Buat yang pernah kuliah Bahasa Inggris atau Sastra Inggris di Indonesia, puisi Robert Frost “The Road Not Taken” adalah salah satu bahan telaah wajib. Puisi super populer ini berkisah tentang Robert Frost yang ketemu percabangan jalan dan harus memilih salah satunya. Tentu dalam pelajaran apresiasi puisi sastra Inggris para mahasiswa dan dosen bermufakat bahwa imaji ini mewakili pilihan hidup seseorang. Dia harus memilih salah satu. Penafsiran ini begitu massif, sistematis, dan terstuktur di jurusan bahasa Inggris. Dampaknya, saat sudah lulus kuliah dan berbincang-bincang tentang pilihan hidup, atau membahas pilihan hidup dalam tulisan, seringkali para lulusan bahasa Inggris ini menyempatkan mengutip puisi Robert Frost ini.
Menakjubkan, bukan, sebuah puisi bisa menancapkan akar-akarnya hingga jauh ke pelosok negeri yang berjarak separuh keliling bumi? Demikianlah pengaruh kanonisasi karya sastra. Karya sastra kanon bisa menjadi bahan resep yang harus selalu ada dalam masakan disiplin ilmu, dalam hal ini Sastra Inggris. Saat disiplin Sastra Inggris ini dicangkokkan di negara lain, karya sastra kanon ini pun ikut tercankok di negara lain tersebut. Dan saat mahasiswa bahasa Inggris yang menerima cangkokan karya-karya sastra kanon ini “dibebaskan” dari universitas dan diterjunkan ke masyarakat, maka karya-karya cangkokan itu pun kadang-kadang ikut tercecer ke masyarakat. Tentu banyak yang baik dari ceceran karya sastra kanon ini; toh banyak (tidak semua) dari karya-karya kanon itu memang karya yang kualitas estetisnya bagus. Banyak juga karya-karya yang patut dicurigai keikutsertaannya dalam kanon sastra (misalnya adalah karya-karya yang bertujuan untuk menanamkan kebanggaan terhadap negeri asal karya sastra tersebut, misalnya Inggris, padahal yang mempelajarinya adalah rakyat negara jajahan, misalnya India).
Tapi, bahkan karya-karya yang bagus ini pun bisa meninggalkan dampak yang kurang positif. Misalnya adalah “ketergantungan” terhadap karya-karya kanon ini bisa berpotensi menutup kemungkinan mengeksplorasi karya-karya sastra dari negeri ini. Contoh dari “ketergantungan” ini adalah kecenderungan merasa cukup dg mengutip “The Road Not Taken” untuk membahas pilihan hidup seniman. Padahal, ternyata dalam sastra Indonesia sendiri, ada satu karya puisi yang menggemakan tema yang sama: seseorang yang memilih jalan hidup yang tak biasa. Yang saya maksud di sini adalah puisi “Bisikan” karya Wing Kardjo. Bedanya adalah: Wing Kardjo menggunakan imaji ruangan, bukan jalan.
Apakah ini salah si alumnus jurusan Sastra Inggris? Kita tidak bisa menyalahkan orang yang tidak tahu, atau tidak awas. Mungkin saja pembuat kurikulum (pembuat kanon?) sastra Indonesia yang kurang mengangkat puisi yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan ini. Yang kita tahu pasti adalah: ada begitu banyak hal di luar sana dan kita sering terlalu nyaman dengan apa yang sudah kita miliki. Dalam kasus Robert Frost vs. Wing Kardjo ini, seringkali ada begitu banyak hal di luar referensi sastra Inggris untuk menggambarkan kehidupan kita, misalnya dalam Sastra Indonesia (yang mestinya lebih dekat dengan hidup kita) tapi kita lulusan sastra Inggris ini lebih nyaman dengan beberapa potong puisi dan beberapa tumpuk novel berbahasa Inggris yang telah kita baca.
Silakan menyaksikan kedua puisi yang saya rujuk dalam postingan ini:
The Road Not Taken
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim
Because it was grassy and wanted wear,
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way
I doubted if I should ever come back.I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I,
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
(Robert Frost)Bisikan*
Aku pun tahu
hidup yang itu
tapi ada suara
yang berkata. Yangini saja
lebih rapat
ke hati, lebih
akrab dan berartidari terang
lampu di ruang
tivi dan itu-ini
duniamu yang gemerlapan.Sekiranya kuindahkan
tentunya bukan pelarian.
(Wing Kardjo)
* Puisi ini diambil dari buku Fragmen Malam: Setumpuk Soneta (1997) karya Wing Kardjo yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya.
Pertama kali saya tahu puisi The Road Not Taken dari novel Paulo Coelho: The Winner Stands Alone. Jadi merupakan karya sastra yang diperkenalkan lewat karya sastra yang lainnya 🙂
Wahaha… berarti saya yang sok tahu ya? 😀 Suka puisi itu, nggak, Mas?
nggak kok mas, maksudnya saya akhirnya jadi tahu puisinya Frost itu dari Paulo Coleho 😀
suka dengan puisi itu, mungkin karena memang temanya sendiri adalah hal yg harus dilalui setiap orang 🙂
saya sendiri bacanya terjemahan bahasa Indonesia, dan terjemahannya pas banget.
jujur, malah saya agak lama paham puisi yg dari Wing Kardjo. Mungkin karena belum terbiasa ya, hehe