Tibalah saatnya hari raya paling raya di Negeri Aa’ Sam: Thanksgiving, atau Hari Raya Panjat Syukur. Orang-orang di negeri ini merayakan hari besar ini tak peduli apapun agama mereka–Kristen, Katolik, Yahudi, Islam, Sikh, Hindu, dll. Tapi, kalau kita menilik sedikit saja sejarah di balik hari raya ini, tak urung kita akan mendapati sesuatu yang janggal: hari raya ini memperingati upacara syukuran karena keberhasilan panen pertama para pendatang yang kelak anak turunnya akan menguasai tanah Amerika Utara ini, dan memojokkan dan bahkan membantai orang-orang pribumi yang memungkinkan mereka berhasil panen untuk pertama kalinya. Makanya, banyak juga sebenarnya orang-orang di Negeri Aa’ Sam (bahkan yang kulit putih) yang mengkritisi hari raya ini. Bagi blogger Anda ini secara pribadi, tentu ini hari raya yang dilematis. Kenapa?

Sebelum terlalu jauh, perlu kita akui bahwa sejarah Thanksgiving sepertinya tidak terlalu penting lagi bagi banyak orang saat ini. Kebanyakan orang saat ini memahami Thanksgiving sebagai hari untuk bersyukur atas apa-apa yang berarti bagi hidup kita saat ini. Dan bagi banyak orang lainnya, terutama orang-orang yang baru tinggal di Amerika (entah itu imigran maupun mahasiswa), terutama yang cukup duit, Thanksgiving adalah saatnya belanja karena pada saat itu toko-toko jor-joran memberi diskon. Begitu juga dengan toko-toko online: mereka juga jor-joran memberi diskon.

Seperti apa sejarahnya? Menurut versi resmi ensiklopedia (seperti ini, misalnya, yang ditulis untuk konsumsi anak-anak tapi tidak simplistik dan tidak menyesatkan) begini singkatnya: 1) Thanksgiving yang pertama diadakan pada tahun 1621, untuk merayakan keberhasilan panen pertama para pendatang eropa (yang disebut “pilgrim” atau “peziarah,” yang merupakan kelompok separatis relijius yang merasa tidak bisa menjalankan agamanya dengan bebas di Inggris, yang juga disebut sebagai kaum Puritan). Sebelum panen pertama ini, mereka masih tinggal di kapal di perairan New England (Amerika Timur Laut) dan banyak dari mereka yang mati karena kelaparan dan kurang gizi pada musim dingin sebelumnya. Dan keberhasilan mereka ini dikarenakan bantuan Squanto, seorang pribumi yang bisa berbahasa Inggris karena sebelumnya pernah menjadi budak orang Inggris dan meloloskan diri. Keberhasilan panen ini dirayakan dengan pesta tiga hari berturut-turut, disertai sumbangan lima ekor rusa dari para penduduk pribumi. Selanjutnya, 2) seabad lebih kemudian Thomas Jefferson mencanangkan peringatan Thanksgiving pertama tadi secara resmi. Dan, belakangan 3) seratus tahun selanjutnya, atas desakan dan kampanye penulis Sara Josepha Hale (yang menciptakan lagu “Marry Had a Little Lamb”), Abraham Lincoln mencanangkan Thanksgiving sebagai hari raya nasional di tengah Perang Saudara. Jadi, secara umumnya, merayakan Thanksgiving adalah mengingat kembali keberhasilan panen yang terwujud oleh semangat kerukunan dan kerjasama antara orang kulit putih dengan penduduk pribumi pada tahun 1621 itu.

Tapi, apakah seindah itu? Sayangnya tidak, dan ketidakindahan sejarah ini adalah apa yang terjadi beberapa dekade setelah itu.

Setelah perayaan Thanksgiving pertama itu, hubungan antara para pendatang Eropa dengan penduduk pribumi tidak indah. Banyak di antara pendatang ini yang menganggap orang pribumi itu sebagai orang yang belum beradab, dan harus diadabkan. Dengan itu, Kristenisasi penduduk pribumi mulai berjalan. Kemudian banyak terjadi konflik antara pendatang dan pribumi, terutama karena pribumi merasa semakin terdesak. Janji peradaban melalui agama juga ternyata tidak terwujud. Banyak pribumi yang sudah Kristen (yang disebut “Indian Sembahyang”) yang akhirnya disisihkan, dikumpulkan jadi satu di pulau dan dibiarkan kelaparan. Banyak terjadi peperangan yang berlanjut dengan pembantaian dan pembudakan para penduduk pribumi. Pendeknya, dalam lima puluh tahun saja, sebagian besar penduduk pribumi di kawasan Amerika Timur Laut itu habis.

Memang, tidak semua pendatang Eropa seperti itu. Menurut Akbar Ahmed, penulis buku Journey into America: The Challenge of Islam, ada tiga kelompok identitas Amerika (primordial, pluralis, dan predator). Kelompok yang saya sebutkan di atas itu adalah kelompok yang “primordial” (yang ingin meng-Kristen-kan Amerika) dan golongan “predator” (yang ingin menumpas siapa saja yang berbeda paham dengannya, entah karena perbedaan ras maupun perbedaan agama). Ada juga pada masa pendatang awal itu yang merupakan golongan “pluralis.” Salah satu tokohnya adalah Roger Williams, yang terbilang sekuler dan berbeda paham dengan orang-orang primordial kebanyakan, hingga dia nyaris saja dipulangkan kembali ke Inggris. Untungnya Roger Williams dan orang-orang yang sepaham dengannya melarikan diri dan membentuk komunitas sendiri di kawasan yang akhirnya menjadi negara bagian Rhode Island. Di kawasan ini, Roger Williams dan kelompoknya membuat kesepakatan untuk memisahkan antara pemerintahan dan keagamaan, menganggap kaum pribumi dan pendatang Eropa setara, mengharamkan perbudakan. Kelak, ketika para “founding father” menyusun naskah proklamasi dan Undang-undang Dasar Negeri Aa’ Sam, pandangan yang memisahkan antara agama dan pemerintahan inilah yang akhirnya diusung. Jadi, memang selalu ada kelompok orang Eropa yang cenderung welas asih terhadap sesamanya di negeri Amerika ini, yang bahkan menentang perilaku pendatang/keturunan Eropa lainnya terhadap penduduk pribumi.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan perayaan Thanksgiving itu sendiri? Apakah merayakan keberhasilan panen yang diwarnai kerukunan itu bisa dipisahkan dari sejarah kelam yang terjadi setelah jamuan makan tiga hari tiga malam itu? Banyak orang Amerika yang dengan itikad baik merayakan Thanksgiving ini sebagai momen untuk mengucap syukur atas segala rahmat yang mereka dapatkan dalam hidup. Banyak juga para imigran baru (tak peduli dari budaya manapun dan agama apapun) yang merangkul tradisi ini dan merayakannya dengan makan kalkun, kaserol buncis, pie labuh, jus kranberi. Saya sendiri merasa dilematis. Karena, kalau kita tahu laju sejarah Negeri Aa’ Sam ini dan tetap merayakannya, berarti kita mengabaikan begitu saja dan membiarkan kekelamannya terlewat begitu saja. Sementara, kalau kita tidak semapt tahu sejarahnya, sama artinya kita merayakan sebuah hari dengan makan-makan dan belanja tanpa tahu bahwa di balik hari yang kita rayakan itu ada sejarah kelam. Dan, bagi saya pribadi, kalau harus mengangkat tema seperti ini dalam perbincangan dengan kawan-kawan saat makan-makan, tentu saja saya jadi perusak kebahagiaan. Apalagi, orang-orang yang pernah mengundang saya dalam makan-makan Thanksgiving itu biasanya adalah orang-orang yang baik, yang mengadakan jamuan itu dengan itikad baik. Sebagian dari mereka adalah dosen, warga lokal yang memang ingin mengundang mahasiswa asing, atau teman-teman sesama warga Indonesia di Amerika sebelah sini. Dilematis bukan?

Memang dilematis merayakan sesuatu yang, bagi pribumi Amerika khususnya, merupakan awal dari sejarah kelam. Bayangkan kalau Anda orang pribumi Amerika yang sekarang tinggal di reservasi (atau kakek moyang Anda disuruh pindah ribuan kilometer karena tanahnya diambil pemerintah)? Bisakah Anda merayakan hari raya seperti itu? Dalam video ini, Anda bisa melihat apa yang terlintas di pikiran anak-anak muda pribumi ini saat mendengar kata Thanksgiving. Sebagian dari mereka tidak memungkiri Thanksgiving adalah saat berbahagia bersama keluarga, dan banyak yang langsung merespon sengit. Tapi salah seorang perempuan mengatakan bahwa “Thanksgiving adalah saat bersenang-senang dengan keluarga, sambil mencoba mengabaikan sejarah di baliknya! (Lihatlah video bagaimana anak-anak pribumi ini merespon buku anak-anak tentang Thanksgiving). Buat kita bangsa Indonesia, yang pernah mengalami penjajahan dan kemudian berhasil “menyatakan kemerdekaannya,” semestinya tidak sulit membayangkan kalau kita berada pada posisi anak-anak pribumi ini.

Begitulah dilematisnya Thanksgiving, menurut saya. Entah, apa mungkin suatu saat kelak Negeri Aa’ Sam menyadari dilema di balik perayaan Thanksgiving ini. Menurut saya sangat mungkin. Saat ini saja ada kelompok-kelompok yang memilih “merayakan” Thanksgiving sebagai Hari Perkabungan Nasional. Gerakan protes ini diadakan setiap tahun di kawasan New England, dekat Plymouth Rock, tempat pertama kali para “pilgrim” mendarat dengan kapal Mayflower. Kesadaran akan beratnya sejarah di balik Thanksgiving ini terbilang semakin besar, tidak hanya di kalangan penduduk pribumi, tapi juga di kalangan orang-orang kulit putih (baik keturunan para pendatang Puritan maupun imigran Skotlandia-Irlandia, Irlandia, Italia, dll. yang datang belakangan). Atau, contoh lainnya adalah bagaimana perayaan Hari Kolombus yang akhir-akhir ini sudah mulai meningkat kontroversinya. Banyak kota dan negara bagian yang memutuskan untuk tidak merayakan Hari Kolombus ini (karena alasan yang sama: kedatangan Kolumbus adalah awal kolonisasi) dan bahkan mengubahnya menjadi Hari Bumiputera.

Jadi, bukan tidak mungkin perayaan Thanksgiving yang sekarang merupakan hari raya terbesar Amerika ini suatu saat akan berubah. Kalau Anda ingat satu adegan dalam film With Honors (yang dibintangi Brendan Frazer itu), tokoh utama tunawisma menjawab: kejeniusan Undang-undang Dasar Amerika adalah bahwa dia sadar bahwa dia tidak sempurna, sehingga membuka kesempatan untuk diamandemen. Kalau Undang-undang Dasarnya saja membuka diri terhadap amandemen, pasti tradisinya juga membuka diri terhadap perubahan. Tentunya perubahan yang baik dalam hal Thanksgiving ini adalah perubahan yang menjadikannya tidak dilematis lagi. Tapi, saya bayangkan perubahan terhadap Thanksgiving ini tidak akan semudah perubahan dari Hari Kolumbus menjadi Hari Bumiputera. Kenapa? Karena sepertinya Thanksgiving ini sudah dimiliki oleh korporasi-korporasi besar yang menjadikannya sarana meraup untung besar-besaran. Mulai pabrikan barang elektronik sampai pabrikan jaket, mulai swalayan betulan hingga toko online, semuanya turut mendapatkan untung besar-besaran dari Thanksgiving. Dan biasanya yang seperti ini, yang tidak politis seperti ini, yang lebih bisa dinikmati tanpa repot-repot. Dan saya sendiri, seperti biasa, ada kesempatan untuk merenungkan dan menuliskannya karena memang belum punya cukup modal untuk ikut berpesta.

One thought on “Hari Raya Dilematis”
  1. Reblogged this on dediwiyanto and commented:
    Entah, apa mungkin suatu saat kelak Negeri Aa’ Syam menyadari dilema di balik perayaan Thanksgiving ini. Menurut saya sangat mungkin. Saat ini saja ada kelompok-kelompok yang memilih “merayakan” Thanksgiving sebagai Hari Perkabungan Nasional. Gerakan protes ini diadakan setiap tahun di kawasan New England, dekat Plymouth Rock, tempat pertama kali para “pilgrim” mendarat dengan kapal Mayflower. – Timbalaning

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *