Statistika: Antara Balita Sulit Makan, Kebijakan Publik… hingga Batu Akik (Tentu Saja)

Saudara-saudara, dalam Laporan Studi Banding kali ini, saya ingin membawa tema pengolahan data yang bermanfaat langsung dalam kehidupan. Yang saya maksud “manfaat langsung” di sini benar-benar langsung, selangsung rasa kenyang setelah makan. Sebelumnya, perlu saya sampaikan bahwa saya sama sekali bukan ahli statistika. Bahkan, definisi statistika saja harus saya google dulu sebelum menulis postingan ini (hasilnya: statistika adalah ilmu yang berkenaan dengan pengumpulan, analisis, penafsiran, penyajian, dan pengelolaan data :D). Tapi, saya dengan cukup bangga bisa bilang bahwa saya merasakan langsung hasil dari ilmu statistika, yang di negara Aa Syam ini diterapkan di berbagai lini kehidupan.

Ilmu statistika ini termasuk salah satu hal yang membuat saya lebih menghargai cara pandang ilmiah. Boleh percaya boleh tidak, perubahan cara pandang ini dikarenakan anak saya susah makan. Sebagai orang tua yang silau oleh rasa sayang kepada anak, dan sebagai orang tua yang masih pemula, saya (dan istri saya) suka memarahi anak saya kalau dia sulit makan. Waktu dia masih sangat kecil, kami selalu berjuang keras agar makanan yang kami siapkan bisa masuk ke lambungnya. Bayangkan Bruce Willis yang mengerahkan segala macam cara (sambil merepet tak putus-putus) demi menyelesaikan masalahnya dalam film-film Die Hard. Seperti itu pula saya dan istri saya membuat anak saya makan. Dan saya tidak perlu menceritakan caranya di sini, biar Anda tidak perlu menirunya. Intinya, saya dan istri saya memaksa agar anak saya makan apa yang telah kami siapkan–dan kami selalu menyiapkan makanan penuh gizi!

Kalau dalam dunia filsafat, kami dulu mengikuti idealisme platonik: Ada sebuah kondisi ideal (anak balita yang makan makanan bergizi dengan penuh antusias) yang kami ingin wujudkan pada diri anak kami.

Hingga akhirnya suatu kali saya bawa anak saya ke St. Francis Clinic (balai kesehatan yang menjadi tempat rujukan klinik sekolah SD anak saya). Di situlah pandangan saya mulai berubah menyerupai perkembangan filsafat Yunani: dari idealisme Platonik menuju cikal bakal ilmu modern, pengamatan, atau Aristotelian. Sebenarnya ketika itu saya sedang memeriksakan kesehatan mata anak saya. Tapi, ketika perawat menanyakan “Ada keluhan lain, Mas, tentang si kecil?” saya menjawab denagn iseng-iseng, “Nggak ada, Mbak, paling-paling sulit makan saja. Biasa lah anak kecil.” Jawaban yang iseng-iseng itu ternyata disambut serius sama si pegawai. Setelah anak saya diperiksa mata secara singkat (dan diputuskan perlu dirujuk ke dokter spesialis mata), saya dan anak saya dipanggil untuk menemui seorang konselor. Ternyata konselor ini adalah seorang ahli gizi anak. Dia menanyakan dengan serius perihal anak saya yang makannya susah itu. Dia menyarankan kepada saya untuk melakukan sesuatu selama seminggu: dia minta saya membuat catatan harian yang isinya adalah jenis makanan yang saya berikan kepada anak saya tiap pagi, siang, dan malam, dan sekaligus mencatat lama waktu makan dan perilaku dia ketika makan. Terus si konselor memungkasi instruksinya dengan: “Sementara sampean tidak perlu melakukan perubahan apapun dalam hal makanan dia. Baru setelah sampean punya catatan selama seminggu itu sampean ke sini dan kita akan bicarakan soal itu.” Intinya, dia menyikapi sulit makan anak saya itu sebagai sebuah fenomena yang harus kita ketahui seluk-beluknya, dan kemudian baru kita putuskan bagaimana harus menyikapinya. Dia juga ceritakan bahwa selanjutnya kita pertama-tama akan menggiring anak saya untuk memaksimalkan makan makanan yang paling dia sukai saja. Mungkin saja dia memang tidak suka jenis-jenis makanan tertentu.

Saya tidak pernah kembali menemui konselor gizi di St. Francis Community Clinic itu, dan itu karena saya sudah menemukan titik terang atas masalah makan anak saya itu bahkan sebelum seminggu. Sepulang dari kunjungan pertama di St. Francis itu, saya langsung mendiskusikan dengan istri saya hasil pertemuan saya dengan si konselor. Kamu pun segera merencanakan tugas kami: mengumpulkan data pola makan anak saya. Kami pun mencoba membrainstorm makanan-makanan yang disukai anak saya, misalnya soto ayam, bakso, dan lain-lain. Besoknya, kami mulai mengamati polah tingkah anak saya di meja makan selama sarapan dan makan malam (dia makan siang di sekolah). Setelah beberapa saat, kami dapati bahwa dia agak sulit makan dengan kuah sup di pagi hari, dan dia cenderung lama makannya kalau potongan-potongan telurnya terlalu besar, dan lain-lain. Maka sedikit demi sedikit kami mulai mengurangi cara penyajian dan pengolahan makanan yang tidak dia sukai dan memaksimalkan makanan2 yang dia sukai. Kami jadi mencoba memahami Avis, anak saya, sebagai seorang individu yang punya minat dan kecenderungan sendiri (yang kami ketahui berdasarkan pengamatan empirik), dan tidak lagi bermimpi menggapai “ideal Platonik” yang ada di alam antah berantah itu.

Kini, dua tahun lebih sejak pertemuan dengan konselor itu, anak saya tidak lagi sulit makan. Juga berkat pelajaran di sekolah yang mengajarkan pentingnya sayuran, dia sekarang termasuk penggemar sayuran. Dia sangat bisa–dan suka–makan sepiring penuh salad, sayuran-sayuran mentah plus mayonaise atau dressing lain. Dia juga sangat menikmati makan siomay plus sayur kale kukus. Saat ini, bisa dibilang kami harus merayu dia makan hanya pada keadaan-keadaan tak biasa, misalnya saat perhatiannya teralih atau saat kami salah memberikan makanan. Saya rasa wajar saja.

Tentu, kalau untuk menyelesaikan masalah makan saja dibutuhkan pengolahan data, keputusan yang berkenaan dengan kemaslahatan publik juga sangat mengandalkan manfaat pengolahan data.

Hal ini tampak pada penghitungan jumlah penumpang bus kampus. Kota Fayetteville yang saya tinggali ini relatif kecil dan sarana transportasinya sangat terbatas. Hanya ada tiga jenis angkutan umum di kota ini: bus kampus, bus regional, dan taksi. Untuk tujuan dari satu tempat ke tempat yang lain di dalam kota, biasanya orang-orang menggunakan bus kampus, yang dibiayai oleh kampus dari uang SPP tapi orang-orang dari luar kampus boleh naik dengan bebas. Untuk transportasi dari dan ke beberapa kota tetangga, orang-orang (yang tidak punya mobil) menggunakan bus regional. Masalahnya, kedua jenis bus ini rute dan jumlahnya sangat terbatas, sehingga seringkali dibutuhkan kompromi dan uji coba demi memberikan manfaat sebesar-besarnya dengan sumber daya yang terbilang minimal ini.

Nah, di sinilah peran pengolahan data menjadi penting, khususnya untuk pengelolaan bus kampus. Di bagian dashboard bus, terlihatlah perangkat unik dengan tombol-tombol berbagai warna disertai kode-kode khusus. Begini gambarnya hasil jepretan saya, biar saya tidak memberi deskripsi yang mbulet sendiri:

Alat penghitung sederhana (spt yg dipakai untuk menghitung zikir) yg merekam jumlah pengguna yang membawa sepeda (BIKE), berkebutuhan khusus/berkursi roda/tunanetra (ADA), mahasiswa biasa (STU), warga kota non-mahasiswa (NSTU).
Alat penghitung sederhana (spt yg dipakai untuk menghitung zikir) yg merekam jumlah pengguna yang membawa sepeda (BIKE), berkebutuhan khusus/berkursi roda/tunanetra (ADA), mahasiswa biasa (STU), warga kota non-mahasiswa (NSTU).

Perangkat ini adalah sarana pengumpulan data. Setiap kali bus berhenti dan penumpang naik, si sopir selalu memperhatikan dan menghitung sambil memencet tombol-tombol ini. Setelah beberapa kali memperhatikan, tahulah saya bahwa dia menghitung jumlah penumpang dan memasukkan datanya ke dalam empat kategori yang ada di sana. Kalau yang naik seseorang dengan penampilan bukan seperti mahasiswa (biasanya dari umurnya), bapak atau ibu sopir langsung pencet NSTU satu kali. Kalau yang naik sepasang muda-mudi membawa tas, langsung dia pencet STU dua kali. Kalau yang naik saya, biasanya dia pencet STU satu kali dan BIKE satu kali (hehehe… kadang-kadang saya males, jadi ya sepeda langsung saya tenggerkan di rak depan bis). Dan kalau yang naik istri saya (terlihat muda dan membawa tas), dia langsung pencet (STU), meskipun sebenarnya istri saya pegawai di kampus dan bukan mahasiswa. Yah, pasti ada lah yang namanya margin of error. 🙂 Ketika suatu kali penasaran, saya tanyakan apa arti kode ADA di situ, karena kebetulan saya tidak pernah menangkap basah para sopir memencet tombol itu. Dia menjelaskan ternyata ADA adalah kode untuk orang-orang berkebutuhan khusus (tuna netra, pengguna kursi roda, dan sejenisnya). ADA sendiria dalah kepanjangan dari American with Disabilities Act (UU Penyandang Ketunaan). Sekadar informasi, sejumlah bus kampus ini adalah “kneeling bus” atau bus yang bisa “berlutut,” memiliki sistim hidrolik yang memungkinkannya agar merunduk, ceper, dan dilengkapi semacam jembatan yang memungkinkan orang berkursi roda bisa naik tanpa harus dibantu orang lain. Sepertinya, ketika pengguna kursi roda ini naik, saya terlalu terpukau dengan adegan itu dan tidak memperhatikan pak sopir memencet tombol.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh bapak ibu sopir inilah pengelola sarana transportasi kampus mengubah dan menguji-coba layanan dari waktu ke waktu. Dari sini bisa diketahui bahwa pada hari-hari biasa, misalnya, Bus Biru lewat setiap 15 menit sekali, dan dalam sehari mereka mengangkut sampai, misalnya, 400 mahasiswa saja. Sementara pada hari-hari pertama minggu ujian, jumlah mahasiswa yang menggunakan bus hanya separuhnya, dan pada hari-hari terakhir minggu ujian pengguna bus hanya tinggal seperdelapan hari normal. Berdasarkan data ini dan digabungkan dengan data-data lain, maka diputuskanlah, misalnya, untuk jalur bus Biru, layanan selama hari-hari ujian menjadi 30 menit sekali daripada 15 menit sekali.

Bahkan, dari hasil pengolahan data ini juga baru-baru ini kebijakan layanan transportasi jadi berubah drastis. Pada musim panas tahun-tahun sebelumnya, layanan bus hanya tersedia mulai hari Senin-Jumat, karena memang masih ada kelas musim panas, meskipun pesertaya relatif sedikit. Tapi, karena diketahui bahwa sebagian warga (miskin) kota sangat menggantungkan layanan bus kampus untuk belanja dan lain-lain, maka pengelola kampus dan pemerintah kota berunding dan menghadirkan solusi: bus kampus akan beroperasi pada hari Sabtu, tapi dengan pembiayaan dari kota.

Yah, semacam itulah manfaat langsung dari ilmu statistika. Saya mohon maaf karena mungkin pembahasan saya terlalu simplistik, atau bahkan salah di sana sini. Saya hanya ingin berbagi hasil studi banding saya di negeri Aa’ Syam sebelah sini. Sepertinya, penggunaan statistika inilah yang membuat saya melihat langsung hasil kerja dari ilmu matematik. Konyol memang, soalnya kalau dipikir-pikir, apa sih yang bisa dihasilkan tanpa menggunakan matematika. Bahkan, salah seorang filsuf Yunani (dan dilanjutkan filsuf Andalusia) pernah bilang kira-kira semacam ini: Intisari dari biologi adalah fisika. Intisari dari fisika adalah filsafat. dan Intisari dari filsafat adalah matematika.

Sekadar informasi, separuh dari postingan ini saya tulis sekitar empat bulan yang lalu. Terus, karena laju hidup di musim panas yang buas dan karena berbagai ujian dan tugas-tugas sekolah yang mendera, akhirnya saya terlupa untuk menyelesaikan postingan ini. Baru ini tadi saya baca postingan Facebook Bang Saiful Mahdi, dosen statistika Universitas Syiah Kuala, mengomentari tulisan seorang muridnya tentang statistika, asumsi, pengujian terkendali, dll. Dari tulisan itu saya tahu bahwa besok (atau hari ini di Indonesia) tanggal 26 September adalah Hari Statistika Nasional. Saya merasa inilah momen yang paling tepat untuk menyelesaikan postingan ini. Dan biarlah postingan ini menjadi kado bersahaja dari non-statistikawan buat para statistikawan, yang telah menyumbangkan buah pikirnya demi hidup yang lebih mudah.

Oh ya–agar postingan ini sesuai dengan judulnya–kalau kita mau iseng tapi serius, mungkin akan menarik kalau kita menggunakan pengolahan data serius dalam mengamati tren batu akik tempo hari (yang konon kini sudah memudar). Mungkin menarik kalau kita tahu apa motivasi orang membeli (dan memoles) batu akik: apakah karena mereka pecandu geologi, apakah karena kecantikannya, apakah karena faktor ekonomi (ingin menjualbelikannya), apakah karena faktor mempercayai energi yang dimiliki, dan sebagainya. Dan lebih menarik lagi kalau (meniru gaya Pew Research Center atau Gallup Poll) kita tahu jenis akik macam apa yang digemari lelaki urban, bagaimana rasio antara penggemar akik dan tingkat penghasilan, seperti apa hubungan antara jenis akik tertentu dengan agama para pemiliknya, atau di mana saja orang suka mengelus akik dan berapa lama, dsb. Mungkin menarik juga. Tapi mungkin juga melelahkan…

Sudahlah, akhirul laporan: Selamat Hari Statistika Nasional!

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *