Artikel “Catcalling” Mojok: Proses Belajar Kita

Sudah beberapa lama ini saya tidak mengunjungi mojok.co, sebuah platform online yang saya cukup senangi. Hari ini tadi saya lihat seorang kawan yang membagi link artikel yang cukup mengejutkan dari Mojok, yang berisi permintaan maaf dan penurunan artikel. Setelah mengikuti link itu, tahulah saya bahwa permintaan itu terkait dua artikel bermasalah. Ini link-nya kalau ingin baca. Bagi saya, kejadian semacam ini perlu disoroti. Perlu.

Anda mungkin bertanya, kenapa menyoroti kesalahan besar macam ini? Apa mau ikut-ikutan menyerang Mojok? Apa biar Mojok kapok? Tidak. Tentu tidak. Justru sebaliknya.

Di satu sisi, saya sangat menyayangkan ada artikel yang mengentengkan godaan verbal bejad jalanan (yang orang suka sebut “catcalling“) dan seksis tampil di Mojok. Di zaman seperti ini, sudah semestinya praktik-praktik semacam godaan verbal bejad jalanan itu ditinggalkan. Godaan semacam itu biasanya dipicu oleh ketertarikan terhadap fisik perempuan (khususnya). Dengan kata lain, godaan semacam itu terjadi karena orang hanya memperhatikan perempuan hanya sebagai tubuh, sebagai bentuk. Godaan semacam itu tidak mempertimbangkan apa yang ada di balik fisik. Tidak peduli bahwa si perempuan pintar statistika, pintar melukis, pintar ceramah, atau pintar catur. Kalau pelaku memahami perempuan lebih dari fisiknya, mestinya godaan genit itu tidak akan terjadi. Kalau sudah memahami perempuan tidak hanya fisiknya saja tapi yang seperti ini masih terjadi, ya pelakunya mungkin memang bejad. Saya tidak perlu berpanjang lebar tentang ini. Yang pasti, perilaku begitu tidak untuk dimaklumi.

Yang justru perlu disoroti adalah sisi lain dari kejadian ini: ini merupakan kesempatan yang tepat untuk kita semua belajar. Saya pikir, di masa transformasi ini (dari keabaian atas ideologi patriarkal menuju kesadaran adanya patriarki dan perlunya usaha untuk memperbaiki situasi) belajar dari kesalahan akan sangat bisa memberikan pendidikan. Kalau perubahan terjadi secara berangsur-angsur dan dalam diam, mungkin akan lebih sulit bagi kita menyoroti masalah-masalah kita sendiri. Dengan adanya kesalahan-kesalahan di depan mata (yang kemudian dikoreksi), kita mungkin akan lebih bisa belajar, mendidik diri kita sendiri. Dengan melihat satu per satu masalah di depan mata, dan kemudian melihat bagaimana masalah itu diurai satu per satu, kita semestinya akan lebih memahami persoalan. Tapi, lagi-lagi, perlu diingat bahwa kesalahan itu perlu disoroti dan dikoreksi.

Kita punya klise “pengalaman adalah guru yang terbaik” yang sekali-kali perlu disegarkan lagi. Atau, biar lebih segar, mari lah pakai Inggrisnya: “We learn things the hard way.” Kita akan belajar lebih baik kalau prosesnya sulit. Kalau prosesnya mudah dan tidak perlu repot, bisa jadi kita tidak sadar kalau sedang belajar–bisa jadi, bisa juga tidak. Dengan mengalami yang berat, dan terlibat dalam kesalahan yang berat, kita jadi lebih menghayati pelajaran itu. Dan tentunya agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kalau pun kita melakukan kesalahan lagi, setidaknya itu kesalahan yang baru, dan berujung ke pelajaran yang baru.

Kita memang masih harus terus belajar tentang ideologi patriarkal dan isu gender. Ibaratnya, kita semua ini sedang berikhtiar mengikis sedimen ideologi yang sudah mengeras melalui proses ribuan tahun. Butuh upaya sadar untuk melakukannya. Dan laki-laki (yang selama ini lebih diuntungkan) tentunya lebih bertanggung jawab dalam proses perubahan ini.

Jadi, untuk Mojok, sekurang-kurangnya kita bisa menghargai usaha mereka untuk meminta maaf dan menjadi bahan belajar buat kita.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *