Motor, Kuliner, Tren

Ketika Ramadhan tahun 2010 itu saya pulang lagi ke Malang, saya tidak merasakan ada banyak perubahan pada kota fisik Malang. Semuanya tetap sama, ruko sudah cukup banyak sejak saya lulus kuliah. Tapi, saya sepertinya suka memandang hal-hal sebagai sesuatu yang eksotis, layak dinikmati setiap detiknya, terutama makanan. Ada beberapa jenis makanan yang naik daun dan saya memandangnya dengan senyum abadi. Sekarang, saya jadi merasa betapa menjengkelkannya saya hari-hari itu.

Tapi, sebelum jauh memasuki bagaimana saya memandang segala sesuatu sebagai eksotisme, saya perlu ceritakan satu hal dulu apa yang terjadi pada pertama sehari setelah saya tiba di Malang kembali. Hari itu, saya berani keluar naik motor setelah dua tahun absen. Saya pergi beberapa tempat untuk melakukan sesuatu. Dan, dan, dan, ketika dalam perjalanan pulang, di sekitar kampus D3 Pariwisata Unmer, adzan maghrib terdengar. Kok ya ndilalah ketika itu gerimis juga mulai turun. Saya memandang itu sebagai isyarat bahwa Indonesia telah menyambut saya kembali. Dan, sebagai orang yang berbulan madu lagi dengan negeri sendiri, memandang sesuatunya eksotis (dan sekarang kalau diingat-ingat sebenarnya menjengkelkan), saya berniat buka puasa, sambil nyetir motor, membuka mulut, sambil nyetir motor, dan menerima titik-titik air hujan yang kurang beruntung dan nyasar ke mulut saya. Saya memandang itu sebagai sambutan ibu pertiwi kepada anaknya yang pulang lagi dari perantauan–yang cuma dua tahun itu. Ya, kalau ingat saya jengkel sendiri. Tapi ya, itu harus dikatakan agar saya bisa move on.

Nah, tibalah saatnya saya ceritan satu hal yang saya dapat berbeda di Malang waktu itu. Pertama adalah motor matic. Setelah bertemu kembali dengan anak dan istri saya setelah 2 tahun terpisah, saya terheran-heran karena begitu banyaknya motor matic di Malang. Bahkan, sepeda motor yang dikendarai istri saya pun sekarang adalah matic (Honda BeAT generasi pertama warna pink. Aneh rasanya waktu itu–setelah absen dua tahun tidak naik sepeda motor, akhirnya saya langsung naik motor matic, yang sama sekali tidak membutuhkan pindah persneling. Saya sebenarnya waktu itu sudah terbiasa berkendara dengan persneling manual dan menganggap ngegas, injak kopling, pindah gigi, lepas kopling, dan mompa gas itu sebagai satu ritual yang bisa saya lakukan seotomatis bernafas. Itulah seingat saya saya mendapati perubahan di Malang dalam hal tren kendaraan bermotor.

Kedua, perubahan yang terjadi di Malang waktu itu adalah ramainya orang berjualan es pisang hijau. Awalnya saya terheran-heran karena pada sore ketika saya berbuka air hujan itu, di kanan-kiri jalan saya melihat gerobak bertuliskan “es pisang hijau makassar.” Saya bertanya-tanya bagaimana pisang hijau dijadikan es. Di rumah saya menanyakan itu ke istri. Gambaran yang saya dapatkan sama sekali tidak bisa saya masukkan ke kepala. Di pikiran saya, yang ngotot bertahan adalah es pisang hijau itu adalah pisang hijau yang dijadikan es. Sulit rasanya menalar sesuatu yang tidak siap kita terima. Baru beberapa hari kemudian, ketika rasa penasaran itu tidak bisa lagi ditahan, akhirnya saya keluar rumah waktu maghrib dan membeli es pisang hijau itu. Amboy, ternyata es pisang hijau itu adalah pisang biasa yang diberi lapisan tepung beras warna hijau pandan dan ditambah santan dan cairan dan pemanis.

Motor matic dan es pisang hijau ini merupakan dua metonimi untuk jenis-jenis perubahan yang kelak akan sering saya temukan di Malang. Yang saya maksud di sini adalah perubahan sarana transportasi dan kuliner. Ya. Saya tidak ingin cerita terlalu banyak, tapi sesungguhnya itulah yang terjadi 6 tahun kemudian ketika saya pulang ke Malang untuk kedua kalinya setelah absen cukup lama. Kali itu, matic adalah sebuah kenyataan yang tak terperi. Matic adalah norma. Pada tahun 2016 itu, hal baru yang mulai semakin umum adalah motor trail yang dipakai di jalan-jalan umum oleh mahasiswa. Sementara itu, di departemen kuliner, tahun 2016 kita meihat bangkit dan bugarnya kuliner super pedas yang bisa dibilang kehadirannya sulit dinalar itu.

Bagi orang-orang biasa yang tidak peka terhadap tren atau semangat jaman, mungkin yang dibutuhkan adalah seperti yang saya butuhkan, yaitu absen sejenak dan kembali lagi, untuk mengetahui apa yang baru. Bagi orang yang punya naluri bisnis tangguh, semestinya kemampuan mengenali tren ketika baru muncul itulah yang dibutuhkan untuk bisa mengambil keuntungan dari tren. Mungkin.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *