Siapa menyangka bahwa film bisa memiliki dampak yang besar kepada rasa bangga anak-anak terhadap budayanya sendiri. Sepertinya itu yang terjadi kepada anak saya. Setelah menonton Yo Wis Ben 2, dia jadi selalu mengusahakan ngomong bahasa Jawa. Saya tidak menyangka bahwa itu ternyata karena film.
Ketika istri saya bilang bahwa di grup WA wali murid ada perbincangan tentang kemungkinan mengorganisir anak-anak nonton Yo Wis Ben 2 bersama-sama, saya tentu agak defensif. Beberapa tahun yang lalu, Yo Wis Ben pertama muncul dengan trailer yang memakai bahasa malang cukup provokatif “ceplesen ae tilise,” yang termasuk kotor. Apa tolok ukurnya kalau ucapan begini kasar? Gampang: kita tidak mungkin ngomong begini di depan ayah-ibu atau guru-guru di sekolah. Jadi, waktu ada gagasan anak-anak kelas 6 SD yang mau ujian nasional ini akan nonton Yo Wis Ben 2 bareng, saya gak defensif. Tapi, sebagai orang tua yang mengklaim diri dialektis, akhirnya saya membuka diri untuk cari info kanan-kiri dulu.
Biarkan saya sela sebentar: saya tidak anti dengan yang namanya kata-kata semacam “jancok,” “fuck you,” “asu,” “asem,” dll. Banyak orang yang menggunakan kata-kata ini dengan berbagai motivasi. Yang saya lebih kuatir justru di mana, kapan, dan kepada siapa kata-kata ini diucapkan. Kalau diucapkan kepada atau di hadapan orang yang lebih tua, tentu tidak pantas. Kalau diucapkan untuk membodohkan orang, tentu juga tidak etis. Konteks ini yang menurut saya lebih penting. Sehalus apapun umpatannya (misalnya “bajigur” atau “bajindul”) kalau disampaikan pada konteks yang tidak tepat akan tetap tidak etis. Bagaimana konteks yang tepat? Ya silakan jadi bahan renungan sendir-sendiri.
Intinya, saya tidak terlalu ragu kalau memang Yo Wis Ben 2 nanti akan mengandung terlalu banyak pisuhan. Ekspos terhadap pisuhan adalah sesuatu yang konyol untuk dihindari. Saya tahu pasti, di sekolah ada teman-temannya yang mulai suka misuh. Lagipula, saya cukup yakin dengan anak saya, yang selalu bisa saya beri pengertian (terima kasih kaos Joger ukuran anak, yang mengingatkan saya dengan tulisan “jangan marahi kami, beri kami pengertian”). Tapi ya, tetap saja. Saya masih belajar, jadi wajar lah saya defensif.
Sebelum menjawab postingan di grup WA wali murid itu, saya langsung riset Google. Hasilnya? Ternyata Yo Wis Ben yang kedua ini tidak hanya di Malang. Oke. Akan ada dua budaya lokal: Jawa dan Sunda. Oke. Lebih jauh lagi, Bayu Skak juga melakukan riset lebih jauh dan menggunakan konsultan budaya dari kedua budaya tersebut. Ini lebih baru lagi, meyakinkan. Pikir saya kala itu, “Oke, Yo Wis Ben gak kalah dengan Coco, yang pembuatannya melibatkan konsultan budaya Latino terutama Meksiko”). Tapi, mengingat ini Yo Wis Ben dan ada Bayu Skak, saya masih curiga akan ada pisuhan. Tak apalah. Ada yang lebih penting dari pisuhan, yaitu konten. Dengan adanya konsultan, paling tidak ada usaha untuk menghindari menyinggung budaya-budaya tertentu. Saya dan istri pun memutuskan membiarkan dia ikut nonton Yo Wis Ben 2 bersama teman-temannya (di Transmart yang baru itu).
Setelah acara nonton selesai, anak saya terlihat antusias. Waktu saya tanya pendapatnya tentang film itu, katanya “Asyik kok.” Dia menceritakan ringkasan plotnya dan mengatakan beberapa hal menarik. Katanya ada misuh-misuhnya–tapi dia tersenyum waktu cerita ini. Ada teman sekelas anak saya yang jadi figuran (saya sudah tahu ini dari kawan yang bilang bahwa teman sekelas anak saya jadi figuran 10 detik di sini).
Baru setelahnya terasa ada perubahan berangsur-angsur: Dia jadi sering ngomong bahasa Jawa. Awalnya saya tidak menyadari ini. Tapi setelah beberapa hari, statistik menunjukkan bahwa kata-kata bahasa Jawa yang digunakan jadi lebih banyak. Ini tidak biasa, karena anak saya lebih banyak ngomong bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Jawa. Dia masih maruk berbahasa Indonesia karena baru 3 tahun ini belajar (sebelumnya full bahasa Inggris). Tapi, sekarang, setiap ada kesempatan menjawab pertanyaan pendek, dia jadi pakai bahasa Jawa. Bahkan, sodara, bahkan, dia sempat menyenandungkan lagu-lagu bahasa Jawa “gandolaning ati.” I was like, whaaaaaaat? Itulah sepertinya puncak dari fenomena linguistik di rumah saya itu.
Jawaban yang saya dapatkan membuat saya meringis bahagia. Ketika saya tanya kenapa kok dia sekarang jadi sering ngomong bahasa Jawa, jawabannya pasti: “Aku ngomong koyok Yo Wis Ben.” Ah, ini dia. Setelah wawancara lanjutan layaknya seorang peneliti kualitatif yang melakukan etnografi, saya mendapati bahwa dia terkesan dengan bahasa Jawa yang ternyata dia temukan di film. Saya tidak bisa menahan senyum ketika mendengar jawaban demi jawaban (yang banyak ditaburi bahasa Jawa di sana-sini itu).
Bagaimana dengan pisuhan-pisuhannya? Seperti biasa, kami membincangkan soal pisuhan, konteksnya, dan dampaknya. Belum pernah sekali pun dia mengumpat sejak nonton Yo Wis Ben 2 (dulu pernah, jauh sebelum Yo Wis Ben 2, sebelum akhirnya saya beri pengertian secara “berdarah-darah,” not literally, y’all!). Dengan pengertian, sepertinya pisuhan dalam Yo Wis Ben 2 (atau film-film lainnya yang dia lihat seperti Spongebob, Incredibles, Despicable Me, dll) bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi. Saya sendiri penggemar Pulp Fiction dan Samuel L. Jackson yang cukup hard core, jadi tentunya akan salah kalau saya melarang anak saya menonton film hanya karena ada pisuhannya.
Yang saya rasa perlu disoroti lagi adalah fenomena linguistik tingkat lokal yang berkelindan dengan budaya pop ini. Ini agak mirip dengan apa yang sering dilontarkan para feminis: If you can dream it, you can reach it. Melihat sosok perempuan yang berpretasi adalah sesuatu yang penting untuk dijadikan inspirasi bagi perempuan-perempuan muda. Begitu juga bahasa Jawa: saat melihatnya muncul dalam budaya pop, yang terlihat keren, dinikmati orang di mal-mal, seseorang bisa merasakan kebanggaan. Sepertinya itulah yang dirasakan anak saya.
Saya sendiri belum nonton Yo Wis Ben 2, jadi tidak pantas kalau saya ikut-ikutan menulis resensi tentang film itu. Tapi, karena sudah nonton selama berminggu-minggu bagaimana film Yo Wis Ben 2 itu berdampak kepada anak saya, jadi ya beranilah saya menulis resensi tentang kehidupan pasca-nonton film ini. Apa pesan moral dari postingan ini? Sederhana saja: 1) pisuhan bukanlah alasan untuk tidak menonton sebuah film; 2) menghadirkan sesuatu yang tradisional ke dalam bentuk pop berpotensi menimbulkan kebanggaan.
Harapan terakhir, semoga semakin banyak film dari berbagai daerah di Indonesia yang menggunakan bahasa-bahasa daerah secara signifikan seperti seri film Yo Wis Ben ini. Saya tentu berharap kita semua di Indonesia saling akrab mendengar bahasa daerah lain yang meskipun tidak kita pahami tetap bisa menghadirkan kedekatan. Waduh, mulai keluar dosen MKU Pancasila-nya. Maka dengan ini saya undur diri. Nuwun sewu.