Di hari-hari yang melelahkan ini, selalu ada hal-hal yang cukup menyegarkan. Kalau buat saya yang hari-hari ini seperti sedang berenang di arena arung jeram ini, hal-hal menyegarkan itu berupa melihat murid-murid saya menikmati membaca Hemingway yang minim informasi itu dan kemudian berani menyampaikan tafsiran-tafsiran yang melengkapi pemaknaan, atau melihat mereka beradu tafsiran atas Hotel California yang suram-duram itu. Dan, satu lagi: yaitu kemarin, ketika saya dan beberapa kawan dosen dan staf di Universitas Ma Chung akhirnya jadi bertemu di salah satu ruang diskusi di perpustakaan untuk berbincang tentang buku yang kami sukai. Itulah topik postingan absen ini.
Pertemuan kami tersebut menyegarkan bagi saya karena adanya elemen tak lazim. Sekadar info: pertemuan orang-orang untuk membicarakan buku atau karya sastra itu sudah bagian dari keseharian kota Malang yang lagi gemar menggalakkan literasi. Yang menjadikan pertemuan kami lain adalah karena orang-orang yang bertemu adalah dosen dan staf dari berbagai bidang ilmu (sastra, matematika, kimia, desain, dan pustakawan) tapi untuk membincangkan karya sastra dan tulisan populer. Dosen-dosen yang pada jaman now “didera” kewajiban mengerjakan penelitian, berpengabdian kepada masyarakat, dan (tentu saja) mengajar ini ternyata meluangkan waktu untuk ngobrol fiksi.
Menariknya, ada yang berpandangan bahwa membaca fiksi berpengaruh terhadap kinerja dosen. Mungkin saya mengeneralisasi dengan agak brutal di sini, tapi tak apa. Begini maksudnya: kebiasaan membaca tulisan fiksi yang mengalir dan cenderung memperhatikan keindahan berbahasa (tentu “keindahan” di sini dimaksudkan secara luas) pada akhirnya bisa mempengaruhi rasa bahasa seseorang. Ini pendapat yang disampaikan rekan saya Aditya, dosen Desain Komunikasi Visual. Menurutnya, pengalamannya membaca karya sastra membuat dia bisa menulis dengan agak hidup, lebih luwes, dan tidak teknis-instrumentalis (hanya sebagai pengantar pesan). Kongkretnya, membaca fiksi menjadikannya mampu menulis untuk media massa (yang dalam lingkup akademis dianggap sebagai media populer, yang berhubungan dengan orang banyak, orang-orang di luar lingkup akademis–berbeda dengan artikel jurnal yang audiensnya adalah lingkungan akademis). Kira-kira begitulah pandangan rekan Aditya, yang menurut saya sangat menarik untuk ditelusuri lebih jauh dan dibisikkan ke orang-orang.
Pertemuan kemarin adalah pertemuan subtansial kami yang pertama. Sebelumnya kami pernah bertemu untuk membicarakan rencana ini, terus selanjutnya lagi kami bertemu tapi ternyata venue yang kami rencanakan sedang dipakai untuk bedah buku orang lain. Baru kemarin kami sempat berbincang buku sesuai yang kami rencanakan. Di pertemuan pertama itu, yang kebagian berbagi bacaan adalah saya (dosen sastra Inggris) dan rekan Reyna (dosen Matematika). Saya berbagi pembacaan saya atas kumpulan cerpen Yusi Avianto Pareanom yang berjudul Muslihat Musang Emas dan rekan Reyna berbagi buku Anne Frank and the Children of the Holocaust karya Carol Anne Lee. Masing-masing kami dapat bagian setengah jam, yang kami gunakan dengan maksimal. Saya menceritakan cerpen-cerpen anti-klise dalam buku Muslihat sambil memberikan sinopsis dua cerita secara lengkap (biar rekan-rekan tahu) plus membacakan bagian-bagian tidak biasa dari buku tersebut, terutama palindrom dalam cerpen “b.u.d.” Rekan Reyna mengisahkan buku yang seperti biografi Anne Frank yang diambil dari berbagai sumber (wawancara, laporan berita, dan tentu saja buku harian Anne Frank). Pada bagian-bagian kritis ceritanya, rekan saya yang dosen Matematika itu tampak terbawa emosi.
Semoga pertemuan yang diawali dengan kebahagian dan kesegaran ini bertahan lama atau bahkan bisa mengajak semakin banyak rekan dosen dan staf untuk bergabung. Untuk pertemuan selanjutnya, saya sudah tidak sabar ingin mendengar buku-buku lain, non-fiksi, fiksi, komik, dan lain-lain. Kalau yang seperti ini berjalan lancar, berenang di arena arung jeram sambil melawan arus pun tak masalah. Berenang itu menyehatkan, arena arung jeram itu menggairahkan, dan toh ada yang namanya pelampung dan perahu karet yang selalu bisa kita jangkau dan naiki kalau kita memang perlu sedikit beristirahat. Lagipula, toh arena arung jeram itu juga tidak melulu bergolak dan mobat-mabit. Ada kalanya arus tenang di mana kita bisa membenahi ikatan helm, menguras air dari perahu karet, membenahi posisi dayung dan sebagainya. Di situlah mungkin seninya. Ada saatnya gas pol, ada saatnya rem pol, ada saatnya pakai cruise control!
Keindahan alam negeri kita memang tidak ada matinya jika melihat rerimbunan seperti itu mengingatkan saat-saat kita masih kecil di desa yang sangat indah.
[…] Ngobrol Buku di Tengah Arung Jeram […]
[…] dalam hidup saya, Book Sharing Club di Universitas Ma Chung (yang di awalnya pernah saya tulis di sini), sudah bisa berjalan sendiri. Book Sharing Club yang diawali beberapa tahun yang lalu oleh […]