Dalam kajian pascakolonial, mimikri adalah konsep penting yang menjadi semakin penting saat dibahas Homi K. Bhabha dengan lebih mendalam dalam bukunya The Location of Culture.
Sebelum memasuki pembahasan singkat tentang “mimikri,” kita perlu ingat satu kecenderungan mendasar dalam pemikiran Homi Bhabha. Dalam tulisan kritisnya, Bhabha selalu menegaskan pentingnya tidak segera mengambil posisi yang langsung bertentangan dengan posisi lain. Dengan kata lain, dia selalu menganjurkan posisi antara, dari mana kita bisa melihat ke kedua sisi secara kritis. Kata-kata kunci semacam “Tempat Ketiga,” “negosiasi,” “ambivalensi,” dan sejenisnya banyak bertebaran dalam tulisan-tulisan Bhabha.
“Mimikri” mengacu pada fenomena adanya orang-orang dari bangsa kolonial atau jajahan* yang memiliki pendidikan dan cita rasa negeri penjajah. Bhabha menggunakan contoh India atau India Inggris, di mana banyak penduduk pribumi India yang pada masa kolonial mendapat pendidikan dari orang Inggris, atau bahkan di Inggris. Memang orang-orang ini biasanya mendapat pendidikan hanya agar bisa menjadi antek-antek Inggris di tanah India, dan belakangan orang cenderung memandang kelompok ini sebagai kelompok yang sangat negatif, karena ikut menghidupi kolonialisme, menjadi kaki-tangan penjajah tuan atas saudara sebangsa. Untuk konteks Indonesia, padanannya adalah kelas priyayi atau kelompok panggreh praja atau pegawai jaman kolonial–yang merupakan bumiputera. Mereka menjalani “mimikri” karena memang mereka lebih meniru (me-mimik) bangsa penjajah. Sekali lagi, ada saatnya ketika pelaku mimikri ini dianggap buruk.
Bhabha, dengan kecenderungannya menjelajahi jalan tengah, menyoroti bahwa ada sesuatu yang berarti dari mimikri ini. Memang para pribumi pelaku mimikri ini meniru gaya orang kulit putih (mulai dari bahasa, penampilan, hingga selera), tapi mereka tetap bukan bukan orang kulit putih. Bhabha berulang kali menegaskan bahwa mereka “white but not quite,” mereka jadi orang kulit putih tapi nggak putih-putih amat. Di sinilah terdapat arti penting mereka: pada diri “manusia mimik” ini terdapat benih-benih kehancuran sistem yang mempekerjakan mereka, yaitu kolonialisme. Orang-orang yang berpendidikan barat tapi tidak barat-barat amat inilah yang berpotensi merongrong kekuatan Barat yang dicengkeramkan di Timur.
Kalau kita kembalikan ke konteks Indonesia, di antara para priyayi yang menikmati pendidikan dan gaya hidup ala Belanda itu terdapat orang-orang yang–karena ikatan emosional dan biologis–tetap ingin memperjuangkan nasib bumiputera. Dalam karya sastra Indonesia pra-kemerdekaan, kita bisa melihat tokoh Hidjo dalam roman Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo sebagai contoh manusia mimik yang kesadarannya sebagai bumiputera tumbuh dan semakin mengganggu–hingga akhirnya mempengaruhi kehidupan asmaranya. Meskipun pada akhirnya dia bekerja di bawah sistem kolonial, kesadarannya bahwa ada ketidakadilan yang harus terus dikikis pada akhirnya merongrong cengkeraman pemerintah kolonial di Indonesia. Untuk sedikit lebih jelas, silakan baca artikel ringkas ini.
Catatan:
* saya sebenarnya curiga Bhabha tidak akan suka istilah “jajahan” sebagai terjemahan kolonial, karena kata “jajahan” langsung mengesankan bahwa bangsa yang dijadikan jajahan pasti selalu dalam posisi lemah, dan tidak menjanjikan adanya perubahan keadaan
Hallo kenalin nama aku Gumanti. Salam kenal. Kebetulan banget nih aku nemu tulisan tentang mimikri Homi Bhaha di blog kamu. Gini, penelitian skripsi aku tentang mimikri juga, dan aku lagi butuh referensi nih.. kamu punya bukunya Homi yang The Location of Culture?
Halo, Gumanti. Aku kebetulan punya bukunya, tapi pasti repot urusannya kalau harus meminjamkan ke sampean :D. Tapi jangan kuatir, ada beberapa sumber yang bisa dibaca terkait konsep mimicry dan Location of Culture:
Ini ada penjelasan yang sangat jelas dan bagus tentang konsep mimicry Bhabha:
http://www.lehigh.edu/~amsp/2009/05/mimicry-and-hybridity-in-plain-english.html
Terus ini ada bagian-bagian penting dari esai berjudul “Of Mimicry and Man,” di mana Bhabha menjelaskan konsep itu:
https://prelectur.stanford.edu/lecturers/bhabha/mimicry.html
Dan kalau mau tambahan, baca salah satu bab dari buku Location of Culture yang berjudul “Interrogating Identity” di sini:
http://faculty.georgetown.edu/irvinem/theory/Bhabha-LocationofCulture-chaps.pdf
Kasih komen di sini saja kalau ingin mendiskusikan apa-apa.
Sukses buat skripsinya ya!