Dewi Lestari di Jurnal: Ruang Jelajah yang Kurang Maksimal (4)

Setelah jeda sekian waktu, akhirnya saya kembali lagi di sini untuk berbicara tentang proses perjalanan menulis tentang Aroma Karsa karya Dewi Lestari. Tapi, karena ini saya harapkan menjadi proses yang tidak pendek, saya tidak akan langsng berbicara tentang Aroma Karsa. Kali ini, saya ingin berbicara tentang bagaimana para akademisi dan para pembelajar sastra membaca Dewi Lestari. Bayangkan saja ini semacam pelengkap untuk postingan sebelumnya yang membahas tentang bagaimana para peresensi dan blogger berbicara tentang Dewi Lestari. Kesimpulan sementara saya: para akademisi, tulisan-tulisan Dewi Lestari kebanyakan dibahas dalam kaitannya dengan aspek mendasarnya saja.

Sebelumnya, perlu saya pertegas di sini bahwa analisis-analisis atas karya Dewi Lestari yang saya dapatkan di sini berasal dari Portal Garuda, yang merupakan indeksasi dalam negeri oleh Ristekdikti (Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi). Tentu saja portal ini tidak mewakili semua jurnal yang ada di Indonesia. Tapi, pengelola ini adalah indeksasi yang pertama kali diikuti jika seseorang mengelola jurnal ilmiah karena memang tidak ada syarat-syarat yang terlalu ribet untuk mendaftarkan ke indeksasi ini. Kasarannya, Portal Garuda ini adalah portal untuk mengetahui nyaris semua jurnal ilmiah elektronik di seluruh Indonesia. Sementara, boleh lah kita sebut pangkalan data ini sebagai pangkalan data yang cukup representatif.

Di pangkalan data tersebut, saya mengetikkan kata kunci “Dewi Lestari” dengan harapan untuk mendapatkan tulisan-tulisan tentang karya-karya Dewi Lestari. Benar saja, pencarian memberikan saya empat halaman hasil pencarian yang total mencakup 36 tulisan (lihat di sini). Pada ke-36 tulisan itu, kita akan mendapatkan pembahasan mengenai berbagai kary Dewi Lestari mulai dari Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh hingga Supernova: Gelombang. Satu-satunya karya dari seri Supernova yang tidak saya dapatkan di sana adalah Supernova: Intelegensi Embun Pagi. Karya-karya lepas Dewi Lestari lainnya mulai dari Filosofi Kopi, Madre, dan Perahu Kertas juga ada dibahas di tulisan-tulisan tersebut. Di sini tampak bahwa karya-karya Dewi Lestari mendapat sorotan yang cukup luas di kalangan akademisi atau pembelajar sastra secara formal, bukan?

Terus, apa saja telaah yang sudah dilakukan atas karya-karya Dewi Lestari? Kita bisa temukan berbagai pendekatan sebenarnya, misalnya pendekatan struktural, analisis isi atas moral cerita, pendekatan psikologi sastra, pendekatan stilistika, strukturalisme genetik, sosiologi sastra, dan lain-lain. Namun, perlu diakui bahwa yang paling banyak di antara pendekatan-pendekatan ini adalah yang bersifat mendasar dan, kalau saya boleh bilang, otonom. Pendekatan yang saya sebut “otonom” di sini lebih membaca karya secara terpisah dari dunia di luarnya. Pendekatan-pendekatan itu antara lain seperti pendekatan atas gaya bahasa, penokohan, pemajasan, dan sejenisnya. Pendekatan-pendekatan seperti itu–tanpa bermaksud menganggapnya berkualitas rendah–relatif bisa dilakukan dengan karya apa saja. Pendekatan-pendekatan ini, kalau di konteks Amerika Serikat misalnya, mirip dengan pendekatan kritik baru: mudah direplikasi dan dilakukan atas karya apa saja. Sehingga, pendekatan-pendekatan ini bisa menjadi satu latihan yang bagus untuk kepekaan seseorang terhadap karya sastra.

Tidak ada yang salah dengan pendekatan yang bersifat mendasar dan otonom. Namun, tentu saja perlu dilakukan pendekatan yang lebih mendalam atas karya sastra lebih dari pendekatan yang bisa dilakukan kepada semua karya sastra. Karya-karya sastra perlu didekati dengan cara yang memang dibutuhkan untuk mendekati karya-karya tertentu secara khusus, bukan cara yang bisa dipakai untuk semua karya sastra saja. Sebagai misal, sebuah karya yang berpotensi ditelaah secara ideologis perlu didekati dengan pendekatan ideologis untuk semakin memfokuskan pencarian, sehingga apa yang didapatkan dari karya tersebut akan menjadi khas dari karya tersebut, bukan temuan yang bisa didapatkan di karya apa saja.

Nah, sudah seperti itulah yang menurut saya perlu lebih banyak dilakukan ke karya-karya Dewi Lestari. Sejauh ini, menurut hasil pencarian di Portal Garuda, pendekatan-pendekatan seperti itu sudah terlihat dilakukan atas karya-karya Dewi Lestari. Namun jumlahnya memang jauh lebih sedikit. Pendekatan-pendekatan itu, misalnya, adalah pendekatan feminis dari perspektif yang ditawarkan Simone de Beauvoir yang menyoroti penokohan. Hal ini tepat sasaran karena memang karya-karya Dewi Lestari punya kecenderungan menghadirkan tokoh kuat yang tidak hanya laki-laki, dan bahkan banyak karya yang tokoh terkuatnya adalah perempuan. Ada juga dipakai pendekatan strukturalisme genetik, yang menyoroti pandangan dunia pengarang. Hal ini penting disoroti karena pendekatan tersebut mengandung upaya untuk menghubungkan karya Dewi Lestari dengan dunia yang lebih luas, yang menjadikan karya-karya tersebut tidak hanya sesuatu yang terpisah, tetapi juga kelanjutan dari dunia yang luas.

Simpulan akhir, saya sementara hanya ingin bilang bahwa karya-karya Dewi Lestari mendapatkan sorotan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan sorotan yang diberikan kepada penulis-penulis muda lainnya. Banyak jurnal artikel, baik yang dibuat berdasarkan penelitian akademisi maupun hasil dari artikelisasi laporan skripsi, membahas tentang karya-karya Dewi Lestari. Portal Garuda adalah saksinya. Namun, masih ada ruang yang lebih besar untuk telaah kritis atas karya-karya Dewi Lestari yang belum dieksplorasi. Wilayah yang menghubungkan antara karya-karya Dewi Lestari dengan dunia secara luas, atau konteks sosial-historis Indonesia secara khusus, masih perlu dijelajahi lebih lanjut oleh akademisi dan pembelajar sastra formal. Mungkin sudah saatnya kita melakukan lebih, atau kata orang-orang di kanal-kanal YouTube itu, “it’s time for us to take an extra mile.”

Nah, hal itu bisa dilanjutkan terkait novel Aroma Karsa, yang sangat memanggil-manggil untuk dieksplorasi secara lebih jauh dari pendekatan yang bersifat otonom.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *