Bertahan, Berkawan, dan Bertekanan: Epilog 31+ Hari Menulis Nostalgia Ramadhan

Tibalah kita di postingan hari terakhir 31+ Hari Menulis Nostalgia Ramadhan yang dimulai akhir bulan April kemarin hingga hari ini. Ini prestasi yang luar biasa bagi saya yang selama ini blogging lebih sebagai pengisi jeda antara pekerjaan satu dan lainnya. Menulis kontinyu 31+ hari patut dirayakan. Kalau saja tidak masa karantina, mungkin kawan-kawan saya sudah saya ajak beli ayam geprek. Jadi, kalau tidak ada traktiran hari ini, itu hanya karena rasa sayang saya kepada teman-teman. Balik lagi soal 31+ hari menulis, ada beberapa hal mendasar yang menggetarkan saya sendiri.

Yang pertama, yang merupakan pesan kepada diri saya sendiri selaku blogger, saya jadi semakin yakin bahwa setiap pengalaman adalah pengalaman yang berharga. Ada hari-hari yang terasa membahagiakan tapi ada hari-hari yang begitu menekan, entah itu terkait Ramadhan maupun bukan. Setelah beberapa kali menuliskan tentang pengalaman Ramadhan yang begitu menekan, berat, seperti badai, saya merasakan bahwa sebenarnya menarik juga melihatnya dari perspekstif agak jauh dan mencoba mencari-cari hikmahnya. Dalam skala yang lebih besar, ternyata pengalaman yang menjengkelkan itu punya maknanya sendiri. Ada pentingnya juga. Tapi, kawan, yang perlu diingat adalah kita harus survive dulu, kita perlu melewatinya dulu. Nah, itu yang paling berat kalau kita dalam keadaan tertimpa masalah tersebut. Harapan saya sih, setelah menyadari ini, kelak saya bisa tetap sadar bahwa bertahan dalam sebuah masalah adalah yang sekurang-kurangnya bisa kita lakukan kalau kita benar-benar sedang tidak bisa menyelesaikannya. Kalau bisa bertahan dan tidak menyerah, kelak mungkin setelah agak jauh kita bisa memaknainya–meskipun toh masalah itu akhirnya berakhir buruk bagi kita. Setelah selesai satu masalah, kita perlu move on, tak peduli apakah kita gagal atau berhasli. Eh, kok jadi motivasi begini ya? Gawat ini kalau para sidang jamaah blogging sudah males dan kabur. Mari kita move on ke poin kedua.

Hal lain yang perlu saya sebut di sini adalah bahwa saya punya teman-teman yang menyenangkan. Teman-teman yang sekilas biasa-biasa itu ternyata punya kualitas ketengilan, keluguan, kekonyolan, dan kebijaksanaan yang beragam. Baik di Krembung, di Malang, di Kediri, di Arkansas, maupun di Jakarta (yang terakhir kemarin), saya ternyata dikelilingi orang-orang membahagiakan ini. Saya tidak akan berpanjang-panjang di sini daripada akhirnya jatuh haru, tersungkur dalam tangis, dan akhirnya berkubang melankolia. Biarkanlah seri tulisan ini jadi salam buat kawan-kawan terbaik itu (eh, salah satunya sudah tinggal serumah dengan saya, btw saja lho ya).

Yang terakhir adalah, kadang yang kita butuhkan itu adalah sebuah paksaan dan keikhlasan untuk menerima paksaan itu. Yang ini berhubungan langsung dengan program 31 Hari Menulis yang digagas oleh Alumni Komunikasi UGM itu. Saya berterima kasih kepada @masjaki yang melalui twitnya saya jadi tahu adanya program ini. Program ini begitu menggoda dengan motonya “membuktikan bahwa menulis bisa membuat kita kaya.” Tapi kita tahu kalau ada orang berbicara begitu, biasanya itu becanda saja, kan? Yang saya buktikan adalah, begitu saya memasuki program ini, saya merasa memasuki a point of no return. Pret! Begitu mulai menulis, saya merasa harus menyelesaikannya. Dan, untuk menambah tekanannya, saya umumkan ini ke semua teman saya di berbagai lini sosial media. Tujuannya: agar saya malu kalau sampai harus berhenti di tengah jalan. Maka, kawan, dengan berbagai booby trap yang saya pasang sendiri itu, akhirnya saya pun memacu diri dalam sebuah marathon yang santai tapi tidak berhenti. No matter how slow, keep moving and don’t stop. Kombinasi antara program 31 Hari Menulis, hasrat untuk menulis Nostalgia Ramadhan, dan tekanan rasa malu kalau sampai mutung itu–semuanya akhirnya membuat saya terus menulis hingga akhirnya saya bisa menuliskan postingan penutup ini.

Sekadar info, strategi meluangkan waktu saya juga berubah selama 31+ hari ini. Di bagian awal, saya suka menulis waktu subuh. Seperti program-program seri menulis sebelumnya (yang maksimal hanya 7 hari itu), saya meluangkan waktu 15-20 menit untuk membuat satu postingan. Setelah satu minggu lebih, saya membutuhkan waktu yang lebih santai lagi. Akhirnya saya mulai menulis pada malam hari, sekitar jam 9 atau 10. Dari yang awalnya 15-20 menit, akhirnya saya butuh antara 30 menit hingga maksimal 1 jam untuk menulis. Kalau kawan-kawan punya pekerjaan yang rutin dan ngantor yang tidak melulu berisi menulis (dalam kasus saya: jadi dosen), blogging adalah kegiatan rekreasional yang menyenangkan. Ada semacam pindah persneling dan bisa jadi semacam unwinding lah. Tulisan-tulisan nostalgia ini bagi saya adalah unwinding yang saya perlukan: pertama karena saya jadi tidak harus berurusan dengan apa yang urgen saat ini (necessity), dan kedua karena saya berkesempatan untuk melenturkan otot-otot organisasi gagasan buat saya (tulisan-tulisan saya ini sangat terstruktur, masif, dan sistematis lho gaes meskipun bahasanya sekarepe dewe begini). Dan itu yang membuat saya jadi lebih senang dan tenang, tanpa terlalu nyusu-nyusu seperti kecenderungan berbicara saya.

Akhirul posting dan akhirul serial, perkenankan saya mempersembahkan ini semua kepada pembaca. Saya juga tidak lupa ingin mohon maaf apabila ada hal-hal yang sekiranya menyinggung, menyundul, maupun menjegal. Sama sekali tidak ada maksud begitu. Nyaris semua orang yang saya tulis di sini saya beri tahu tentang postingan-postingan ini. Terima kasih sudah menjadi tokoh-tokoh dalam cerita-cerita Ramadhan di hidup saya, kawan-kawan. Masih banyak lagi cerita Ramadhan yang belum tertulis (tentang strategi berangkat kuliah bersepeda naik bukit saat Ramadhan atau teknik menunggu istri dan beristirahat di lingkungan perumahan elit saat Ramadhan, dan lain-lain). Biarkanlah cerita-cerita itu menemukan momennya sendiri-sendiri untuk diceritakan. Sementara kita nikmati saja dulu ini.

Seperti hikmat kebijaksanaan di paragraf pertama tadi: saat menghadapi masalah besar, kalau tidak bisa menyelesaikannya, paling tidak kita hanya perlu bertahan. Nanti kita akan cerita tentang hari ini, katanya. Ini akan jadi kisah klasik buat masa depan, katanya. Di tengah menyebarnya coronavirus dan banyaknya kawan dan saudara yang tertular COVID 19 ini, mari setidaknya kita tetap bertahan seperti cara-cara yang telah dianjurkan. Kalau tidak bisa ikut mencari antivirus atau vaksin, setidaknya mari kita bertahan. Kata saya, nanti kita akan blogging tentang kisah klasik pandemi ini di masa depan.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *