Kembali ke Krembung, ada satu kisah pasca-Ramadhan atau Lebaran yang sekarang tidak boleh dilakukan di Krembung yang sedang ada PSBB. Kisah ini terjadi ketika saya SMP ini terjadi dalam momen “unjung-unjung” atau berkunjung silaturahmi ke seluruh kampung di sekitar tempat tinggal kami. Saya tidak tahu pasti apa tema dari acara ini, tapi menurut saya ini cerita yang sangat kuat karena manis dan tidak jelas pesan moralnya, seperti sebuah karya sastra yang memberikan kesan. Seiring waktu, saya justru bisa menghubungkan pengalaman yang bertahan lama di pikiran ini dengan teori tentang hakikat prosa.
Begini ceritanya:
Ketika itu lebaran hari kedua. Setelah maghrib, saya dan teman-teman memutuskan untuk berkeliling kampung dan mengunjungi semua orang yang ada di kampung kami. Rute kami standar saja sebenarnya: dari musholla ke arah RT 14 gang-nya Abah Yanto, terus ke gang kedua di RT 14 (gang tempat tinggal saya), lanjut ke RT 12 hingga rumahnya kawan saya Aswin, terus ke pinggir sungai kecil di ujung RT12, terus kembali ke kawasan musholla tapi lewat belakang, lewat kebon di pinggir kali, ke rumahnya Mbah Niti, dan selanjutnya ke rumah Pak Carik atau Sekdes (sekarang sudah almarhum).
Di satu titik yang tak begitu jauh dari Mbak Niti, sandal sepit yang saya pakai putus. Akhirnya saya jalan terpincang-pincang dan kerepotan. Ini kejadian yang menjengkelkan tentu saja. Di malam kedua Lebaran, ketika mestinya kita bersenang-senang dengan unjung-unjung ke rumah tetangga (meskipun kami tidak mengharapkan angpau–dan memang tidak mendapat angpau–ada kenikmatan tersendiri mengabsen dan update status tetangga-tetangga kami).
Di tempat Mbah Niti, persoalan sandal itu bisa terlupakan dengan baik karena di sana ada sesuatu yang selalu menyenangkan bagi kami. Mbah Niti adalah seorang perempuan yang sangat tua. Beliau punya kebon di belakang rumahnya dan punya banyak tanaman di sana. Dahulu-dahulunya, Mbah Niti sering ke tempat kami membawa gayam rebus. Gayam adalah buah dengan karbohidrat mengenyangkan yang tumbuh di pohon yang dikenal tempat hantu. Mbah Niti laki-laki juga punya tanaman kangkung di kanal irigasi yang lewat di belakang kebonnya. Nah, hal yang unik ketika unjung-unjung ke rumah Mbak Niti ini adalah beliau selalu duduk di kursi santai di pojok ruangan dan kami anak-anak kecil dan remaja ini harus bersimpuh dan mendekat bergantian. Untuk masing-masing kami, Mbah Niti selain memberikan maaf juga mendoakan kami satu persatu dengan bahasa Jawa yang masih bisa kami pahami. Doanya agak-agak mirip antara satu anak dan lainnya. Tapi yang pasti, doanya sangat lama. Saya tidak ingat apa isi doanya tapi kira-kira mengatakan agar kami jadi anak baik, anak yang berguna, tidak lupa dengan agama, dan kelak jadi orang besar. Kata-kata beliau kadang-kadang kurang jelas karena beliau suka sambil ngunyah tembakau–tapi tidak selalu. Saya akan kirim alfatihah buat beliau dulu.
Momen di rumah Mbah Niti inilah yang paling lama. Bayangkan, kami berangkat unjung-unjung dengan belasan anak. Biasanya di rumah tetangga yang lain kami jarang sempat duduk dan mencicipi galak-gampil, pastry lebaran. Sementara itu di tempat Mbah Niti ini kami dapat doa semi-custom-made buat kami satu per satu. Jadi ya agak lama di sini. Tapi setelah itu kami melanjutkan perjalanan kembali ke musholla. Saya masih tersiksa karena harus berjalan menyeret akibat sandal jepit yang putus tadi.
Sebelum kembali ke musholla, kami ke rumah Pak Carik. Entah karena saya kurang beradab atau karena terlalu tersiksa sandal jepit tadi, akhirnya saya kelepasan: begitu mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin, saya langsung minta peniti ke Bu Carik.
“Nuwun sewu, Bu, ngapunten malih. Wonten peniti napa mboten?” (“Permisi, Bu, mohon maaf lagi. Apa ada peniti?”)
Saya pikir itu biasa-biasa saja, tapi kemudian Bu Carik dan Pak Carik tertawa. Kami semua jadi ikut tertawa. Sejujurnya saya tidak tahu pasti apa yang lucu dari menanyakan peniti. Saya pikir-pikir lagi sekarang, mungkin lucunya ada pada pertanyaan yang tidak pada konteksnya itu.
Mari kita renungkan:
Mungkin itu satu pengalaman yang membuat saya selalu menyadari arti konteks sebelum menyampaikan sesuatu. Bisa dibilang, tidak ada satu hal yang tidak pada konteksnya. Dunia ini penuh alternatif dan pilihan kejadian yang sering di antaranya terlihat acak dan kebetulan. Jadi, tidak ada yang tidak pada konteksnya. Pertanyaan saya soal peniti adalah pertanyaan yang tepat konteks dalam skala besar: sandal jepit saya putus, saya sudah merasa tersiksa kerepotan berjalan, dan ketika saya tiba di rumah seseorang dan bisa bersantai, saya mengajukan pertanyaan itu. Masalahnya adalah, komunikasi adalah sebuah medan kecil tersendiri, bukan lagi sebuah semesta yang melebur bersama skala besar realitas. Untuk itulah diperlukan membangun konteksnya.
Dalam kasus peniti ini, saya mestinya membangun konteks dulu untuk pertanyaan itu. Mungkin mestinya saya mengatakan, “Kami barusan unjung-unjung jauh dan ini tadi sandal saya putus dan saya kerepotan. Saya butuh peniti buat ngoprek sandal saya. Apa Bu Carik punya peniti?” Kalau saya begitu, mungkin Bu Carik dan Pak Carik tidak akan tertawa. Tapi, kalau saya sudah bisa secanggih itu pada waktu SMP, mungkin saya sekarang sudah jadi Najwa Shihab.
Tapi, itu semua adalah rasionalisasi yang saya buat belakangan, ketika saya bisa mengingat lagi kejadian pada malam kedua Lebaran itu. Setiap kali saya merenungkannya, selalu saja ada hal baru yang bisa disoroti. Itulah yang membantu saya merenungkan hakikat karya sastra, prosa terutama. Seperti kata para ahli komposisi atau menulis kreatif. Kita perlu membuat sebuah dunia yang utuh, yang membantu pembaca mendapatkan gambaran itu di kepalanya. John Gardner malah mengatakan kita perlu membuat dunia itu seperti mimpi yang tak terputus. Ya, itu penting. Itu bahkan terkadang lebih penting daripada pesan yang ingin kita sampaikan. Kalau kita hanya ingin menyampaikan pesan dan terlalu fokus pada pesan, pembaca justru tidak akan mendapatkan dunia yang utuh itu. Dunia yang utuh itu begitu penting, karena dari dunia yang utuh yang seolah dihidupi itulah, pikiran pembaca akan mulai proses selanjutnya, merenungkan, menimbang-nimbang, membayangkan, menarik simpulan, menghubungkan dan sebagainya. Di situlah akhirnya arti penting karya sastra hadir.