Menangkap Ide: Subjek dan Predikat Esai Kearifan Lokal

“… esai disusun dari material data (sumber), diikat dengan plot (kerangka), dipertajam dengan posisi sudut pandang (keunikan perspektif), dan dinarasikan dengan bahasa (yang luwes).”

Muhidin M. Dahlan dalam Inilah Esai: Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor

Seringkali kita meremehkan diri kita sendiri. Dan saat kita mengetikkan kata-kata ini di bilah pencarian Duckduckgo.com, kita akan mendapati bahwa banyak sekali postingan blog atau website yang menasihati agar kita tidak meremehkan diri sendiri. Etos ini pula yang mestinya kita pegang saat kita harus menulis. Kepala kita menyimpan banyak hal, dan semua hal itu bisa dituliskan. Kegiatan menulis esai, menurut saya, selalu bisa menjadi cara untuk mengetahui apa-apa yang sebenarnya kita ketahui—dan tidak kita ketahui.

Maka, sebenarnya sangat tidak tepat kalau kita jadi salah tingkat dan mati gaya ketika harus menulis tentang tema-tema tertentu, dengan alasan tidak tahu apa yang harus dituliskan. Mestinya, kita sudah memiliki sedikit banyak modal untuk memulai penulisan esai kapan saja, asalkan tema yang diminta tidak terlalu khusus atau spesialis, misalnya metabolisme dinosaurus atau bagaimana kelelawar mengenai pasangan dan anak-anaknya di kegelapan gua.

Untuk mengerjakan esai tersebut, mari kita kunjungi sejenak definisi mengenai esai yang disarikan Muhidin M. Dahlan dalam buku Inilah Esai: Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor: “… [esai] memberikan sesuatu. Entah pencerahan, gugatan, informasi baru, atau bahkan meremang-remangkan dan mencairkan sesuatu yang kadung dianggap terang, baku, padat” (2017: 15). Dari definisi Muhidin di atas, kita mendapatkan satu hal yang meskipun mungkin sangat terbatas, tetap bisa kita jadikan panduan dalam mencari ide dalam menulis esai: kita perlu memberikan sesuatu, “entah pencerahan, gugatan, informasi baru, atau (perenungan ulang).” Mari kita pegang hal-hal ini dalam mengembangkan ide.

Esai = Ujaran

Definisi mengenai esai bisa sangat mendetail dan mencakup banyak hal, hingga kita sendiri mungkin akan dibuatnya gentar saat akan memulainya. Padahal, pandangan kita mungkin akan berbeda bila memandang sebuah esai tak lebih dari sebuah kalimat. Dan, pada esensinya, pembentuk sebuah kalimat adalah subjek dan predikat. “Saya galau,” adalah sebuah kalimat, dengan “saya” sebagai subjek dan “galau” sebagai predikatnya. Begitu juga dalam sebuah esai, pada intinya terdiri dari “subjek” dan “predikat” atau “topik” dan “penjelas.” Seperti contohnya, teks proklamasi, yang juga sebuah esai, pada intinya terdiri dari subjek “bangsa Indonesia” dan predikat “menyatakan merdeka.” Atau esai bapak Soelardi dari UMM berjudul “Profesor Substansial” yang dimuat di Kompas pada tanggal 16 Agustus 2017 yang lalu pada pokoknya adalah “Seorang profesor ideal” (sebagai subjek) “hendaknya mencerminkan sikap-sikap profesorial lebih dari sekadar memenuhi kewajiban ‘profesor’ secara kuantitatif” (sebagai predikat). Dengan adanya subjek dan predikat ini, kita bisa memberikan sesuatu kepada pembaca. Kita memiliki topik, dan juga pernyataan.

Sekarang, bagaimana kalau kita menerjemahkan teori sederhana ini ke dalam proyek kita, membuat esai mengenai nilai-nilai kearifan lokal? Untuk tujuan tersebut, kita bisa menerjemahkan “subjek” dan “predikat” tadi menjadi “objek budaya” dan “nilai.” Dalam proses penentuan, tidak ada kewajiban untuk mendahulukan yang satu atau yang lain. Seperti dalam sebuah kalimat, bisa saja predikat muncul sebelum subjek, seperti: “Kekinian amat papamu!” Yang pasti, kedua hal ini (subjek dan predikat) perlu ada sebelum kita melenggang lebih jauh dalam penulisan esai. Selain itu, kita sama sekali tidak diwajibkan menuliskan hal-hal ini sebelum kita mulai menulis esai. Tapi, tentunya akan lebih memudahkan kalau kita bisa menuangkan kedua hal ini dalam bentuk yang bisa dilihat (tulisan, corat-coret, atau grafik) demi membantu ingatan kita kalau misalnya tiba-tiba kita mendapat interupsi ketika sedang panas-panasnya berpikir (seperti misalnya ketika tiba-tiba seseorang mengajak berjoget “Despacito”).

Subjek: Objek Budaya

Untuk kemudahan, mari kita bahas “objek budaya” terlebih dahulu (boleh juga kalau Anda menyebutnya “ekspresi kebudayaan” dll. Objek budaya bisa sangat banyak, nyaris tak terbatas. Kita tinggal memilih apa saja yang ada di sekeliling kita, mulai objek budaya yang jelas tampak seperti candi, atau terkenal seperti bantengan, atau yang kurang tampak seperti perkumpulan seminggu sekali di perumahan yang sudah berlangsung belasan tahun, ataupun yang tak begitu tampak karena hanya dilakukan orang-orang tertentu. Pendeknya, objek budaya ini sangat banyak dan nyaris tak terbatas, terutama kalau kita menerima kedua definisi ekstrim budaya, yaitu 1) definisi budaya menurut Matthew Arnold sebagai “sesuatu yang adiluhung, diagungkan, dan mengajarkan budiluhur” seperti misalnya wayang kulit, karya sastra lisan, relief candi, dan sebagainya, atau 2) definisi budaya menurut Raymond Williams sebagai “sesuatu yang biasa saja, yang dilakukan manusia sehari-hari,” misalnya budaya ngrumpi, ngopi, bertegur sapa, dan seterusnya, atau 3) definisi budaya menurut pak Koentjoroningrat sebagai segala hasil pikiran dan perbuatan manusia yang tidak bersifat “naluriah” namun merupakan hasil dari “proses belajar.” Definisi yang lazim di Indonesia ini menurut saya ada di tengah-tengah (meskipun cenderung ke satu sisi) bila dibandingkan dengan dua definisi yang lebih awal.

Dengan menerima ketiga definisi budaya ini, alternatif “objek budaya” yang bisa kita ambil untuk studi kita bisa sangat banyak, mulai dari wayang kulit hingga tata cara membuang sampah di depan rumah hingga kebiasan mengopi kita di warung kopi. Karena itu, untuk lebih membantu kita menentukan topik (karena banyak topik yang memang bisa kita ambil), kita bisa membuat kategori-kategori objek budaya. Kategori-kategori ini sifat bisa tidak terbatas. Yang paling tampak antara lain adalah: fisik, non fisik. Untuk yang fisik: bangunan, makanan, benda-benda, orang-orang, bentang alam, dan sebagainya. Untuk yang non-fisik, kita bisa menyertakan: kegiatan, ajaran, kecenderungan, dan sejenisnya.

Predikat: Kebaikan Kearifan Lokal

Sementara itu, untuk predikatnya, kita perlu mencari nilai, yang menjadikan objek budaya tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi pembaca kita. Untuk tujuan penulisan kita, yang nilai di sini mengacu kepada “hal-hal baik yang bisa mengajarkan sesuatu kepada kita.” Tapi, kita mungkin masih bertanya-tanya, seperti apa “hal yang baik” itu? Di sinilah kita membutuhkan standar nilai, yang sebenarnya sudah kita akrabi. Sebagai awal, kenapa tidak kita mulai dengan apa yang sudah sering dijadikan ukuran kebaikan buat kita bangsa Indonesia. Apa itu? Sebut saja nilai “Kebertuhanan,” “kemanusiaan,” “kerukunan,” “demokrasi,” dan “keadilan soal.” Ya, saya hanya memparafrase Pancasila di sini, seperti halnya Bung Karno yang memparafrase Pancasila di hadapan sidang PBB. Kalau ingin lebih lagi, biar lebih selaras dengan visi direktorat jenderal Pendidikan tinggi, bisa ditambahkan “pelestarian lingkungan,” “anti narkoba,” “bela negara,” dan sejenisnya, yang sebenarnya juga sudah tercakup dalam nilai-nilai Pancasila yang saya sebutkan sebelumnya, meskipun tidak eksplisit.

Setelah mendapatkan subjek dan predikat ini, kita bisa lebih jauh menentukan nilai macam apa yang terdapat dalam objek budaya yang akan kita soroti. Untuk membantu kita menyoroti nilai-nilai tersebut, kita perlu mengurai elemen-elemen budaya tersebut dengan berbagai metode (5W+1H) atau menyoroti lima elemen Burke (Tindakan, Pelaku, Latar, Peran Pelaku, dan Tujuan). Mungkin (mungkin lho ya) dengan menyoroti setiap aspek dari objek budaya tersebut, kita bisa mendapatkan nilai yang lebih jelas lagi. Semakin banyak aspek dalam objek tersebut yang mencerminkan nilai(-nilai) yang ingin Anda soroti, maka semakin tajam juga esai yang kita tulis.

Setelah memiliki data-data yang mungkin kita butuhkan untuk menulis, barulah kita bisa menentukan bagai cara kita “memberikan sesuatu.” Dari data-data yang ada, kita bisa memutuskan apakah kita akan menyoroti sesuatu yang kurang tampak, mengajarkan, menggugat, merenungkan ulang, atau yang lain. Dengan data-data yang sudah ada itu pula, kita bisa mengikuti ujaran Muhidin yang saya gunakan untuk membuka esai pengantar ini. Sebagian dari hal ini mungkin sudah bisa kita penuhi hari ini, misalnya sebagian sumber data, kerangka, dan posisi yang kita pegang. Untuk yang lain, sepertinya materi pada pertemuan yang selanjutnya akan lebih mampu membantu Anda sekalian.

Untuk workshop pertama ini, mari kita mulai dengan menentukan elemen pembentuk “kalimat” kita. Mari kita mulai dengan mencari objek budaya dan nilai yang akan disoroti. Untuk masing-masing, Anda tidak perlu langsung memutuskan mana yang akan dipilih. Silakan eksplorasi dulu. Untuk bagian nilai, kita juga bisa mengeksplorasi seluas-luasnya. Selanjutnya, kita bisa menyoroti lagi apa yang sebenarnya ingin kita tuliskan. Setelah itu, kita bisa mereka-reka, kira-kira bagaimana kita akan menyusun urutan munculnya sumber itu dalam esai yang kita tulis. Mari!

(Postingan ini dibuat sebagai pengantar dalam salah satu sesi dalam rangkaian workshop penulis esai “Merawat Keragaman Budaya” yang diadakan oleh koordinator Mata Kuliah Umum Universitas Brawijaya selama tiga hari Minggu 1, 8, dan 15 Oktober 2017. Tulisan ini khusus digunakan untuk menangkap gagasan dan menyusun kerangka esai. Untuk slide penyertanya, silakan dapatkan di sini.)

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *