Hukum Termodinamika I Tidak Sepenuhnya Berlaku untuk Energi Memori Manusia

Baik, inilah saatnya kembali menegaskan komitmen saya sebagai seorang blogger. Kalau saya lihat-lihat lagi, postingan-postingan terakhir itu mulai tidak sehat. Ada postingan resensi yang telah terbit di koran, di website, pengantar diskusi, dan sejenisnya. Dengan kata lain, postingan-postingan terakhir ini sifatnya hanya efek sampingan dari kegiatan-kegiatan yang bisa dibilang tidak terlalu berhubungan dengan blogging. Ironisnya, di kegiatan-kegiatan lain itu, saya dengan bangga memperkenalkan diri sebagai blogger. Padahal, di lubuk hard drive terdalam, saya masih memegang keyakinan bahwa blogging itu lebih seperti proses, bukan hasil. Jadi, inilah saatnya kembali menegaskan komitmen saya sebagai blogger. Inilah saatnya kembali mengisi blog ini dengan celotehan-celotehan yang boleh saja tak berguna dan tidak terlalu banyak agenda, yang penting memendam energi yang laten.

Kenapa? Kenapa harus seperti itu? Memangnya sepenting apa “energi” yang laten itu?

Karena, selama setahun lebih sebulan terakhir ketika saya kembali tinggal di Indonesia ini, saya mengalami banyak hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Pengalaman-pengalaman ini saya sadari mengandung banyak sekali energi yang perlu disalurkan dan sayang kalau dibiarkan mengabar ke dalam keterlupaan dan keterabaian.

Sebagai gambaran saja, saya sudah setahun mengajar di universitas swasta yang tengah berkembang dan sangat dinamis. Saya diberi tanggung jawab memegang beberapa mata kuliah yang mengasyikkan, di mana saya bisa membagi hasil bacaan, pengalaman, dan impian-impian saya, sekaligus saya harus belajar lagi detail-detail yang mungkin bisa dengan mudah saya abaikan kalau saya tidak punya tanggung jawab mengajarkan hal-hal tersebut.

Selain mengajar kelas-kelas semacam itu, saya juga agak sering terlibat dengan teman-teman di Pelangi Sastra Malang, yang kini sangat dinamis dan memiliki posisi penting di konstelasi gerakan literasi di Malang. Bersama komunitas ini, banyak sekali pertemuan-pertemuan dengan orang-orang tak terduga saya alami selama setahun terakhir. Tak terhitung betapa banyak informasi baru maupun kebijaksanaan syahdu yang saya temukan dari orang-orang yang saya temui di komunitas ini.

Pengalaman berbagi dan menemukan inilah yang menurut saya menyimpan banyak energi dan harus disalurkan segera. Berbeda dengan cara kerja alam, di mana energi itu konstan dan akan tersalurkan meskipun bentuknya berubah (seperti diteorikan dalam hukum termodinamika), cara kerja pengalaman dan pikiran manusia tidak begitu: ada elemen lupa (entah itu karena pembawaan maupun karena usia) dan ada juga elemen nyawa (yang bila hilang maka hilang pula “energi” yang tersimpan di dalam ingatan pemiliknya–kecuali si pemilik sudah “mendownload” ingatan itu dalam bentuk tulisan atau ke dalam hard drive, sebagaimana digagas dewasa ini, yang menggabungkan teknologi dengan biologi).

Energi dari pengalaman manusia tidaklah konstan. Sekali lagi, kalau kita membiarkan energi itu tak terunggah, maka dia rentan hilang. Maka, sebelum saya punya teknologi tinggi yang bisa dengan otomatis mendownload memori saya, beserta segala energi yang ada di dalamnya, ke dalam hard drive, maka saya akan sebisa mungkin mendownload dulu memori itu ke dalam postingan-postingan blog di sini. Semoga dengan pengambilan bahan baku memori itu, energi yang laten di dalamnya bisa tetap bertahan, baik itu untuk kemudian dimanfaatkan oleh saya sendiri maupun oleh orang lain.

Jadi begitulah, Saudara, untuk yang kesekian kalinya, saya ingin kembali menegaskan komitmen saya untuk merawat blog ini, dan mengembalikan blog ini ke khittahnya sebagai blog, sebagai ajang berproses, sebagai ajang mengerami energi. Maka, saya akan bersyukur kalau ada yang mengingatkan untuk kembali mengisi blog ini.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *