Biografi Nick Drake (Pattrik Humphries): Dari Mitos Musisi yang Mati OD ke Kompleksitas Manusia yang Pernah Hidup

(Tulisan singkat untuk modal diskusi buku biografi Nick Drake bersama Pelangi Sastra Malang, Gubuk Cerita, Jungkir Balik Pustaka, dan Kafe Pustaka hari Sabtu sore ini. Mestinya tulisan ini akan diupdate terus selama ada di blog ini–soalnya sampai saat ini postingan ini belum sempat diedit.)

Buku biografi berjudul Nick Drake karya Patrick Humphries ini tak henti membuat saya bertanya: kenapa Humphries menulis biografi tentang seorang musisi yang tidak saya kenal sebelumnya? Kalau fokus biografi ini adalah seorang tokoh politik yang terkenal atau autobiografi politisi yang sedang naik daun, mungkin pertanyaan seperti itu tidak akan muncul karena jawabannya relatif gamblang. Tapi Nick Drake, yang kebanyakan kawan saya yang (pernah) suka band-bandan saja tidak kenal, kenapa harus ditulis biografi tentang dia? Setelah selesai membaca buku itu, yang tersirat dari paparan penulisnya adalah bahwa Nick Drake adalah musisi yang sangat bagus, yang sayangnya hidupnya telah dimitoskan setelah kematiannya. Saya akan ceritakan beberapa hal tentang itu, tapi saya harap Anda tidak sedang buru-buru.

Pertama-tama, ada yang perlu diluruskan dari pertanyaan-pertanyaan saya di atas. Sekilas pertanyaan gugatan semacam itu mungkin tampak wajar, tapi ada satu sesat pikir di situ. Kenapa nulis biografi tentang musisi yang bahkan saya pun tidak kenal? Sesat pikirnya adalah saya mengasumsikan bahwa saya (dan teman-teman saya yang anak band) adalah orang yang serba tahu tentang musik dan pasti tahu semua musisi terkenal. Itu dia masalahnya. Belakangan, saat membaca biografi ini, sambil disela sesekali dengan riset (baca: nge-search di google) tentang Nick Drake, saya tahu ternyata Nick Drake adalah musisi yang laku dan banyak orang yang menggemarinya dengan berbagai alasan (dari yang gemar karena mengagumi teknik gitarnya sampai yang gemar karena termakan mitos tentangnya). Banyak musisi besar yang menggemari Nick Drake, misalnya Peter Buck dari REM (yang di sini kita kenal karena kehilangan “iman” di lagu “Losing My Religion”) dan Paul Weller, dedengkot The Jam, salah satu band terkuat masa kelahiran Punk di Inggris, bersama The Clash dan The Sex Pistols.

Jadi, sampai di sini saja obrolan tentang pertanyaan pembuka postingan ini. Saya tadi murni kepleset sesat pikir. Selanjutnya, mari kita move on dan berbicara tentang biografi Nick Drake (selanjutnya Drake) oleh Paul Humphries (selanjutnya Humphries).

Buku Nick Drake ini adalah hasil kerja tangan dingin Peter Humphries merekonstruksi kehidupan Nick Drake dengan dipandu tema “siapa Nick Drake yang mati muda itu?” Humphries membagi kisah Nick ke dalam tiga bagian sederhana: sebelum, selama, sesudah. Sebelum adalah masa sebelum Nick Drake menjadi musisi profesional yang direkam dan dibayar; selama adalah masa profesional; dan sesudah adalah masa setelah karir profesionalnya yang juga masa setelah Nick Drake mangkat. Jadi, di sinilah uniknya, biografi ini tidak sesederhana “grafi” atau gambaran tentang “bio” atau hidup Nick. Ada masa setelah “bio” Nick yang tak kalah pentingnya, yang justru (menurut saya) akhirnya membuat Humphries membuat “grafi” ini. Kita akan bicara soal bagian “setelah” ini nanti belakangan.

Drake memiliki latar belakang keluarga yang tak biasa. Dia lahir dari keluarga berada yang sudah kaya sejak jaman imperialisme Inggris. Kakeknya bertugas di India ketika Kerajaan Inggris menjajah India (saya harap kata “menjajah” di sini dimaknai dengan segala kompleksitasnya). Bapaknya juga begitu, dan bahkan lebih jauh lagi ke timur, yaitu di Burma, ketika negeri itu di bawah kolonialisme Inggris, dan juga pada masa sesudahnya.

Drake lahir di Burma dan sempat tinggal di sana sebentar. Setelahnya, Drake dibesarkan di Inggris, di kota kecil dekat Birmingham. Sejak kecil Drake hidup layaknya anak orang kaya: ikut les musik, mendapat pendidikan sekolah swasta, dan seterusnya. Dia sudah pandai bermain Saksofon dan Klarinet (alat favoritnya Squidward di Spongebob Squarepants). Di sekolah menengah, Drake belajar gitar dan dengan bakat musiknya, belajarnya sangat cepat, dan ketika lulus SMA, dia semakin canggih dalam bergitar. Dia sempat kuliah sebentar di University of Cambridge, tapi bukan di kampus utamanya, sambil terus bermain gitar dan sesekali tampil di hadapan teman-temannya. Hingga kemudian dia “ditemukan” vokalis The Fairport Convention, yang memperkenalkannya ke Joe Boyd, yang kemudian memproduseri Drake di bawah label Island Records, yang juga merupakan label Cat Stevens (ya, Cat Stevens kita yang akhirnya jadi Yusuf Islam dan kemudian Yusuf [saja] itu).

Selama di bawah Island Records, Drake merilis tiga album, Five Leaves Left, Bryter Layter (dia lucu, kan?), dan Pink Moon. Tapi, sebenarnya tidak semulus kalimat di awal paragraf ini, justru masa inilah yang sepertinya paling berat dalam hidup Drake. Para sumber Humphries mufakat bahwa Drake adalah orang yang ingin sukses sebagai musisi dan ingin orang mengapresiasi karyanya (meskipun sangat sedikit ungkapan eksplisit Drake soal ini). Sayangnya, Drake adalah anomali: di jaman ketika kesuksesan musisi sangat ditentukan oleh tampil live dan tour ke sana kemari, Drake adalah orang yang pemalu dan sangat tidak menikmati tampil live. Nyaris semua orang yang ingat penampilannya bilang bahwa Drake sangat canggung dan tidak menikmati berada di panggung. Sementara itu, terkait kepribadian, di antara ketiga album ini, Drake tampak semakin menarik diri dari orang-orang di sekitarnya. Dari lelaki yang “hanya” pemalu tapi interaktif saat rekaman, Drake menjadi musisi yang hanya diam dan tidak bisa diajak komunikasi yang datang pada tengah malam untuk sesi rekaman yang hanya melibatkan dirinya dan teknisi soundnya. Di akhir masa hidupnya ini, Drake dikenali sebagai orang yang sudah jauh berbeda dengan masa dia di sekolah, benar-benar seperti orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang sempat dirawat di RSJ dekat rumah orang tuanya, yang tidak bisa dijangkau siapa pun. Sebelum meninggal, dalam kondisi kejiwaan yang sedemikian rupa, Drake sempat merekam empat lagu yang dirilis secara anumerta (untuk menggunakan istilah yang dipakai penerjemahnya).

Demikian hidup Drake, yang digali Humphries dengan sangat teliti dari sumber-sumber yang pernah berhubungan dengan Drake, mulai guru SMP Drake hingga penyanyi Perancis yang sepertinya Drake sukai tapi tidak pernah-pernah berkomunikasi secara wajar dengan Drake.

Maka sampailah kita ke topik selanjutnya, yaitu perihal teknik Humphries dalam menyusun biografi ini. Humphries adalah biografer yang disiplin. Humphries selalu mengawali dengan semacam argumen yang dia susun dari pembacaan atas pernyataan para sumber yang dia pakai. Kemudian, dalam perjalannya, Humphries menyajikan secara penuh ungkapan-ungkapan para sumbernya tersebut. Sebagian besar sumber yang dia sampaikan secara penuh adalah hasil wawancara, tapi ada juga beberapa sumber panjang yang dia dapatkan dari tulisan-tulisan tentang Drake, mulai dari tulisan di majalah sampai tulisan di sampul album. Gaya penulisan biografi yang seperti ini menjadikan buku ini mirip film-film dokumenter bergumen kuat, seperti misalnya film-film Michael Moore. Kalau Anda lihat film-film beliau, pasti Anda memperhatikan bagaimana Moore mengawali dengan semacam latar belakang permasalahan ditambah dengan secuplik argumennya (seperti menulis esai lah) dan kemudian mendapati Moore mewawancarai orang dan hasil wawancara itu disampaikan dengan sepenuhnya, yang kemudian disimpulkan oleh Moore.

Teknik penulisan biografi seperti ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan biografi tokoh politik atau penulis (terutama yang ditulis ketika subjeknya masih hidup). Perbedaannya terutama terletak pada penggalian dari orang-orang yang berhubungan langsung dengan subjek dan argumen yang disampaikan. Dan teknik ini tentu saja juga sangat berbeda dengan penulisan “novelisasi biografis” orang-orang tertentu, satu hal yang sangat lazim di tengah banjir kisah-kisah inspiratif. Perbedaan utamanya terletak pada fakta bahwa “novelisasi” secara inheren menginginkan pembaca tenggelam ke dalam cerita dengan tanpa sadar mengaburkan batas antara biografi (yang merupakan historiografi personal) dengan kejadian nyata di masa lalu. Ada klaim tersembunyi bahwa pembaca hendaknya menerima gambaran dalam novelisasi itu sebagai cerminan nyata dari kejadian di masa lalu (tentu saja ini salah: tidak ada cermin yang bisa memantulkan bayangan masa lalu dengan setia, tak juga foto maupun video!). Alih-alih meminta orang mempercayai hasil rekonstruksi sejarah Drake yang dia kerjakan, Humphries dengan tegas menyatakan argumen-argumen yang dia buat berdasarkan hasil risetnya itu.

Nah, sekarang, tibalah akhirnya kita pada argumen yang ingin disampaikan Humphries, yang tampak kuat di bagian “setelah”–yang saya janjikan di atas. Ternyata, setelah wafat, justru semakin banyak orang yang mengenal dan menggemari karya-karya Drake. Perusahaan rekaman Drake, yang sudah terikat janji dengan Joe Boyd mantan produser Drake untuk tetap mempertahankan album-album Drake di katalog mereka, selanjutnya merilis album-album kompilasi dan beberapa karya Drake yang belum sempat dirilis. Hal ini, ditambah dengan mitos tentang musisi genius yang mati muda yang selalu tumbuh natural, membuat pendengar Drake bertambah. Namun, ada juga musisi-musisi besar yang memang lebih dulu mengenal dan mengagumi kepiawaian bergitar Drake yang buka suara tentang kekaguman mereka. Ada juga musisi-musisi mudah yang membuat lagu terinspirasi dan didedikasikan kepada Drake. Dua hal terakhir inilah yang kemudian membawa gelombang-gelombang baru penggemar Drake, mereka-mereka yang penasaran dan akhirnya membeli dan akhirnya menggemari Drake juga.

Seiring semakin terkenalnya Drake itu, mitos dan simplikasi tentang musisi yang mati muda itu kian membeku. Banyak yang beranggapan Drake adalah anak yang tidak bahagia sejak kecil. Ada juga yang mengira perkenalannya dengan narkotik lah yang membunuhnya. Pastinya, ada sekalangan yang berpendapat bahwa Drake adalah korban ganasnya industri musik, yang menggunakan musisi sebagai bahan bakarnya. Tidak sedikit pula yang berpandangan romantis dan memandang Drake sebagai sosok genius yang menderita. Kebanyakan hal ini adalah simplifikasi yang cenderung tidak memperhatikan berbagai sisi kehidupan Drake.

Di hadapan semua inilah Humphries merekonstruksi kisah Drake ini dari berbagai sumber, mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Humphries berulang kali menekankan bahwa bisa jadi, narkotika hanya memperparah sebuah kondisi kejiwaan yang telah mulai berkembang dalam diri Drake. Humphries juga menentang tegas bahwa Drake adalah orang yang tidak bahagia sepanjang hidup (yang dia nyatakan sejak di pembukaan). Tentunya masih ada beberapa argumen penting lain dari Humphries yang pastinya akan lebih baik bila Anda baca sendiri dalam biografi ini dengan segala keutuhannya. Pada intinya, dengan menyusun biografi ini, Humphries mencoba mengembalikan seorang musisi yang mati muda karena overdosis menjadi seorang manusia yang pernah hidup. Dan lazimnya manusia, masing-masing memiliki kompleksitasnya yang tidak akan habis dibahas dalam sebuah artikel di majalah musik atau di kanal online.

Semoga hingga di sini saya sudah memberikan apa-apa yang sudah saya janjikan di atas. Selanjutnya, mari kita berbincang tentang Drake, dan juga tentang biografi ini. Saya yakin masih banyak hal lain yang bisa dibincangkan. Sebagai contoh: di sini kita bisa melihat kedisiplinan Humphries dalam memahami makna biografi yang merupakan sebuah historiografi pribadi, yang membutuhkan rekonstruksi subjek sekaligus latar sosial dan historisnya–lihatlah bagaimana Humphries membeberkan acara apa yang ada di TV pada hari kematian Drake, siapa saja penampilnya, dan jam berapa acara tersebut ditayangkan. Kita juga bisa menemukan dalam biografi ini, kritik musik, baik dari Humphries sendiri atas album-album Drake, khususnya Five Leaves Left maupun dari orang lain, misalnya Scott Appel, mengenai teknik permainan dan seteman gitar Drake. Ah, masih banyak lagi (tentu, bukunya saja 380-an halaman!).

Jadi, kapan kita ngobrol apa?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

yusaffandi says:

Asyik sekali ulasannya mas, kalo dituruti diskusi tentang buku itu bisa 50 kali cangkir dihabiskan, jempol

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *