Postingan ini ditulis sekadar untuk mengingatkan diri sendiri. Tapi, pembaca, karena Anda sekalian adalah bagian dari diri saya, maka tidak menutup kemungkinan postingan ini juga berarti untuk Anda. Maka, inilah: bagaimana penulis memperlakukan sejarah?
Setidaknya ada dua cara penulis mempelakukan sejarah, dan kedua cara itu tergantung penulis macam apa kita.
Pertama, kalau kita adalah penulis dan sejarawan sekaligus, maka kita memperlakukan sejarah dengan cara 1) mencari bukti-bukti otentik untuk menyusun narasi sejarah, dan 2) mencari narasi sejarah karya sejarawan sebelum kita, untuk kita jadikan bandingan atas interpretasi kita. Bukti-bukti otentik yang saya maksud di sini adalah segala sumber tulisan dari masa lalu, mulai dari prasasti, daftar belanja, faktur pembelian, surat-surat cinta, sampai dengan kronik atau laporan pandangan mata dari masa lalu. Berdasarkan semua sumber tertulis ini, kita sejarawan ini membuat narasi, atau cerita, yang runtut dan dapat dipertanggungjawabkan keutuhan logikanya dengan menggunakan semua sumber otentik tadi.
Tentu ini kerja yang tidak mudah. Kita butuh ketekunan, keterampilan (misalnya kemampuan bahasa yang dipakai pada masa yang kita teliti), ketelitian, dan tentu saja kejujuran. Dengan memahami proses ini, kita jadi paham dengan selorohan bahwa saat ada tujuh sejarawan menyusun sejarah sebuah masa maka akan ada lima belas versi sejarah. Semua narasi yang kita buat, seganjil apapun, bisa disebut sebagai sejarah asalkan dapat dipertanggungjawabkan dengan sumber otentik tadi. Dari sini pulalah ungkapan bahwa sejarah ada di tangan penguasa muncul. Penguasa bisa melakuan apa saja untuk menutup satu fakta (dg kata lain, bukti otentik) dan menyoroti fakta yang lain.
Kedua, kalau kita adalah penulis yang “hanya” membutuhkan sejarah untuk mendukung topik-topik lain yang kita tulis, maka yang kita perlukan adalah narasi sejarah yang sudah dibuat oleh sejarawan yang bisa kita andalkan. Yang termasuk di antara penulis macam ini adalah, misalnya, seorang peneliti sastra yang ingin membahas sastra dari satu masa tertentu. Taruh kata Anda ingin meneliti novel James Joyce A Portrait of the Artist as a Young Man, maka Anda sedikit banyak membutuhkan pemahaman akan sejarah Irlandia awal abad kedua puluh dan paruh kedua abad kesembilan belas. Di situ Anda butuh merujuk kepada sejarawan-sejarawan yang membahas periode Irlandia tersebut. Masing-masing sejarawan akan memiliki tesis tersendiri mengenai hal itu, misalnya apa penyebab utama kelaparan dasawarsa 1850-an, kenapa orang-orang Katolik Irlandia itu memilih bermigrasi ke Amerika Serikat yang sudah dikenal sebagai sarangnya keturunan orang-orang Protestan dari Inggris (yang juga merupakan penjajah mereka di tanah Irlandia sendiri, dsb.).
Dalam penggunaan sejarah sebagai latar belakang seperti ini, kita bisa menggunakan lebih dari satu sejarawan, meskipun mereka memiliki tesis sejarah yang berbeda-beda. Kenapa begitu? Karena mungkin saja karya yang kita teliti lebih bisa didekati dengan menyadari adanya alternatif penafsiran. Tentu ini operasi yang cukup pelik. Namun, kewaspadaan akan berbagai narasi sejarah ini, asalkan disertai dengan ketelitian penulisan untuk mencegah kesimpangsiuran, hasil penelitian kita akan lebih bernuansa.
Maka demikianlah. Pendek kata, ada dua jenis penulis yang memperlakukan sejarah: sejarawan (yang tugasnya membuat narasi sejarah) dan penulis bidang lain (yang menggunakan sejarah “hanya” sebagai latar belakang atau landasan untuk penelitiannya). Mengetahui di mana kita berada dalam dua kelompok ini akan mencegah terjadinya kesimpangsiuran, mengefektifkan kerja kita, dan memberikan landasan atau latar belakang yang masif untuk penelitian kita.