Menjadi biarawan (monk) atau menjalani kehidupan kebiarawanan (monastic life) adalah menjalani hidup meninggalkan ihwal duniawi. Kita akan mencoba membandingkan konsep ini salah satu aspek dari tasawwuf.

Menjalani hidup sebagai biarawan–dalam hal ini biarawan abad pertengahan–adalah meneken kontrak untuk meninggalkan keduniawian sepenuhnya. Kalau saya bilang “sepenuhnya” di sini, artinya memang sepenuhnya. Tidak boleh ada kenikmatan yang sifatnya lahir maupun batin. Makan-makan enak dan nonton film terus-menerus, yang di sini saya golongkan sebagai kenikmatan fisik atau kasat mata, maupun berbangga hati dengan pencapaian sebagai orang yang berhasil meninggalkan dunia, yang termasuk “kenikmatan” batin adalah hal-hal yang tidak boleh ada dalam kehidupan seorang biarawan.

Tapi, biarawan tidak begitu saja meninggalkan dunia. Sebagai seorang penganut agama Kristen, dia juga punya tanggung jawab terhadap orang lain. Apa tanggung jawabnya? Para biarawan abad pertengahan bertanggung jawab menjadi “perantara” antara manusia yang lain dengan Tuhan. Bagaimana caranya? Menurut Paul Freedman, profesor sejarah dari Yale University, bentuknya berupa berdoa terus-menerus dan bisa dibilang memberikan kelebihan doanya (dalam Islam mungkin ada istilah “syafaat”) kepada orang lain di dunia. Selain itu, mereka juga melakukan pekerjaan yang mungkin jauh lebih membosankan dari pekerjaan-pekerjaan lain. Apa itu? Menyalin manuskrip. Ingat, pada Abad Pertengahan belum ada teknologi mesin cetak–apalagi copy-paste! Kegiatan menyalin manuskrip ini merupakan pekerjaan yang menjadi wujud kesabaran mereka sekaligus bakti kepada masyarakat, karena mereka inilah yang melestarikan manuskrip-manuskrip yang sudah tua. Sekadar diketahui, pada masa itu, melek huruf adalah keahlian yang tidak dimiliki semua orang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *