Ada beberapa hal dari kunjungan saya ke Boston yang hingga kini bertahan dan terus menghantui saya, padahal kebanyakan foto yang saya ambil sudah hilang karena (mungkin) kesalahan teknis. Saya ke Boston, Massachussetts, tentu saja karena saya kebetulan ke Cambridge untuk konferensi American Comparative Literature Association 2016.

Pada hari terakhir, hari Minggu, setelah berjalan dengan Asaad dari arah hotel kami di dekat MIT ke kampus Universitas Harvard, saya nyempal ke stasiun subway. Asaad masih ada satu sesi konferensi lagi. Sesi saya sudah berakhir pada hari Sabtu kemarin. Saya sebenarnya tidak tahu akan ke mana. Awalnya saya ingin ke Plymouth Rock, tempat mendarat pertama orang-orang Eropa puritan. Tapi, setelah saya lihat bahwa butuh waktu dua jam ke sana dan tiketnya tidak sama dengan tiket MTA yang saya punya, akhirnya saya pun memutuskan untuk jalan-jalan ke kota Boston saja, kota tetangganya Cambridge.

Saya tahu bahwa Boston punya museum seni yang cukup besar, tapi saya tidak akan ke museum seni. Saya hanya ingin memanjakan memori saja. Pertama kali saya kenal Boston adalah dari film Spencer for Hire, kisah seorang detektif swasta yang diperankan Lars Ulrich. Di film ini, digambarkan Spencer tinggal di kota Boston yang selalu terlihat dingin dan melankolis. Kesan murung itu didukung oleh plot cerita: kekasih (atau istri?) Spencer dibunuh oleh orang yang merasa terancam oleh si detektif. Saya lupa detilnya, tapi saya ingat pasti, ketika saya menonton film itu di SCTV waktu kelas 5 atau 6 SD, saya begitu terpesona oleh tokoh itu dan kotanya yang begitu berbeda dengan Krembung, atau Porong, atau Sidoarjo. Hari Minggu itu, saya akan melihat seperti apa kota dalam memori saya itu yang sebenarnya.

Saya naik MTA dari Harvard Square, persimpangan di depan kampus Universitas Harvard yang selalu ramai. Saya punya tiket terusan seharga 7 dolar untuk saya pakai selama berada di sana. Saya sudah memakainya beberapa kali, tapi tentu saya masih bisa memakainya sampai seminggu. Setelah beberapa stasiun, saya harus keluar kereta dan ganti kereta ke arah lain. Hanya beberapa stasiun saja, di sini, kereta tidak lagi lewat dalam tanah. Saya bisa melihat sungai Boston dari jendela kereta. Tak berapa lama kemudian, kereta berhenti di stasiun atas tanah yang tak ubahnya sebuah halte (lokasinya di Huntington Avenue). Sekeluarnya saya dari kereta, saya bisa melihat Museumm Seni Rupa Boston. Saya ke sana untuk memotret beberapa patung yang ada di halaman depan museum, terutama patung seorang prajurit/kepala suku pribumi Amerika yang menunggang kuda. Masuk museum itu perlu bayar dan tentunya saya akan butuh banyak waktu di sana.

Saya lanjutkan berjalan kaki ke kampus Northeastern University dan berhenti sejenak untuk beli sarapan mie dan ayam Taiwan dari seorang pedagang dari sebuah gerobak yang baru saja buka. Saya makan sarapan itu di halaman salah gedung di kampus tersebut. Setelah selesai, saya menyeberang jalan ke gedung lain dan masuk untuk melihat-lihat memakai toilet. Untungnya pintu depan terbuka. Ada satu dua orang mahasiswa di sana, banyak di antaranya dari Asia Timur.

Setelah selesai dari sana, saya berjalan-jalan terus dengan tujuan pasti alun-alun kota Boston. Saya sudah sempat lihat di peta tadi sebelum berangkat, dan secara kasar tahu arah yang harus saya tempuh. Lagipula, jalan-jalan di kota yang dibangun ala Eropa begini relatif mudah dirasionalisasi. Polanya grid dengan blok-blok yang panjangnya relatif teratur.

Yang tidak saya antisipasi adalah bahwasanya saya lewat kampus Berklee College of Music, tempat kuliahnya para jawara di Dream Theater itu. HP saya sejak pagi sudah restart-restart terus tanpa henti sampai akhirnya saya harus lepas batereinya. Internet sudah tidak bisa diandalkan sama sekali. Sambil jalan, saya juga lihat-lihat sekeliling untuk mencari toko-toko semacam Walmart atau sejenisnya yang menjual HP murah. Saya pernah beli Go Phone AT&T yang sebenarnya adalah Nokia Lumia dengan harga cuma 20 dolar. Asyiknya, HP itu juga bisa dipakai untuk kartu AT&T yang langganan. Jadinya ya cukup murah. Setelah keliling, akhirnya saya ketemu showroom AT&T. Tapi, ternyata di sana hanya ada HP-HP versi bagus saja. Tidak ada HP AT&T versi Go Phone murahan.

Nah, di situlah akhirnya terjadi apa yang sudah saya janjikan di paragraf pertama postingan ini. Di depan sebuah bangunan gereja bergaya gothik, ada seorang lelaki tunawisma meringkuk kaku seperti orang mati kedinginan. Beberapa pejalanan kelihatan kuatir melihat orang tersebut. Mereka coba membangunkan orang itu. Mereka coba menggoyang-goyangkan tubuh lelaki itu tapi dia bergeming. Setelah beberapa lama, akhirnya salah satu berinisiatif menelpon 911. Tak berselang lama, datanglah pemadam kebakaran dan ambulans. Ketika mendengar sirene yang bersahut-sahutan itu, si lelaki mulai bergerak-gerak dan kemudian bangkit untuk duduk kembali. Petugas pemadam dan ambulans mencoba berbicara dengan lelaki itu tapi si lelaki mengisyaratkan dia baik-baik saja dan tidak mau mereka bawa. Dia kembali duduk di depan gereja itu dan orang-orang itu masih banyak berkerumun.

Saya kemudian lanjutkan perjalanan ke alun-alun yang sebenarnya sudah ada di seberang gereja itu. Di tepi alun-alun Copley, saya menemukan sebuah bangunan gereja sangat megah bernama Boston Trinity Church. Bangunan itu memiliki ukiran-ukiran dan patung yang cukup besar di bagian fasadnya. Banyak orang berdatangan hanya sekadar foto-foto dan melihat sekeliling. Saya melihat-lihat suasana ceria di hari Minggu itu. Semuanya terasa layak dikenang, termasuk kedip lampu merah. Yang tidak saya ketahui adalah, tidak jauh dari tempat saya berdiri itu, ada sebuah memorial yang didedikasikan kepada Kahlil Gibran, seorang penyair dan pelukis asal Lebanon yang berkarya di Amerika dalam bahasa Arab dan Inggris tapi jarang disertakan sebagai bagian penting dari Sastra Amerika.

Belakangan, dalam perjalanan kembali ke Cambridge untuk mengambil barang-barang saya di hotel dan meninggalkan kota untuk kembali ke Fayetteville, saya mendapati bahwa ternyata tiket terusan yang saya beli seharga 7 dolar itu sebenarnya tidak unlimited. Dalam perjalan pulang, saya harus menambah bayar beberapa dolar agar bisa masuk ke portal untuk kembali ke Cambridge.

Lebih ke belakang lagi, saya mendapati bahwa banyak foto yang saya ambil selama perjalanan ke Boston itu akhirnya hilang terhapus. Saya tidak yakin pasti apakah hilangnya karena HP yang terus-menerus restart itu. Atau, bisa jadi juga file-file foto dari HP itu hilang karena saya telah menyalinnya ke komputer kecil linux saya dan kemudian hard drive komputer kecil itu saya format sepenuhnya karena ingin memulai formatting untuk linux dari awal. Saya lebih percaya masalahnya adalah yang kedua. Tapi, meskipun gambar-gambar itu hilang, saya masih tetap punya ingatan tentang hal-hal yang memang sulit dilupakan itu. Mungkin itu uniknya memori organik kita: kadang-kadang kita tidak perlu menyuruhnya menghapus bagian-bagian tertentu. Untuk memori “eksternal non-organik,” ada kalanya salah pencet sedikit saja bisa terhapus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *