Melihat Hilal di Bawah Salib

Di malam idul fitri ini, saya jadi teringat satu pengalaman Ramadhan yang standar di Fayetteville, terutama di lingkungan Islamic Center of Northwest Arkansas. Pengalaman ini tidak jauh-jauh dari urusan melihat hilal dan menentukan lebaran. Tapi, lebih dari itu, di dalam pengalaman ini juga terjadi apa yang disebut ketakterpisahan alami antara berbagai agama. Sementara itu saja dulu pembukanya. Mari kita ikuti lebih lanjut.

Pertama-tama, perlu saya tegaskan di sini bahwa lingkungan masjid ICNWA memilih menentukan awal bulan secara visual. Ya, meskipun di Amerika, di negara yang punya teleskop antariksa Hubble yang tempatnya saja sudah di antariksa sana. Meskipun dulu kata Bang Zamiel almarhum bahkan para ahli ilmu falak kontemporer Indonesia saja juga sangat memperhitungkan buku-buku dari NASA. Meskipun radar, proyeksi, dan perhitungan Amerika Serikat sudah bisa menentukan secara lumayan presisi jam berapa salju akan turun dan—lebih-lebih—kapan gerhana matahari akan terjadi dan di mana posisinya. Meskipun ada itu semua, kebanyakan Muslim di Amerika, yang banyak di antaranya adalah pendatang, lebih memilih menentukan awal bulan secara visual. Ada titik-titik tertentu di Amerika Serikat yang dipakai untuk memandang cakrawala sore dan menentukan apakah besok masih harus puasa apa sudah bisa pakai baju baru.

Hal yang sama terjadi di Fayetteville, Arkansas. Di sana, kami menentukan hari raya dengan menggunakan dua metode. Yang pertama adalah menunggu informasi dari kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi Muslim di Amerika, terutama ISNA (Islamic Society of North America), untuk menentukan awal Ramadhan dan 1 Syawal. Ini selalu bisa diandalkan, tapi waktunya tentu tidak bisa langsung—mereka juga perlu sidang isbat. Cara keduanya adalah melakukan pemantauan cakrawala secara mandiri. Fayetteville adalah kota yang berbukit-bukit dan ada satu titik paling tinggi di mana kita bisa melihat cakrawala dengan cukup longgar—meskipun di arah barat juga ada barisan tipis perbukitan yang naik turun (karena memang seperti saya bilang sebelumnya, tempat kami termasuk di dalam wilayah perbukitan dan perhutanan Ozark). Nah, yang kedua inilah yang akan saya ceritakan, dan saya sudah ikut memantau hilal sejak tahun kedua saya di Fayetteville.

Tempat pemantauan cakrawala ini  bernama Mount Sequoyah. Namanya memang “mount” tapi sebenarnya ini bukan gunung, lebih merupakan bukit yang kebetulan lebih tinggi dari bukit-bukit di sekelilingnya. Di puncak bukit ini, ada sebuah kompleks bangunan yang biasa dipakai untuk acara retret dari komunitas-komunitas gereja setempat. Tempatnya sangat eksotis, banyak pohon mapel, sikamor, poplar, oak, dan sebagainya. Menuju ke sana ada wilayah pemukiman yang banyak penghuninya adalah dosen-dosen di University of Arkansas. Kawasan ini padat pepohonan. Dari arah kampus University of Arkansas, bukit ini murni terlihat seperti bukit rimbun hijau, tapi kalau kita dekati sebenarnya adalah kawasan pemukiman yang memang rapat dengan pepohonan. Tempat ini paling indah saat puncak musim gugur, sekira pertengahan Oktober hingga tengah November.  Ketika itu, pohon-pohon di kawasan ini sudah memerah menguning mencoklat, dan kita akan dibuat sesak oleh keindahannya.

Seperti saya indikasikan barusan, puncak Mount Sequoyah ini sebenarnya tempat yang “sangat Kristen.” Selain bangunan retret untuk acara-acara gereja itu, ada sebuah titik penting, sebuah “lookout.” “Lookout” itu maksudnya satu bagian di tempat tinggi, biasanya di gigir tebing atau bukit, yang memungkinkan kita melihat ke bawah atau jauh hingga ke cakrawala. Nah, di “lookout” ini, terdapat sebuah salib raksasa dari logam dan kaca. Di dalamnya ada lampunya. Lampu ini mengarah ke kota Fayetteville, atau ke University of Arkansas. Dari Jalan Dickson yang membelah University of Arkansas, kalau melihat ke Mount Sequoyah di arah timur pada malam hari, kita bisa melihat salibnya tampak kecil, seperti bandul kalung. Tentu saja, ukuran Salib itu sendiri mungkin tiga kali tinggi manusia. “Lookout” inilah tempat yang paling pas untuk melihat cakrawala.

Karena itulah, dua hari menjelang Ramadhan dan pada hari ke 29 Ramadhan, beberapa perwakilan Muslim dari ICNWA nongkrong di bawah salib ini sejak 30 menit sebelum matahari tenggelam. Saat lebaran di puncak musim panas, itu artinya pada pukul 20.00 kita sudah harus standby di bawah salib itu. Kita menunggu sambil ngobrol-ngobrol dan membawa teropong. Biasanya, setiap sore selalu saja ada satu dua mobil parkir di belakang salib itu. Isinya biasanya mahasiswa yang ingin bersantai bersama kawan atau kekasihnya, menunggu senja. Ya, yang namanya pengejar senja itu tidak hanya ada di kalangan indie Indonesia. Begitu matahari sudah tenggelam di balik bukit ozark bagian barat sana, bukit yang menggaris di belakang University of Arkansas, kami segera mengangkat teropong binokular dan mencari di sepanjang cakrawala bila tampak garis serambut menyala, yang merupakan bulan baru. Bulan baru sangatlah tipis, seperti potongan kuku yang tipis tapi menyala.

Beberapa kali saya ikut memantau cakrawala di sana, tapi belum pernah sekali pun saya berhasil melihat bulan yang menandakan datangnya Ramadhan atau 1 Syawal itu. Biasanya kemudian kami menunggu informasi dari ISNA. Tapi, satu hal yang saya hargai dari komunitas Muslim di Fayetteville, mereka merasakan bahwa menjalankan kehidupan beragama adalah sesuatu yang menjadi tanggung jawab masing-masing orang, tidak bisa begitu saja ikut instruksi seseorang. Dalam Islam (sunni, terutama) memang tidak ada otoritas pusat yang menjadi penentu kebijakan bersama–berbeda misalnya dengan Muslim Syiah yang punya dewan Ayatollah atau warga Katolik yang punya Sri Paus. Dalam Islam Sunni, yang ada adalah para ulama yang membuat opini-opini dan anjuran (disebutnya fatwa) berdasarkan sumber-sumber historis dan penalaran dengan metode ketat. DIY adalah sesuatu yang penting. Masing-masing manusia bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Komunitas kecil di tengah masyarakat Amrik bagian Selatan yang Kristiani ini tetap memilih menjalankan kewajiban pribadinya—semampu mereka.

Melihat hilal di bawah salib raksasa Mount Sequoyah ini adalah sesuatu yang mustahil bisa dilupakan Muslim di di Fayetteville. Pengalaman ini kaya simbolism . Menjadi minoritas adalah sesuatu yang akan selalu terasa. Mustahil kita bisa menjadi minoritas dan melupakan status kita sebagai minoritas. Bahkan ketika harus melihat bulan saja, di tengah alam saja, Muslim di Fayetteville sudah harus berhadapan dengan simbol Kristiani. Tapi, yang tak bisa dilupakan adalah bagaimana banyak warga setempat yang membuat para Muslim ini tetap merasa nyaman dan diterima dan dipahami dalam kondisi itu.

Saya pribadi ingat betul ketika—setelah terjadi penembakan di Amerika Serikat yang kebetulan pelakunya adalah seorang Muslim—seorang kawan walimurid di sekolah anak saya menghubungi saya dan menegaskan kalau ada apa-apa dia dan kawan-kawan siap diberi laporan dan membantu semampunya. Dia mengkhawatirkan “backlash” dari orang-orang yang berpikiran sempit yang memandang semua Muslim sama saja.

Setelah menjalani hidup sebagai minoritas tapi diterima sedemikian rupa, mustahil bagi saya pulang ke Indonesia dan memiliki pandangan yang tetap sama dalam melihat diri, keluarga, lingkungan, dan teman-teman saya. Akan sangat sia-sia perjalanan hidup saya kalau akhirnya saya tidak menyadari bahwa di Indonesia, kita yang Muslim ini punya banyak sekali privilese. Momen-momen melihat cakrawala di bawah salib dan mahasiswa yang pacaran itu adalah sebuah simbol bahwa hidup berdampingan secara inklusif—di mana kita percaya bahwa masing-masing kita memiliki kebenaran sendiri-sendiri dan berbagai kebenaran itu tidak perlu dibenturkan—adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Dan itu indah-indah saja. Justru seperti itulah mestinya.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *