Seiman, Lintas Agama dan Tanpa Agama: Tawaran Rumus Sederhana

Ada persamaan sederhana yang perlu diketahui dalam hubungan antar umat beragama maupun hubungan antara umat beragama dan tidak beragama.

  1. Bahwasanya, banyak elemen dari pandangan dunia umat yang beragama itu membutuhkan iman dan keikhlasan. Banyak sekali hal yang dipercaya oleh orang beragama yang tidak membutuhkan pembuktian empiris maupun historis. Kadang pembuktian empiris maupun historis bisa dijustifikasi, tapi tanpa itu pun orang yang beragama bisa mempercayainya.
  2. Bahwasanya, umat dari agama yang berbeda-beda itu memiliki elemen iman dan keikhlasan yang berbeda-beda. Karena itulah, bila menyangkut elemen-elemen keimanan ini, perbincangan antara umat berbeda agama hanya bisa efektif kalau dilakukan dalam kerangka bertukar informasi. Segala upaya untuk memenangkan diskusi dengan argumentasi apapun cenderung tidak akan ada hasilnya, dan ujung-ujungnya malah hanya membuat sakit hati. Contoh gampangnya, seorang Muslim seratus persen percaya bahwa Tuhan itu tunggal, memiliki ke-Esaan yang tidak kenal kompromi, sementara seorang Kristen (mohon maaf, tidak tahu istilah satu kata untuk “pemeluk agama Kristen” seperti halnya kata Muslim untuk pemeluk Islam) memiliki keyakinan bahwa Tuhan itu satu tapi memiliki manifestasi di bumi pada diri Yesus. Betapapun kuatnya seorang Kristen berargumentasi tentang Trinitas, sulit rasanya bagi Muslim untuk mempercayai; demikian halnya sebaliknya, seorang Muslim tidak bisa begitu saja ngotot berargumentasi bahwa Tuhan yang Tunggal itu tidak bisa diwakili dalam wujud apapun. Adu argumentasi dengan menggunakan landasan keimanan yang berbeda tidak akan menemukan titik temu. Tapi tidak dipungkiri juga bahwasanya ada kalanya satu pihak “kalah” dalam berargumen dan menyeberang ke pihak yang lain; dalam kasus seperti ini, pihak yang menyeberang ini memang punya “bakat” meyakini landasan keimanan, sehingga berpindah landasan keimanan masih mungkin terjadi.
  3. Bahwasanya, perbincangan antara umat beragama dengan umat yang tidak beragama yang percaya dengan landasan sejarah murni hanya bisa dilakukan dalam kerangka bertukar informasi. Sedikit banyak hal ini menyerupai diskusi antara umat berbeda landasan keimanan. Sebagai contoh, seorang Muslim tidak akan pernah bisa meyakinkan seorang Agnostik murni dengan argumen-argumen yang berlandaskan keimanan Islam. Seorang Muslim, misalnya, mendapatkan sumber untuk landasan keimanannya dari Alquran dan kompilasi hadits, yang dia percaya sebagai sumber yang sahih karena (sebelum dituliskan) ditransmisikan dalam beberapa generasi oleh orang-orang yang budi pekertinya tidak cela. Bagi seorang Muslim, ketidakcelaan budi pekerti periwayat pesan beserta kualitas dari pesan itu sendiri mencukupi untuk dijadikan landasan bagi keyakinannya. Bagi seorang skeptik atau ilmuwan (baik alam maupun sosial), misalnya, landasan etika itu saja tidak cukup; harus ada bukti nyata yang mendukung otoritas sumber-sumber yang berlandaskan pada keimanan tersebut. Sulit bagi orang ini untuk mempercayai otoritas Nabi Muhammad apabila Islam baru muncul untuk pertama kalinya dalam sejarah (maksudnya dalam sumber tertulis) versi Barat baru dua ratus tahun setelah tahun mangkat Nabi Muhammad. Seperti halnya hubungan antar umat berbeda agama, hubungan yang harmonis antara umat beragama dan umat tidak beragama bisa terjalin dalam kerangka bertukar informasi dan menambah pengetahuan yang dilandasi dengan empati.

Dengan proposisi tersebut, hendaknya kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Seperti apa sikap yang diambil dalam diskusi lintas agama? (Pertanyaan ini bisa dibuat lebih mendetil menjadi: Seperti apa sikap seseorang terhadap orang yang memiliki landasan keimanan berbeda–termasuk juga umat seagama tapi beda denominasi seperti halnya Katolik-Protestan atau Sunni dan Syiah*?)
  2. Bagaimana hendaknya sikap seseorang saat mendiskusikan agama dalam lingkup humaniora (atau liberal arts atau bidang ilmu yang memiliki landasan kemanusiaan, artinya landasan yang bisa dipakai semua orang tak peduli apapun agamanya)?
  3. Bagaimana hendaknya sikap seseorang saat mencoba memahami (termasuk juga membaca karya) orang yang memiliki landasan keimanan berbeda (ataupun yang tidak memiliki landasan keimanan sama sekali)?

*Mungkin ada sebagian orang yang bertanya kenapa saya perbandingkan Katolik-Protestan dengan Sunni-Syiah; semoga ada kesempatan lain untuk membahas perbedaan teologis antara Sunni dan Syiah, yang menjadikannya mirip dengan hubungan Katolik-Protestan.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *