(Terjemahan) Selamat Datang di Dalam Mesin dari Pink Floyd (Welcome to the Machine)

Selamat datang, Nak, selamat datang di dalam mesin.
Dari mana saja kamu?
Tak apa, kami tahu kamu dari mana.
Kamu baru dari pipa, menunggu giliran
Berteman mainan dan ‘Pendidikan Kewarganeraan’.
Kau beli gitar untuk menghukum mama,
Kau tak suka disuruh sekolah,
dan kau tak mau dibodohi,
Maka, Anakku, selamat datang di dalam mesin.

Selamat datang, Nak, selamat datang di dalam mesin.
Apa yang kau impikan?
Tak apa, kami dulu tanamkan mimpi itu.
Kamu impikan bintang besar,
Dia jago menyayat gitar,
Sukanya makan di Steak Bar.
Dan berkeliling naik Jaguar.
Maka, Anakku, selamat datang di dalam mesin.

Pesan penerjemah: Lirik asli lagu ini bisa didapatkan di sini. Dana kalau Panjenengan sekalian ada waktu, silakan juga nonton animasinya di sini. Menurut saya animasinya bisa menambah pemahaman kita akan lagu ini. Selama ini saya mengira bahwa generasi 70-an itu dipenuhi para musisi (terutama prog-rock) yang anti-kemapanan dan kritis terhadap pendidikan yang dampaknya adalah mematikan kreativitas seorang anak, menjadikannya pribadi-pribadi yang dicucuk hidungnya. Supertramp, dalam lagu “The Logical Song,” bilang bahwa pendidikan formal membuat kita “layak dihidangkan … dan (lembek seperti) sayuran.” Pink Floyd sendiri dalam album The Wall menyerukan “hey, teachers, leave those kids alone.” Terus bagaimana dalam lagu “Welcome to the Machine” ini?

Nah, di dalam lagu “Welcome to the Machine” ini, politik Pink Floyd (atau David Gilmour ya?) semakin terasa bernuansa, tidak lagi membuat kita berpandangan hitam putih tentang sikap mereka terhadap pendidikan. Sepenafsiran saya, lagu ini kritis kepada yang tidak mau sekolah DAN belajar menjadi kritis sehingga akhirnya menerima mimpi2 yang ditanamkan oleh “orang tua.” Sepertinya, pendidikan yang dimaui aku-lirik dalam lagu ini adalah pendidikan untuk bersikap kritis dan tidak hanya menjadi penerima ajaran dan mimpi2 dari “orang tua” (sepertinya “orang tua” di sini mengacu kepada status quo atau, dalam istilah film The School of Rock, “the Man,” atau tekanan sosial yg membuat kita seragam dengan orang lain). Hilangnya kekritisan seperti itu akan membuat si anak datang ke dalam “mesin” bukan sebagai suku cadang, tetapi sebagai bahan bakar–makanya si anak datang dari “pipeline” atau pipa saluran bahan bakar.

Sekali lagi, sepertinya “sekolah” yang diinginkan oleh persona atau aku-lirik dalam lagu ini adalah sekolah yang menjadikan seseorang pemikir kritis, sehingga tidak hanya mendamba bintang-bintang besar yang hidup berkubang di steak bar dan menunggang Jaguar. Jadi, kalau diulur lebih jauh lagi, lagu ini juga mengandung asumsi bahwa tidak sekolah formal pun tidak masalah asal bisa berpikir kritis.

Animasi dari YouTube yang saya sarankan itu juga menggambarkan bagaimana banjir darah (bencana) itu sebenarnya adalah tangan-tangan manusia yang menjunjung tinggi sebuah menhir persegi (atau istilah kerennya “monolith”) hingga akhirnya melambung ke angkasa sementara tangan-tangan itu tetap dibumi mendamba-damba. Sudahlah, saya tidak akan mengganggu lagi kenikmatan Anda menikmati lagu ini. Silakan!

P.S. Kalau Anda punya kritik dan saran (atau sekadar kesan) untuk terjemahan ini, silakan tinggalkan komentar di bawah. Saya jamin gratis, tanpa biaya sepeserpun. Kalau misalnya Anda punya saran lagu-lagu penting dan historis yang Anda ingin saya terjemahkan, silakan sebutkan. Kalau ada kesempatan dan waktu (dan tentu saja kemampuan) saya akan mencoba menyajikannya. Khusus untuk Anda. Ya, Anda yang sekarang membaca ini sambil minum jus jeruk hangat itu. Eh, itu jeruk apa teh? Bukan kopi yang terlalu encer, kan?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

3 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *