Saya masih suka terpelongoh saat mendapati bagaimana para peneliti menggunakan sains murni atau teknologi komputer untuk membantu mereka melakukan penelitian di bidang sastra.

Semester kemarin, saya ambil kuliah dari Dr. Adnan Haydar, seorang penerjemah dan salah satu ahli sastra Arab yang terkemuka dalam hal studi strukturalis atas puisi pra-Islam (atau istilah ganasnya puisi Jahiliyah). Dalam satu artikelnya yang strukturalis hard-core, Haydar juga menyertakan–sebagai satu di antar berbagai jalan dalam analisisnya–penggunaan sebuah program komputer yg menghitung “kualitas tekanan” pada suku kata bahasa Arab dalam beberapa puisi Imru Al-Qays–ini terjadi di tahun 70-an, lho! Hasil terpenting dari perhitungan tersebut adalah bahwasanya pada bagian-bagian tertentu dalam puisi tersebut kualitas tekanan turun atau naik secara drastis, menciptakan kesan rasa yang berbeda bagi pendengar–menurut satu teori yg sangat diterima, puisi pra-Islam adalah puisi lisan yang memang diperdengarkan kepada khalayak pendengar. Hasil sampingannya adalah dia mengklaim bahwa salah satu puisi yang secara umum dianggap puisi Imr al-Qays, tapi dicurigai oleh sebagai puisi orang lain, sebenarnya bukan puisi Imr al-Qays berdasarkan adanya perbedaan pola yang signifikan dalam hal kualitas tekanan–yang juga diketahui dari hasil perhitungan komputer itu.

Nah, barusan saya baca pengantar untuk terjemahan prosa Genji Monogatari karya Murasaki Shikibu (nama pena) yang dalam bahasa Inggris berjudul The Tale of Genji. Di situ, Royall Tyler, si penerjemah Inggris, mengatakan bahwa ada di kalangan peneliti sastra Jepang klasik, ada kecurigaan bahwa sepertiga bab terakhir dari Genji Monogatari itu sebenarnya bukanlah tulisan Murasaki, tapi tulisan putrinya yang kemungkinan melanjutkan kisah itu setelah si ibu tilar donya. Tyler juga mengatakan bahwa ada peneliti yang menggunakan teknologi komputer dan mendapatkan hasil yang menegaskan bahwa sepertiga terakhir Genji Monogatari itu memang secara signifikan berbeda dengan dua pertiga awalnya.

Sekali lagi, saya masih sering terpelongoh melihat ilmu humaniora didekati dengan cara ini. Tempo hari saya posting di sini bagaimana sebenarnya titik artikulasi bunyi dalam organ wicara itu diketahui melalui penggunaan teknologi sinar-X. Saat melihat para peneliti sastra ini menggunakan berbagai cara yang bisa jadi dianggap “main-main” (atau bahkan “sok serius”) dalam meneliti sastra, saya jadi sering nyengir-nyengir sendiri. Pertama nyengir-nyengir sendiri dengan ganjilnya cara unik itu. Kedua, nyengir-nyengirnya adalah karena di Indonesia kita masih sering terjadi ribut soal hasil penjurian karya sastra–bukan penelitian atas kualitas karya sastra itu sendiri, padahal jelas-jelas penghargaan seperti itu urusannya terlalu dekat dengan duit yang bersinonim dengan kepentingan :D.

Sekarang, setelah tiga paragraf, saya masih juga terpelongoh, bagaimana caranya kita melihat dunia sebagai sesuatu yang utuh, yang saling melengkapi. Sensitivitas macam apa yang harus kita tumbuhkan agar bisa tanpa ragu menggunakan, misalnya, teknologi sinar-X untuk membantu studi linguistik, pemrograman komputer dekade 70-an untuk mempelajari puisi Jahiliyah, perhitungan statistik atas diksi untuk memastikan isi prosa jepang awal abad ke-11.

Setelah empat paragraf, saya masih terpelohgoh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *