(Postingan tentang James Joyce dalam beberapa postingan ke depan adalah tulisan saya waktu diskusi James Joyce di milis Apresiasi Sastra bertahun-tahun yang lalu. Saya baru saja temukan lagi di blog Dvnia Joyce.)
Akhirnya, pada usia dua puluh tahun (tahun 1902) James Joyce meninggalkan kampung halamannya di Irlandia untuk pergi ke Perancis. Ketika itu dia berniat melanjutkan ke pendidikan kedokteran. Namun, setahun kemudian dia kembali ke Irlandia karena mendapat kabar ibunya sekarat, dan pendidikan yang dia impikan pun mandek karena salah satunya persoalan ekonomi. Setelah tinggal di Irlandia selama beberapa saat dan bertemu gadis idaman yang membuatnya merasa menjadi lelaki sungguhan, Jim kemudian kembali pergi ke daratan Eropa, kali ini membawa gadis Nora Barnacle. Sejak itu hingga akhir hayatnya dia hanya sekali mengunjungi Irlandia, namun dia secara rutin mengunjungi Irlandia di setiap lembar buku yang dia hasilkan, begitulah saya kutip dari sebuah sumber.
Kepergian dari Irlandia adalah salah satu poin penting yang wajib diperhatikan dari Jim. Dari novel autobiografisnya A Portrait of the Artist as a Young Man (A Portrait), kita akan menemukan kata-kata ini menjelang penghujung novel:
“Biar kukatakan apa yang akan dan tidak akan kulakukan. Aku tidak akan menuruti apa-apa yang tidak lagi kupercayai, biarpun ia menyebut diri rumahku, ibu pertiwiku, atau gerejaku: dan akan kucoba mengungkapkan diri dengan gaya hidup atau gaya berkesenian sebebas yang kubisa dan setotal yang kubisa, sambil menggunakan satu-satunya senjata yang akan kuijinkan bagi diriku sendiri—diam diri, pengasingan, dan kecerdikan.”
Dua kalimat ini kiranya merangkum sikap James Joyce dalam berkepenulisan. Meninggalkan Irlandia adalah tindakan terakhir yang dia ambil. Dia meninggalkan ibu pertiwi sekaligus ibu kandungnya (sekaligus bapak dan saudara-saudara kandung, tentunya). Sekitar lima tahun sebelumnya, dalam usia 15 tahun, dia memutuskan untuk meninggalkan gereja karena lebih memilih kebebasan dan seni. Ketiganya dia rasa membatasi jalannya untuk menjadi seorang seniman sejati. Agama mengekangnya dengan norma-norma. Keluarga mengekangnya dengan keadaan perekonomian yang tak kunjung membaik. Negara mengekangnya dengan tidak segera berjuang memerdekakan dirinya dari Inggris.
Tapi, sebagai seorang seniman, dia tidak akan ikut-ikutan protes atau turun ke jalan untuk menyuarakan ketidakpuasannya. Dia memilih “diam diri” dan menarik diri ke “pengasingan” untuk bisa lebih total dalam menggunakan “kecerdikan/ketrampilannya”. Dia ungkapkan isi hatinya dengan menulis sejumlah kisah indah hasil olah kecerdikannya sehingga kisah-kisah itu tak lekang dimakan zaman. Dan kisah tersebut tak jauh-jauh dari dari Irlandia, Katolik, dan Keluarganya.
Selama hidupnya yang hanya 59 tahun itu, James Joyce menghasilkan dua buku kumpulan puisi, satu naskah drama, dan empat karya prosa (plus satu naskah novel yang diterbitkan sepeninggalnya). Namun, dunia lebih mengingat James Joyce atas karya-karya prosanya: Dubliners mengisahkan sepak terjang warga Dublin di tengah “kelumpuhan” yang melingkupi berbagai aspeknya, A Portrait mengisahkan dua puluh tahun pertama kehidupan seorang bakal seniman di tengah-tengah lingkungan yang mengekang sekaligus mendewasakan, Ulysses berkisah tentang dua puluh empat jam dalam kehidupan tiga tokoh yang dipenuhi pertemuan dan perenungan serta pamer kekuatan James Joyce dalam bentuk dan isi cerit, dan Finnegans Wake berkisah tentang… apa ya…? (kalau ini saya sendiri belum baca dan sepertinya masih belum akan bisa membacanya dalam waktu dekat, 😀 , yang jelas bahasanya mbulet!).
Untuk sedikit melihat bagaimana ketiga hal tersebut maujud dalam karya-karya Joyce, baiknya kita buka-buka sekilas karya-karya Joyce sambil sekaligus menyinggung sejumalh aset penting kepenulisan James Joyce. Kalaupun ini tidak cukup untuk membuat kita benar-benar paham James Joyce, paling tidak jika nanti kita ketemu beliau di jalan, kita berani menyapanya.