Sebenarnya paragraf-paragraf di bawah ini adalah komentar saya di blog seorang penerjemah dan aktivis dunia penerjemahan yg saya hormati karena karya-karyanya seperti Kateglo dan Kamus Etimologi Bahasa Indonesia. Tapi, karena saya pikir perlu juga saya dokumentasi ocehan saya sendiri (sebagai bentuk tanggung jawab atas ucapan saya, mungkin), maka saya posting juga di sini:
Mas Ivan,
Terima kasih sharingnya tentang film ini. Saya penggemar film, meskipun juga tidak bisa dibilang pengamat film (biasanya nonton film kalau sudah setahun muncul :D). Tapi kebetulan penggemar “trilogi before,” mulai Before Sunrise (94), Before Sunset (2004) dan Before Midnight (2013). Kekuatan trilogi before ini menurut banyak orang memang di dialognya. Kita bisa temukan dialog dalam berbagai setting dan aksi, mulai dialog di ruang coba piringan hitam sampai sambil jalan membelah taman, mulai dialog mau senggama di taman sampai dialog nggak jadi senggama di kamar hotel.
Dalam film pertama (yg saya tonton saat masih kuliah), saya sangat terpesona dengan romantisme sederhana dan gairah mudah yg seperti selalu ingin meraih bulan dalam segala hal. Dalam film kedua, yg kuat sepertinya adalah kesuraman hubungan rumah tangga yang tidak bahagia. Film kedua ini mungkin yg paling lemah dalam hal cerita, tapi kualitas akting mereka bertambah mengasyikkan untuk ditonton (saya ingat sekali raut muka Celine dan Jesse saat menaiki tangga menuju apartemen Celine di Paris sambil menggendong kucing Celine yg bernama “Che,” lihat deh!). Nah, untuk film yang ketiga ini, saya menonton sebagai seorang suami yg masih ingin meraih mimpi, bapak dengan anak berusia 7 tahun, dan seorang yg setengah mati ingin mengamalkan cita-cita feminisme, permasalahan yg diperbincangkan antara Jesse dan Celine (terutama yg di kamar hotel itu) benar-benar seperti reminder yg tidak akan pernah saya lupakan. Seperti apa posisi seorang istri? Seperti apa semestinya suami memposisikan dirinya? Seperti apa seorang suami memandang cita-citanya? Ah, penulis film ini, menurut saya, sungguh sangat sensitif dan sangat kukuh mengusung tema yg mungkin tidak akan habis jadi bahan perbincangan selama arah dunia masih didominasi laki-laki sementara energinya berasal dari laki-laki dan perempuan.
Sementara begitu, saya harus nyiapkan makan malam anak saya–ibunya kerja kalau sore hari. 😀
Salaam,
Terima kasih atas ulasannya, Mas. Komentar ini lebih bermutu daripada artikel yang dikomentari. Topik yang dibahas dalam film ini memang sangat relevan dengan konteks kiwari yang kita hadapi; saat dua sejoli berusaha mencari posisi yang pas. Saya seperti becermin 🙂
Iya, saya setuju: “saya seperti bercermin.” Kadang-kadang rasanya ingin teriak kalau ada film yg berhasil memotret dengan sejitu ini tapi tidak mendapat sorotan yang sepantasnya. Gegap gempita kita dengan film2 lain yg sangat jauh dari hidup sehari2 jadi seolah perwujudan gamblang pelarian kita dari permasalahan yg sebenarnya. Ah, mungkin saya saja yg terlalu suka realisme yg ditawarkan Trilogi Before ini. Kapan2 bagi lagi ya tontonannya.