Angin segar menerpa masuk dari jendela yang terbuka cuma seujung jari. Misdi suka sekali hawa bulan-bulan seperti ini. Secara umum hawa terasa sejuk dan sesekali masih juga terasa dingin. Tidak ada lagi hawa dingin yang membuat kulit arinya tampak ganjil. Tidak perlu lagi bawa topi kerpus ke kampus. Dia hanya perlu mengenakan sweater, yang toh seringkali dia butuhkan di dalam gedung di kampus.
Misdi mengendarai mobil menyapa musim yang hampir semi. Main Street terasa ceria. Di sana-sini sudah mulai tampak tunas-tunas di pepohonan. Civic hijaunya terdengar agak berisik dari jendela yang terbuka cuma sejari itu. Di sana-sini tampak anak-anak muda, kemungkinan besar mahasiswa berjalan ke arah kampus. Baru beberapa ratus meter lagi mereka akan sampai ke kampus. Anak-anak Amerika ini sukanya mencari apartemen yang cukup jauh tapi dekat dengan kawasan eksotik Mereka seperti tidak keberatan berjalan ke kampus. Bagi Misdi, ketika masuk ke apartemennya dulu, dia hanya punya pikiran mencari apartemen sedekat mungkin dengan kampus, terutama karena tidak ada pikiran akan pernah beli mobil dan akan selalu mengandalkan transportasi dari kampus.
Kini dia menunggang Civic hijau tahun 98 yang sudah menjadi turangganya. Dia mendapatkan mobil itu dengan harga nyaris cuma-cuma. Dia mendapatkannya dari dosennya yang ingin menyingkirkan mobil lamanya dan akhirnya menawarkannya kepada Misdi yang memang pernah bilang ingin beli mobil tapi dananya terbatas. Dia mendapatkan mobil yang masih layak pakai itu seharga 1200 dolar empat tahun lalu. Tentu mobil tahun 98 bisa dibilang cukup tua kalau dibandingkan dengan kebanyakan mobil yang dipakai orang-orang (bahkan termasuk mahasiswa) di kota B. Tapi, pikirnya, mobil itu sudah sangat bisa membantunya kalau butuh pergi cukup jauh pada waktu bis sedang tidak jalan. Dan sebentar lagi, sepertinya mobilnya itu akan sangat membantu dia dalam bekerja. Semoga.
Dia berbelok ke arah Big Mountain Avenue dan melewati jalur yang lebih sibuk. Mobil-mobil mulai banyak dan semakin cepat. Dia juga harus lebih cepat, yang artinya angin juga lebih kencang masuk ke mobil, mengiris pelipisnya, dari celah sejari itu. Ternyata masih terasa agak dingin kalau diterpa kencang dan terfokus ke satu bagian saja. Maka dia pun tutup pintu mobil itu. Dia nyalakan radio, mencoba mendapatkan sisa-sisa siaran NPR. Beberapa hari ini berita tentang perang saudara di Suria dan gelombang militan di Iraq semakin ramai, seiring semakin hangatnya hawa di sana.
Tak lama kemudian dia pindah gelombang ke stasiun musik country. Terdengar di sana suara ketiga anggota tim The Bobby Bone Show berbincang-bincang riang. Bobby Bone meminta Amy menceritakan kisah kucing, dan Amy mencoba bercerita dan Lunch Box menimpali dengan kisah-kisah kucingnya yang lebih berkesan menyebalkan. Tak lama kemudian terdengar lagi “The Drinking Class,” tentang orang-orang yang membanting tulang sehari-hari dengan gaji rendah dan akhirnya pada akhir pekan bisa bersantai-santai minum di bar.
Setelah beberapa lampu merah, tibalah dia di Language Center, sebuah lembaga bahasa yang sebenarnya adalah bagian dari sebuah waralaba sekolah Bahasa Inggris di Amerika Serikat yang di sini bekerja sama dengan kampus. Lokasi lembaga bahasa itu ada di luar kampus, tapi tidak terlalu sulit dijangkau bahkan oleh mahasiswa atau calon mahasiswa yang tidak memiliki mobil. Dia mencari-cari lokasi parkir sebentar. Sekali-kalinya dia ke tempat ini beberapa tahun yang lalu, ketika ada seorang mahasiswa dari Malang datang ke Kota P untuk belajar bahasa Inggris selama dua bulan. Kali itu dia hanya menurunkan mahasiswa yang bersangkutan. Misdi tidak tahu apakah dia bisa parkir di kawasan ini. Dia tidak punya ijin parkir untuk kampus.
Dia yakin bisa parkir sesukanya kali ini. Dia memandang sekeliling tapi tidak menemukan tanpa peringatan dilarang parkir atau kode parkir yang diperbolehkan untuk pemarkir. Biasanya, kalau tidak ada larangan berarti boleh. Akhirnya dia pilih lokasi yang sejauh mungkin dari pintu masuk gedung. Dia ingin menggunakan kesempatan itu untuk mengamati orang-orang yang keluar dari situa tau melihat-lihat apa yang mungkin perlu dia waspadai.
Pukul 8:50 pagi. Dia datang sepuluh menit sebelum waktu yang dijadwalkan untuk wawancaranya. Di lobi itu terlihat seorang pria yang sepertinya pernah dia temui entah di mana. Resepsionis itu seperti tahu bahwa Misdi butuh disambut, langsung menyapa:
“Good morning,” sapanya. “Can I help you?”
“Yeah,” jawab Misdi. “I’m here to see Casey Adams. I have a summer job interview scheduled for 9 AM.”
“Sure,” jawab resepsionis. “I guess she mentioned something about that when she passed by here this morning. Have a seat, and I’ll call her.”
Resepsionis tinggal memencet satu tombol dan langsung terhubung dengna Casey.
“Hi, Casey,” kata resepsionis ke gagang telepon hitam. “There’s a gentleman here who wants to see you for a job interview–
“What’s your name, I’m sorry?” kata respsionis ke Misdi.
“Misdi.”
“His name is Misdee,” kata resopsionis lagi ke telepon. “Hmm… alright I’ll tell him to see you there. Mm… bye.
“Sir,” kata respsionis kembali ke Misdi. “She’s ready upstairs. Just take these stairs, and when you get to the head of the stairs, take right. Casey’s office is at the end of the hall on the right.”
“Take right, end of the hall, on the right.”
“Perfect!”
“Alright,” kata Misdi. “Thanks.”
“Not a big deal,” kata respsionis. “By the way, my name is Tanner.”
“Tanner,” kata Misdi. “Thanks, and I’ll see you later. Wish me luck!”