(postingan asli di milis Apresiasi Sastra pada 14 Januari 2008)
Dengan ini saya memberikan ijin secara terbuka kepada Messrs Maunsell untuk menerbitkan cerita ini dengan segala pengubahan atau penghapusan yang ingin mereka buat, dan saya berharap yang mereka terbitkan nanti kiranya menyerupai tulisan yang saya buat dengan curahan pikiran dan waktu saya,’ tulis James Joyce kepada penerbit Maunsell and Co. Kemudian dengan tampang kuyu, dia rekat amplop dan keluar rumahnya mengirimkan surat itu.
Pembagian-Empat-Kelompok: Kelimabelas cerita dalam Dubliners bisa dimasukkan ke dalam empat kategori: 1) cerpen-cerpen yang berkutat pada kehidupan kanak-kanak (The Sister, The Encounter, Araby), 2) cerpen-cerpen selingkup remaja (Evelyn, After the Race, Boarding House, Two Gallants), 3) cerpen-cerpen masa dewasa (A Little Cloud, Counterparts, Clay, A Painful Case), dan 4) cerpen-cerpen kehidupan umum (Ivy Day in the Committee Room, A Mother, Grace, The Dead). Jadi meski berupa kumpulan cerpen, Dubliners memiliki ide yang utuh. Di sini, kayaknya kita bisa bandingkan Joyce dengan kebanyakan penulis (yang pernah menulis) cerpen. Masing-masing cerpen memiliki kisah tersendiri, namun jika dikumpulkan dalam satu buku maka akan terbentuk makna baru: kelumpuhan Dublin. Semoga tidak salah jika saya menyandingkan Dubliners bersama buku kumpulan cerpen sejenis, semisal Cerita-cerita Timur (Margarita Duras), Orang-orang Bloomington (Budi Darma). Bertiga (atau bisa ditambah dengan buku-buku lain serupa) mereka merupakan
buku kumpulan cerpen yang tidak hanya kumpulan dari cerpen-cerpen sejenis karya seorang penulis, atau (kadang-kadang ada) kumpulan hanya cerpen-cerpen yang pernah ditulis seorang penulis hingga titi masa tertentu.
Kelumpuhan: Dubliners mengetengahkan kelumpuhan yang menjangkiti keempat aspek kehidupan penduduk Dublin (anak-anak, remaja, dewasa, kehidupan umum), demikian menurut sebuah surat Joyce kepada Grant Richards, penerbit pertama Dubliners. Di antara kelumpuhan-kelumpuhan tersebut, terdapat: ketidakberdayaan seorang bocah kecil di hadapan seorang pendega yang mencekokinya dengan dalil-dalil keagamaan yang sebenarnya dia rasa masih terlalu berat baginya (The Sisters), kepasrahan seorang gadis yang terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga dan memberi ayahnya uang untuk mabuk-mabukan karena saudara-saudara lelakinya sudah meninggalkan rumah (Evelyn), seorang ayah dengan pekerjaan bergaji kecil yang tak kuasa melawan “adat” mentraktir teman-teman sebayanya yang pengangguran sementara keluarganya sendiri serba kekurangan (Counterparts). Pendek kata, Dubliners adalah kumpulan kisah-kisah tentang kelumpuhan yang disoroti pada aspek yang berbeda-beda.
Inspirasi, kesepelean, dan ketakberplotan: Joyce menulis dengan gaya realis. Yang dikisahkannya adalah apa yang ada di bumi. Saat dia bercerita tentang kelumpuhan, dia tidak mengada-adakan kelumpuhan-kelumpuhan itu; Joyce mengambil ide-ide cerita tersebut dari apa-apa yang memang ada dalam kehidupan masyarakat Dublin. Ternyata eh ternyata, kejadian-kejadian dalam Dubliners diambil dari yang dialami kehidupan Joyce, keluarganya, dan teman-teman dekatnya. Sekadar data: The Sister terinspirasi oleh kematian seorang pendeta lumpuh yang memiliki ikatan dengannya dari pihak ibu (di sini sosok si pendeta, Joyce, dan ayah Joyce menjadi model untuk tokoh-tokoh penting dalam cerita ini), kisah A Little Cloud terpicu oleh kenyataan bahwa kehidupan rumah tangganya ketika itu (tahun 1905, ketika tinggal di Trieste) terasa mengekangnya dan berpotensi menghilangkan kebebasannya dalam berkesenian, An Encounter terilhami oleh pertemuannya dengan seorang lelaki mencurigakan (yang terobsesi memukul anak kecil). Yang juga kudu disebutkan di sini adalah: Joyce menulis berdasarkan epifani, sebuah momen di mana sebuah kejadian terasa begitu berarti seolah ada bisikan wangsit yang mengatakan bahwa kejadian ini layak diingat, meski kejadian-kejadian tersebut tak lebih dari kejadian sehari-hari nan sepele. Dubliners lebih bersifat menggambarkan ketimbang menceritakan dengan menggunakan plot; tak terbersit di pikiran Joyce (menurut penerawangan saya, 😀 ) untuk membuat pembaca harap-harap cemas seperti apa kira-kira akhir ceritanya. Bukan. Dubliners bukan cerita semacam itu. Dubliners adalah lukisan tentang kelumpuhan yang menjangkiti Dublin. Dan karena dia adalah lukisan, maka setiap paragrafnya memiliki arti yang tak boleh dilewatkan begitu saja; sesepele apapun, itu tetap informasi yang penting untuk keutuhan cerita. Dan seperti halnya lukisan, tidak ada yang namanya akhir cerita atau klimaks yang harus muncul terakhir kali. Setiap jengkalnya berarti.
Ketelitian yang Seteliti-telitinya Teliti: Joyce menegaskan bahwa dia menggunakan ketelitian yang seteliti-telitinya (scrupulous meanness) dalam menulis Dubliners. Segala hal yang tertuang dalam Dubliners telah diperiksa akurasinya, hingga yang sedetil-detilnya. Makanya jangan heran jika suatu hari di tahun 1905 Stanislaus, adik Joyce yang tinggal di Dublin, menerima surat berisi naskah Dubliners untuk meminta kritik dan memintanya mengecek akurasi fakta-fakta di cerita serta memverifikasi fakta-fakta minor dalam cerita. Para penulis yang lebih muda darinya “terpesona oleh perlakuan [James Joyce terhadap masa kanak-kanak, dialeknya yang natural, dan mendalamnya wawasan yang mendasari epifani Joyce atas kehidupan sehari-hari”.
Gaya ungkap non naratif formal: Jika kebanyakan cerita hingga awal abad ke-20 dinarasikan oleh suara orang ketiga atau orang pertama yang halus bahasanya atau tahu segala kejadian dalam cerita, maka Dubliners menyajikan pendobrakan. Cerita-cerita Dubliners diceritakan dengan menggunakan bahasa dan diksi yang sesuai dengan latar belakang dan alam pikiran para tokoh-pelakunya. Maka, ketika dalam The Sisters sang protagonis yang masih kanak-kanak itu mendengarkan perbincangan antar orang dewasa, kita akan mendapati bahwa ucapan-ucapan tokoh dewasa pada beberapa bagian tidak disampaikan secara lengkap kepada pembaca, hal itu terkait dengan fakta bahwasanya si bocah protagonis memang tidak begitu paham dengan pembicaraan orang gede. Gaya seperti ini semakin dielaborasi pada novel A Portrait dan mencapai puncaknya dalam Ulysses.
Blak-blakan wal kontroversi, satu paket: Melihat kontroversi buku yang telah diterbitkan adalah biasa, dan malah menguntungkan bagi penulis dan penerbit hingga tataran tertentu. Sayangnya Joyce merasakan konflik dengan sejumlah penerbit sebelum bukunya diterbitkan. Joyce bersikukuh ingin menerbitkan Dubliners dengan segala daya upayanya. Meski kualitas literernya diakui, penerbit tidak berani menerbitkan, terutama karena keblakblakanannya: banyak nama tempat yang disebutkan secara terang-terangan, banyak kata-kata umpatan yang sebenarnya sesuai dengan fakta di lapangan, sejumlah fakta-fakta tabu yang ditutup-tutupi di Dublin, banyak tokoh penting yang disinggung-singgung dengan tidak sedap, dst. Akibatnya, penerbit-penerbit yang Joyce temui selalu menolak atau meminta banyak koreksi atau penghapusan di sana-sini, bahkan sampai ada yang menyarankan dihapusnya salah satu cerita. Maka, jangan heran melihat surat Joyce yang bernada “pasrah”: `Dengan ini saya memberikan ijin secara terbuka kepada Messrs Maunsell untuk menerbitkan cerita ini dengan segala pengubahan atau penghapusan yang ingin mereka buat, dan saya berharap yang mereka terbitkan nanti kiranya menyerupai tulisan yang saya buat dengan curahan pikiran dan waktu saya.’ Surat ini dibuat Joyce kepada penerbit Maunsell and Co. setelah bertahun-tahun mencari penerbit. Pada akhirnya, persis setelah ditolak sebuah penerbit, pada tahun 1913 menyatakan ketertarikannya untuk menerbitkan buku itu, dengan segala resiko yang harus dia tanggung kelak. Ya, 1913 adalah tahun ketujuh Joyce mencoba menawarkan bukunya ke sana-sini. Grant Richards, orang pertama yang diserahi naskah Dubliners, akhirnya meluncurkan Dubliners pada tahun 1914. Terlepas dari sejumlah kontroversi mengenai isinya yang sinis terhadap aspek-aspek hidup Dublin, ada usaha dari Joyce untuk mengkompensasi kekasaran Dubliners dengan menunjukkan kedermawanan warganya dengan cerita terinspirasi dari pesta malam natal di rumah bibinya, The Dead.
P.S.:
* Ide menyusun Dubliners muncul pada tahun 1904 ketika Joyce diminta menulis cerita (dengan bayaran 1 Pound) untuk Irish Homestead, sebuah majalah berkala dengan sasaran kaum petani dusun. Kemudian setelah rampung sekitar tiga cerita, dia menawarkan kepada Grant Richards untuk menerbitkan Dubliners (ketika sudah rampung kelak). Namun “kejujuran” Dubliners membuat Grant Richards tidak jadi menerbitkannya. Kemudian dia tawarkan ke Maunsell and Co., dan kemudian gagal diterbitkan. Oleh George Roberts, Dubliners sudah dicetak namun tidak berani menerbitkannya. Akhirnya Joyce berinisiatif untuk menerbitkannya sendiri dan membeli Dubliners yang sudah dicetak George Roberts. Namun, karena George Roberts takut dia disangkutpautkan dengan Dubliners di kemudian hari, akhirnya George Roberts membakar semua eksemplar Dubliners yang telah dia cetak, dan hanya menyisakan satu eksemplar proof sheet untuk Joyce bawa. Pada akhirnya, Joyce Grant Richards kembali menyatakan ketertarikannya untuk menerbitkan Dubliners. Joyce pun selanjutnya optimis untuk melanjutkan penulisan A Portrait yang telah rampung tiga bab (dari total lima babnya). Setelah dua tahun, Dubliners hanya terjual sebanyak 499 eksemplar! Tapi kemudian buku itu mempengaruhi gaya penulisan cerpen abad ke-20.
** Terima kasih kepada Ignas Kleden dan St. Sunardi atas keselalusiapannya (24/7!) menerima saya setiap ingin berkonsultasi selama penulisan seuprit kisah Ulysses ini. 😀
*** Tentang James Joyce bisa dilihat dalam James James karya David Pritchard (penerbit Geddes & Grosset). Di Gramedia ada, murah!