Setahu saya, ada beberapa hal yang lazimnya membuat orang minum pada saat semestinya berpuasa. Yang paling lazim adalah makan atau minum tanpa sengaja. Saya pikir banyak dari kita yang mengalami ini. Yang juga lazim adalah ketika ada hal-hal tertentu yang membuat orang tersebut harus membatalkan puasa. Atau, seperti kawan saya di UKM dulu, karena godaan kawan. Tapi, saya pernah mengalami sesuatu yang menurut saya sangat amat begitu jarang sekali: karena belas kasihan.
Kejadian ini terjadi di Jakarta. Dari sini saja kawan-kawan pasti bisa menebak betapa tidak umumnya pengalaman ini. Sejauh ini, saya hanya punya pengalaman puasa di Krembung, Malang, Kediri, dan Arkansas, kan? Begitulah. Pengalaman puasa di Jakarta ini sebenarnya jembatan antara puasa di Indonesia dan puasa di Amerika. Kisah ini terjadi ketika saya harus mengikuti ujian TOEFL dan GRE di Jakarta untuk keperluan pendaftaran ke universitas di Amerika Serikat. Saya di Jakarta hanya tiga hari dan saya tidak merasa perlu membatalkan puasa. Untuk tepatnya, kejadian ini berlangsung pada bulan Ramadhan tahun 2007, ketika saya masih bekerja di Universitas Brawijaya–jadi saya ke Jakarta pun sebenarnya dalam keadaan izin dari tempat kerja.
Ceritanya, hari itu saya harus mengikuti tes yang menyedot tenaga. Tes yang saya ambil waktu itu adalah tes GRE, dan sayangnya saya berangkat tanpa persiapan yang mencukupi. Ketika mendapat surat bahwa saya harus mengambil tes GRE, saya hanya menyangka bahwa tes itu adalah semacam tes TOEFL atau kemampuan yang ada hubungannya dengan bahasa Inggris, entah menulis atau vocabulary. Salah saya adalah saya tidak menyiapkan diri untuk itu. Saya hanya menyiapkan diri untuk tes TOEFL iBT. Persiapannya pun pakai buku Barrons lama yang di bagian akhir menyebutkan bahwa akan ada yang namanya TOEFL iBT. Tapi, untuk TOEFL, saya cukup optimis karena saya pernah ngajar TOEFL dan merasa cukup akrab dengan jenis-jenis soalnya. Tapi, untuk urusan GRE, saya tidak cukup mempersiapkan diri dan akhirnya langsung syok waktu melihat bahwa soalnya juga mengandung matematika. Memang ada vocabulary, tapi vocabulary-nya sendiri bahkan buat orang Amerika sendiri pun hora umum! Untuk bagian menulisnya saya lumayan sempat menyiapkan diri. Tapi ya tetap saja, saya sangat terguncang. Hasil matematika (istilahnya “quantitative”) jeblok, dan hasil bahasa vocabulary (istilahnya “verbal”) sama sekali tidak bisa dibanggakan sebagai lulusan Sastra Inggris yang pernah ngajar bahasa Inggris 3 tahun.
Saya keluar Menara Imperium dengan terhuyung-huyung. Kepala pening di sebelah kanan seperti Bodhi ketemu Elektra di Supernova 4: Partikel. Dan saya waktu itu masih berpuasa.
Karena tes GRE itu pada hari kedua dan tanggungan saya sudah habis, maka saya pun sebisa mungkin menikmati sisa tinggal saya di Jakarta. Memang saya sudah berencana mengunjungi kenalan di Jakarta. Para kenalan itu pada umumnya adalah orang-orang perbukuan. Kalau nggak ke UFUK ya ke Banana. Atau, yang paling dekat dan santai adalah ke Cak Udin. Dia di penerbit tapi orangnya sangat santai. Akhirnya saya memilih ke Cak Udin di kawasan Ragunan. Waktu itu, kalau mendengar kata “Ragunan” yang ada di pikiran saya adalah kebun binatang. Tapi, setelah naik bajaj dan busway (yang kayaknya waktu itu tidak dikenal sebagai Transjakarta–atau saya saja yang lebih mengenalnya sebagai busway?), akhirnya tibalah saya di Ragunan. Ternyata Ragunan itu kawasan pemukiman yang cukup asyik. Kantor penerbitan Cak Udin pun seperti rumah biasa bergaya jengki dengan banyak buku begitu. Saya masuk pekaran rumah Cak Udin dalam keadaan kepala masih berdenyut-denyut (dan keringat membanjiri wajah).
Begitu tiba di sana, Cak Udin menyambut saya seperti teman lama. Itu adalah pertemuan pertama kami. Dia langsung mengajak saya masuk dan mempersilakan saya duduk di kursi ruang tamu bergaya jengki. Dia langsung menawari saya kopi atau teh. Karena kondisi panas dan capek berjalan, tentu saya meminta air putih saja–plus tidak akan terlalu merepotkan sang tuan rumah. Air putih pun terhidang di depan saya dan saya langsung menyambarnya dan meminum. Baru setelah setengah mug habis, saya sadar bahwa saya hari itu berpuasa.
“Lho, Cak, aku iki sakjane poso.” (Cak, aku ini sebenarnya puasa.)
“Aku jane yo ngiro ngono.” (Sebenarnya aku sudah mengira begitu.)
“Lha terus?” (Lalu.)
“Sakno sampean kemringet ngono.” (Aku kasihan melihat sampean keringetan.)
Saya pun hanya bisa alhamdulillah dan menaruh muk yang airnya tinggal setengah itu. Saya sempat terlintas untung juga sudah terminum tapi langsung buru-buru meluruskan niat puasa. Tapi tentu saja saya ngakak bersama Cak Udin. Saya jadi berpikir, kalau suatu saat saya berada di posisi Cak Udin ini, apa yang akan saya lakukan ya? Butuh orang dengan level kesadaran dan kepekaan yang sulit dinalar untuk bisa membuat keputusan semacam ini. Memang yang seperti ini tidak umum, tapi pada kenyataannya pernah terjadi.
Bagaimana dengan sidang pembaca blog sekalian, apakah kawan-kawan pernah mengalami yang seperti ini? Waktu masih SMP, saya pernah lupa makan pisang waktu puasa. Pisangnya pisang ulin yang ukurannya tidak terlalu besar. Tapi saya habis 5 atau 6 biji. Ketika saya beritahukan kawan-kawan, mereka menyebut itu kiriman Tuhan. Bagaimana dengan kisah bersama Cak Udin ini? Apakah yang seperti ini kiriman Tuhan? Kayaknya jawabannya bisa terbelah. Kalau Anda pengikut filsafat Jabbariyah, maka itu memang kiriman Tuhan. Tapi kalau Anda pengikut Qadariyah, maka itu adalah hasil akal budi Cak Udin. Biarlah para mistikus yang menyelesaikannya. Untuk saya, mungkin ini hanya sebentuk manifestasi dari welas asih seorang kawan. Atau, biarkan ini jadi kenangan satu-satunya kali saya berpuasa di Jakarta.