nyata).

Kami parkir kendaraan dan masuk. Di pintu tertulis, “admission to the fun is free” yang lumayan menyingkirkan kesan bahwa untuk masuk saja bisa-bisa bayar (soalnya saya pernah ke tempat mainan anak-anak yang masuk saja harus bayar). Begitu masuk ke “establishment” ini (saya tidak tahu pasti apa spesies dari tempat ini, restoran atau pusat mainan, jadi ya saya sebut “establishment” saja) saya disambut seorang mbak-mbak bertopi dan berkaos merah dengan wajah super ceria—semoga gajinya dari tempat ini cukup bagus. Begitu tiba giliran kami dia bersiap melakukan sesuatu ke tangan kanan saya dengan sesuatu di tangannya.

Saya tanya: “Apa itu, Mbak?” Saya agak curiga dengan sesuatu di tangannya itu. Jangan-jangan kami harus bayar, batin saya. Saudara-saudara, beginilah nasib orang yang tidak banyak duit: setiap kali mendekati sesuatu yang asyik selalu saja muncul ketakutan jangan-jangan harus bayar. Dia menjelaskan, tetap dengan super ceria, bahwa yang dia pegang adalah stempel untuk saya, istri saya dan anak saya, yang gunanya adalah untuk memastikan bahwa anak saya nanti hanya keluar dengan orang tua (atau walinya) yang mengajak dia datang ke sini. Selanjutnya si Mbak menyetempel tangan kami bertiga. Tapi saya ketahui kemudian bahwa stempel itu tidak meninggalkan kesan apa-apa. Maka, karena tidak ada yang terlihat, kami pun dengan mudah melupakannya. Kami segera menjalankan misi mencari permen kapuk.

Kami temukan permen kapuk dambaan anak saya. Kami beli tiga, satu pink (buat saya), dua biru muda (untuk anak saya dan anak tetangga). Tentu saja, segala rupa mainan yang ada di tempat itu juga mengalihkan perhatian anak saya. Tapi, karena kami harus tetap fokus ke misi utama, maka pun segera pergi begitu mendapatkan permen kapuk (dan setelah membiarkan anak saya main-main sedikit dengan salah satu game yang ada di sana). Di situ juga kami temukan bahwa yang di Indonesia disebut “koin” untuk bermain ding-dong atau mainan sejenisnya itu dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai “token.”

Dalam perjalanan keluar, kami ketemu lagi dengan Mbak penjaga gerbang. Di situ si Mbak meminta melakukan sesuatu ke tangan kanan saya dengan sesuatu di tangannya. Sesuatu yang lain lagi. Ternyata cuma senter atau sentolop, yang lampunya menyala biru keungu-unguan ungu kebiru-biruan. Saya jadi langsung sadar, ini lampu gelap, gunanya untuk melihat hal-hal tertentu, seperti misalnya tanda keaslian pada uang kertas atau sejenisnya. Dia dekatkan senter itu ke tangan saya, istri saya dan anak saya. Maka tampaklah “148” di tangan kami bertiga. Alhamdulillah nomor kami cocok. Dan si Mbak pun mempersilakan kami bertiga pulang membawa tiga permen kapas.

Kami bertiga pun tak habis membicarakan tentang stempel ultraviolet tersebut dalam perjalanan pulang. Tiba-tiba Sabtu malam minggu kami menjadi luar biasa. Anak saya mendapatkan keinginannya. Istri saya juga mendapatkan keinginannya—membeli gorengan dalam perjalanan pulang. Saya juga mendapatkan cerita kecil untuk Anda sekalian jamaah blog yang budiman. Sepertinya juga ada kepuasan bawah sadar bahwa suatu saat kelak, kalau kami sempat ke sana lagi dan anak saya pingin bermain game (saya sebenarnya agak sangsi apa saya cukup ikhlas memberi anak saya duit buat main game :|) saya tidak perlu khawatir anak saya akan diseret keluar oleh orang lain, karena tempat ini punya mekanisme yang cukup bisa mencegah terjadinya penculikan anak.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *