Pak Wardiman Djojonegoro dan Sepak Terjangnya (Amatan Pribadi)

Kita tidak banyak berbicara tentang tokoh di blog ini, padahal tidak ada larangan untuk ngobrol soal tokoh. Jadi ya, untuk semakin menceriakan blog ini, hari ini kita khusus ngomong tokoh. Tokoh yang akan kita bicarakan hari ini adalah bapak Wardiman Djojonegoro, sang juru kampanye Cerita Panji.

Buat yang belum akrab, biarkan saya akrabkan: Pak Wardiman Djojonegoro ini awalnya saya kenal sebagai bapak Menteri Pendidikan Republik Indonesia pada periode 1993-1998, di masa pemerintahan lengkap terakhir Suharto. Saat itu, bagi saya beliau menonjol karena gelarnya yang tidak lazim, yaitu “Dr. Ing.” Sebelumnya, saya hanya kenal satu “Dr. Ing” di Indonesia, yaitu Dr. Ing B.J. Habibie. Ketika Pak Wardiman dilantik menjadi menteri, yang artinya namanya akan harus saya hafalkan, saya takjub: ternyata ada yang sebanding dengan Pak Habibie di dunia ini. Dan, yang tak kalah pentingnya, Pak Dr. Ing Wardiman Djojonegoro ini menduduki jabatan yang tepat, sebagai Menteri Pendidikan. Dunia terasa baik-baik saja. Ketika itu saya baru 13 tahun dan belum ada Google, jadi kalau cara pandang saya begitu, mohon dimaklumi.

Maka demikianlah di tahun 1993. Hari berganti. Angin tetap berhembus. Cuaca berubah. Daun-daun tetap tumbuh. Hingga beberapa tahun kemudian, ketika musik Indonesia sedang semarak dengan Indosiar, AN Teve, MTV, dan lain-lain, muncullah seorang penyanyi yang lagunya cinta santai dan enak, orangnya berkacamata dan kelihatan terpelajar (dan lulusan luar negeri), dan kabarnya adalah putra dari Pak Wardiman, namanya Ananta. Ketika itulah pamor Pak Wardiman bagi saya meningkat lagi. Kali ini beliau tampak sebagai seorang penting di negara tercinta, terpelajar level “Dr. Ing,” dan tidak melarang anaknya jadi penyanyi, jadi penghibur (setelah si anak disekolahkan ke luar negeri dulu). Maka Ananta pun tampak menonjol di mata saya, dan baru-baru ini saya ingat kembali bahwa Ananta pernah punya video klip yang melibatkan banyak model perempuan level atas Indonesia dalam satu video.

Tapi, seiring waktu, Pak Wardiman hilang dari hidup saya, begitu juga Ananta. Ketika itu pasca-98. Ketika itu secara drastis saya mengurangi konsumsi TV (dari yang sebelumnya berjam-jam dalam sehari mulai SD sampai SMA, menjadi hingga 0 jam seminggu waktu kuliah–karena ngekost). Ketika itu selera musik saya sudah tidak melulu mengikuti yang trend di TV atau Radio, melainkan ikut-ikutan teman kost dan tempat kampus, mengikuti musik yang mereka putar, memperluas khazanah nada saya, menelusuri sejarah musik pop dan rock. Pak Wardiman pun ke lapis belakang kesadaran saya.

Hingga pada tahun 2012, ketika sebuah benda membawa kembali Pak Wardiman ke kesadaran saya. Musim panas 2012 itu adalah tahun pertama saya bekerja di Spring International Language Program sebagai student service assitant. Atau singkatnya: sopir, yang tukang antar-jemput dan lain-lain. Di akhir musim panas itu, saya bertugas mengurusi kebutuhan sekelompok guru bahasa Inggris dari Meksiko yang ikut program pendidikan di Arkansas. Di satu kesempatan, saya ditugasi mengantarkan mereka ke Little Rock, ibu kota negara bagian Arkansas. Salah satu destinasi kunjungan adalah Clinton Presidential Library and Museum. Museum ini memamerkan segala hal tentang Presiden Clinton, mulai dari barang pribadi sampai catatan dinasnya sebagai presiden. Nah, di antara hadiah-hadiah yang Clinton dapatkan dari para pemimpin dunia selama menjabat, terdapat sebuah keris dengan luk banyak dan warangka berwarna emas dengan ukiran renik. Di situ disebutkan bahwa keris tersebut adalah hadiah dari Menteri Pendidikan Republik Indonesia, Pak Wardiman. Maka saya pun teringat kembali beliau. Beberapa tahun kemudian, setiap berkunjung ke museum tersebut, saya selalu menyempatkan menengok keris tersebut untuk memeriksa apakah dia masih ada. Tentu, latar belakang Jawa saya memantik pertanyaan: sudah berapa puluh tahun keris ini tidak dijamas–eman.

Maka demikianlah waktu berjalan, hingga tahun lalu saya melihat Pak Wardiman lagi, ketika ada berita tentang Festival Panji Nusantara yang penutupannya diadakan di Malang. Pada penutupan itu, yang menyampaikan pidato atas nama Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan adalah Pak Wardiman Djojonegoro. Saya cukup kaget dan merasa perlu memastikan: berapa usianya sekarang? Dari Mas Syarif, saya tahu bahwa Pak Wardiman ini penuh semangat dan melakukan berbagai upaya untuk internasionalisasi cerita Panji. Di sisi lain, dari Facebook saya melihat bahwa ada Mas Ardian, kakak kelas di Sastra Inggris UM yang pernah bekerja menerjemahkan cerita Panji di bawah arahan Pak Wardiman. Betul. Beliau masih aktif. Aktif melesat ke sana ke mari, mengurusi naskah-naskah lama. Beberapa bulan yang lalu, Pak Wardiman datang ke Malang untuk sebuah seminar di Museum Panji. Saya tidak bisa datang. Tapi intinya: beliau ini sangat aktif di usianya yang kepala 8 itu. Dan saya pun bertanya-tanya.

Untungnya, sekarang adalah jamannya YouTube, Google, dan media baru: tidak ada alasan untuk tidak tahu. Rasa penasaran saya segera terpuaskan. Setelah meluangkan sebentar saja waktu mencari, saya pun mendapat video YouTube yang berisi wawancara Pak Wardiman dengan seorang penyiar kanal TV di YouTube. Di situlah diceritakan bahwa, ketika Pak Wardiman pensiun pasca menduduki jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, seorang dokter beliau menyarankan agar tidak berhenti berkegiatan karena hal tersebut akan membuat kondisi beliau langsung turun. Kasarannya, beliau bisa “cepat tua” kalau langsung menghentikan aktivitas. Akhirnya, Pak Wardiman pun mencari kegiatan baru, terus mengikuti seminar, pertemuan, berorganisasi dan lain-lain. Hingga akhirnya Pak Wardiman menghadiri acara terkait Pangeran Diponegoro yang menghadirkan Peter Carey. Ada pernyataan Peter Carey yang menyadarkan Pak Wardiman tentang sejarah: bahwa pemahaman orang tentang Pangeran Diponegoro sangat ditentukan oleh bangsa Belanda, dan itu bermasalah. Dari situ Pak Wardiman tergerak untuk ikut menekuni naskah Babad Diponegoro dan bahkan akhirnya sampai menulis buku tentang Pangeran Diponegoro. Tak berhenti dengan Babad Diponegoro, Pak Wardiman juga mulai tertarik dengan naskah-naskah Panji, yang juga kemudian beliau tekuni seluk-beluknya. Maka demikianlah, saran dokter untuk tidak berhenti berkegiatan itu akhirnya membola salju hingga menjadi keterlibatan aktif (ultra aktif) dengan naskah-naskah kuno, terutama Babad Diponegoro dan cerita Panji.

Hal terakhir yang perlu saya sampaikan di sini tentang tokoh kita ini adalah bagaimana Pak Wardiman ini bertungkus lumus dengan cerita Panji. Dan ini saya dengar sendiri dari ucapan beliau saat berbicara di depan mata saya, di Universitas Ma Chung. Ada beberapa poin tentang Cerita Panji yang begitu menarik perhatian Pak Wardiman (tentang ini, saya akan ceritakan di postingan terpisah, insya allah). Karena beberapa poin itulah beliau berusaha untuk memasukkan cerita Panji ini menjadi warisan dunia. Ketika cerita panji ini diajukan, ternyata ada negara lain yang juga mengajukan kisah kisah yang sama. Maka, Pak Wardiman mulai bergerilya menghubungi otoritas kebudayaan di negara-negara lain yang memiliki hubungan dengan kisah Panji, seperti Filipina, Kamboja, Malaysia, dan Thailand. Beliau ingin agar negara-negara ini bersama-sama mengajukan agar lebih mudah mewujudkan cita-cita menjadikan cerita Panji sebagai warisan dunia. Dan, yang jadi persoalan kedua adalah banyaknya versi cerita panji, tidak ada satu naskah otoritatif, dan ada beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan dunia. Singkat kata, akhirnya UNESCO menyetujui Panji sebagai warisan dunia, tapi yang disetujui adalah koleksi cerita panji dari berbagai negara. Tapi, sayangnya, tidak semua orang Indonesia tahu tentang Panji. Jadinya, yang juga sangat penting sekarang adalah memperkenalkan Panji kembali ke bangsa Indonesia. Dan itulah yang menjadi motivasi beliau dalam berkegiatan di usianya yang sudah 84 tahun itu.

Ya, usia beliau sekarang 84 tahun, tapi kekuatan dan keaktifannya itu yang bikin ngeri. Dari yang saya lihat saja, pada tanggal 11 Juli kemarin, jadwalnya seperti ini: pagi di Kediri memberikan seminar sampai sekitar tengah hari, terus lanjut ke Malang di Universitas Ma Chung dan menjadi pembicara diskusi hingga pukul 7 petang baru meninggalkan lokasi, dan selanjutnya ada Festival Panji di Taman Krida Budaya, ngomong lagi. Semuanya dilakukan dengan berjalan sendiri (meskipun agak pelan saat menuruni tangga dan menaiki mobil) dan berbicara dengan tegas dan terstruktur tanpa teks dan slide!

Begitulah Pak Wardiman yang saya tangkap dari pertemuan dua minggu lalu. Dengan riwayat karir seperti itu, dengan usia itu, dengan motivasi sebesar itu, dengan tenaga sekokoh itu, Pak Wardiman sukses membuat saya ngeri dan segera beli sepatu lari merek Kodachi!

Oh iya, di kartu nama beliau yang berhasil jatuh ke tangan saya, di bagian atas terdapat tulisan “The Habibie Center.” Ternyata beliau ketua The Habibie Center. Ternyata dua “Dr. Ing” saya itu tetap terkait erat. Seiring bergulirnya bola waktu, sudah ada banyak “Dr. Ing” lain dalam hidup saya, bahkan ada dua yang sekantor dengan saya, tapi dua “Dr. Ing” pertama dalam hidup saya itu punya pedestal tak tertandingi dalam kesadaran saya.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *