Biarkan saya mulai dengan bersyukur. Selanjutnya, biarkan saya bercerita. Kecelakaan itu bisa terjadi dalam waktu kurang dari satu detik. Sesaat terlihat, sesaat menghilang. Saya mendapat salah satu contohnya pagi ini.
Subuh hari ini saya mengantarkan dua orang teman ke airport. Saya harus menempuh 17 mil perjalanan ke arah utara dan 10 mil sisanya ke arah barat. Dalam perjalanan ke utara, hujan mulai turun dan sebentar kemudian saya terjebak badai luar biasa deras. Hujan membadai dan petir menyambar liar. Di jalan raya I-540, bagian dari super highway Interstate yang melintas Fayetteville, di mana semestinya mobil boleh melaju dengan kecepatan hingga 70 mil/jam (atau 112,654 km/jam), saya hanya berani berjalan sekitar 50 mil/jam. Titik-titik hujan yang menggampar kaca depan datang beruntut bagaimana dilontarkan dari senapan mesin yang berjajar di atas awan. Kipas kaca mobil sudah saya jalankan dengan kekerapan paling tinggi. Tetap saja, dia tidak banyak membantu saya melihat jalan. Saya hanya mengandalkan garis putih putus-putus pembatas jalur dan garis utuh tepi jalan. Sepanjang badai paling mengganas itu, saya hanya berharap semoga bertahan, tidak menabrak suatu apa pun hingga saya sampai di pom bensin terdekat. Kira-kira saya menjalankan mobil dalam kecemasan semacam ini sepanjang 5 mil.
Saya sungguh bersyukur ketika tiba di Exit 78 dengan selamat. Begitu bisa keluar dari super highway itu, saya langsung menepi ke pom bensin terdekat. Tepat di depan saya ada sebuah truk pikap yang pengemudinya juga memutuskan untuk berhenti sejenak di tempat parkir pom bensin yang sama. Sepertinya, saking ganasnya badai, pengemudi truk pikap pun memutuskan menepi sejenak, padahal truk pikap adalah kendaraan yang dikenal sebagai kendaraan segala medan, dengan roda gede dan sistem penggeraknya bisa diatur 2WD atau 4WD.
Saya matikan mesin dan mulai mengeluarkan HP. Saya minta teman-teman saya menunjukkan detil penerbangannya. Saya masukkan nomor penerbangan mereka ke google dan saya ketahui bahwa penerbangan mereka ditunda 1 jam 15 menit. Pesawat yang sedianya lepas landas pada pukul 8 pagi itu kini dijadwalkan ulang menjadi 9.15. Ketika itu waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Saya putuskan untuk santai-santai saja, sambil menunggu hingga badai berkurang. Kami bertiga ngobrol ngalor ngidul di dalam mobil sambil melihat hujan mengetuk-ngetuk kaca mobil. Sopik truk pikap yang sudah memarkir truknya di sebelah saya itu terlihat ngobrol santai di HPnya. Tidak ada alasan untuk buru-buru.
Setelah hampir setengah jam, hujan terasa agak berkurang. Mungkin sedikit saja berkurangnya. Tapi karena dua jam lagi saya harus berangkat kerja (nyetir van untuk mengantarkan 25 orang ke bandara, ke bandara yang sama), akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini, perjalanannya adalah 10 mil ke arah barat. Sebentar saja berjalan, terasa badai berkurang secara signifikan. Sekitar 5 menit setelah melanjutkan perjalanan, badai hanya tinggal rintik-rintik hujan. Sepertinya kami menjauh dari pusat badai. Saya masih tetap waspada karena takut terpeleset, sebab kali ini jalan yang kami tempuh tidak sebentar jalan super highway I-540. Tepat di tepi jalan terdapat parit. Parit-parit yang ada terlihat penuh air mengalir deras. Daun-daun dan ranting terlihat mengotori jalan raya yang berkilauan basah. Langit terlihat mulai terang, tapi tetap saja akan sangat membantu kalau kita tetap menyalakan lampu mobil. Tapi jalanan yang basah malah memantulkan lampu mobil, sehingga rasanya tetap saja gelap.
Tiba-tiba:
“Masya allah, boss!” teman saya berteriak.
Tiba-tiba saja berkelebat di depan saya cabang pohon dengan beberapa percabangan yang setinggi kaca mobil. Pemandangan itu hanya berlangsung sepersekian detik. Saya tidak melihat sebelumnya. Dan saya tidak melihatnya lagi sesudahnya. Saya hanya ingat bahwa dalam waktu singkat itu insting saya memutuskan untuk tidak banting setir. Sebenarnya insting saya tidak memutuskan. Yang terjadi adalah, tangan saya tetap pada posisi semula. Dia tidak membelokkan setir. Kaki saya juga tidak menginjak rem.
Setelah saat yang super singkat itu, saya langsung memeriksa mobil secara kilat. Teman-teman saya. Sehat. Kaca depan. OK! Saya coba rasakan setir. Normal! Saya coba rasakan jalannya mobil untuk menaksir keadaan roda. Wajar! Saya lihat mobil di belakang saya tetap saja berjalan. Sepertinya dia tidak terpengaruh. Saya masih tetap kuatir, sehingga saya putuskan untuk menepi begitu memungkinkan. Begitu berhenti, saya keluar mobil dan memeriksa roda kanan dan kiri. Alhamdulillah, tidak bocor. Saya langsung masuk mobil dan memberitahu teman-teman saya bahwa tidak ada kerusakan. Teman saya keluar dan ikut memeriksa. Dia temukan kerusakan, pada bagian bawah bemper. Terlihat juga cat yang mengelupas, seperti bemper habis ditekuk secara kasar. Pengait sebelah kiri bemper lepas dari bautnya. Mungkin cabang pohon yang patah tadi menghantam langsung ke bagian bemper ini.
Saya langsung putuskan menelpon 911 untuk memberitahukan tentang cabang pohon yang berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan tersebut. Saya beritahukan posisi kira-kira cabang pohon tersebut. Sesudahnya kami melanjutkan perjalanan ke airport. Begitu urusan kami di airport selesai, saya segera saja balik pulang. Di airport sendiri cuaca hanya seperti habis hujan dan langit sudah terang. Saya mencoba berhati-hati selama 10 mil pertama perjalanan (di jalan kecil menuju highway). Saya tidak ingin menabrak lagi cabang pohon yang sama. Pertama mungkin saya selamat, tapi tentu saya tidak ingin mengulanginya lagi. Ketika mendekati lokasi cabang pohon tadi, saya melihat lampu merah biru berkilat-kilat. Ternyata mobil pemadam kebakaran. Sepertinya mereka datang untuk menyingkirkan batang pohon itu dari tengah jalan. Mungkin merespon panggilan telpon saya tadi, atau mobil ada orang lain yang lebih dulu menelpon mereka.
Sepanjang sisa perjalanan saya tetap berhati-hati. Ketika mendekati pintu masuk ke Interstate-540, hujan berangsung-angsur meningkat menjadi badai lagi. Sepertinya titik pusat badai berada di radius beberapa mil sekitar pintu masuk ke Interstate-540. Ketika berada di jalan super highway itu, saya lagi-lagi mengalami badai ganas hingga jarak pandang saya hanya sedikit. Selama perjalanan 17 mil turun ke selatan itu, saya melihat beberapa mobil yang nyungsep ke parit atau ke semak-semak. Bahkan ada yang masuk ke tepi semak-semak dengan arah berkebalikan dari arah jalur. seolah-olah mobil tersebut membalik arah secara paksa. Mobil polisi ikut menemani di beberapa tempat di mana terlihat mobil nyungsep. Banyak di antara mobil-mobil yang tidak beruntung ini adalah truk pikap yang semestinya lebih mampu mengatasi medan ganas. Tapi siapa bisa mengira-ngira terjadinya musibah. Bisa jadi roda truk-truk ini mulai gundul. Saya sangat sering melihat truk yang rodanya gundul. Saya pernah melihat truk semacam ini berkeleyotan di jalan berlumpur atau bersalju. Bahkan, sebuah Honda Passport (yang di sini bisa kita setaran dengan truk pikap itu) pernah menabrak mobil saya dan meringsekkan slebor kirinya karena rodanya sudah gundul di sebuah pagi yang super dingin, yang saking dinginnya membuat jalanan membeku dan licin.
Entah mengapa, saya hanya bisa melihat dan membayangkan nasib orang-orang yang mengalami kecelakaan, mobilnya selip atau nyungsep, di sepanjang perjalanan pulang tadi. Saya sendiri sampai lupa bersyukur bahwa saya telah selamat dari sesuatu yang bisa menjadi musibah bagi saya. Baru sebelum mulai menuliskan postingan ini saya menyadari bahwa saya sangat beruntung tadi pagi.