Mudik Itu Culture, Bukan Nature: Merasionalisasi 1441 H

Mudik adalah topik yang bagus untuk hari ini. Alasannya satu dan sederhana saja: karena hari ini saya tidak mudik dan ada satu kenangan tentang mudik yang hingga saat ini belum bisa saya hapuskan dari ingatan. Mudik yang saya ingat ini berasal dari masa-masa ketika saya kuliah. Itu salah satu masa saya menyadari arti mudik. Dan kesadaran tentang arti mudik ini juga yang akhirnya bisa menerima idul fitri bawah naungan COVID 19 ini.

Hingga umur delapan belas tahun, saya tinggal di rumah orang tua. Dan orang tua saya juga tinggal di kabupaten yang sama dengan orang tuanya. Bahkan, bapak ibu saya membeli tanah dari nenek saya, yang posisinya tepat di depan rumah nenek. Jadinya ya, praktis saya tidak pernah mengalami yang namanya mudik. Setiap hari adalah mudik, dan setiap mudik adalah hari-hari yang biasa. Katakanlah setiap kali mudik saya selalu pergi ke musholla, bermain dengan teman-teman, dan bahkan belajar sekolah. Omongan ini harus saya hentikan karena memang tidak masuk akal. Intinya, saya tidak pernah mengalami yang namanya mudik. Setiap lebaran saya ke rumah nenek di depan rumah. Atau, setelah bersilaturahmi dengan tetangga sebelah, kami sekeluarga ke rumah nenek dari jalur bapak untuk bertemu nenek atau ke makamnya. Total waktu yang kami butuhkan untuk berangkat hingga balik lagi dan sampai di rumah tidak lebih dari 4 jam. Baru waktu kuliah itulah saya mengalami yang namanya tinggal jauh dari kampung halaman. Di semester pertama saya kuliah di Malang, saya pulang seminggu sekali setiap Jumat sore dan baru balik ke Malang pada Senin pagi. Jadi, pada lebaran yang terjadi di ujung semester pertama, saya tidak benar-benar mengalami mudik. Baru pada lebaran kedua, ketiga, dan seterusnya, saya mengalami yang namanya mudik. Bahkan, pernah suatu kali saya harus pulang untuk berlebaran dua malam sebelum lebaran, ketika terminal Arjosari sudah beraroma idul fitri dan bus yagn saya naiki (waktu itu selalu bus non biasa alias non-patas) sudah seperti di acara-acara arus mudik di tivi-tivi. Di situlah saya bisa mengalami apa yang namanya mudik, yang dirasakan orang-orang di tivi, yang dirasakan sepupu-sepupu saya yang mudik ke Krembung dari Magelang atau Pemalang. Di satu adegan mudik yang saya alami, saya merasa seperti Deddy Mizwar. Ketika dua dua hari sebelum lebaran. Saya pulang dari Malang terlalu sore. Sepertinya hari itu saya tidak menelpon bapak saya untuk dijemput di Porong atau Apollo atau Gempol. Saya naik bus saja. Parahnya, saya ketiduran ketika sudah di daerah Pandaan. Ketika terbangun dan resah, saya lihat bahwa kami baru saja melewati “embong bunder” istilah bundaran di Bangil yang kalau ke tidur membawa kita ke Bali, kalau ke utara masuk Gerbang Tolong Bangil-Surabaya, dan kalau ke barat membawa kita ke Porong. Saya langsung resah dan berdiri dan berteriak-teriak ke kenek. “Pak, pak, kiri!” Ternyata tidak ada orang lain yang turun di bundaran tol Bangil itu sehingga bus siap ngeloyor masuk gerbang tol. Saya akhirnya diturunkan di mulut tol. Ketika itu langit mulai gelap setelah matahari tenggelam. Langit barat masih merah tembaga tapi di timur biru sudah kelunturan tinta malam. Begitu diturunkan, saya langsung berjalan ke arah selatan menuju ke bundaran. Kira-kira saya harus berjalan hanya 100-200-an meter. Melihat langit, mobil-mobil besar yang menyayat senjata, mendengar bising deru truk yang menghajar desir angin, dan mencium karbon monoksida yang bercampur debu, merasakan gembira menjelang lebaran–saya tiba-tiba ingat Deddy Mizwar di serial ramadhan Sohibul Hikayat atau Hikayat Pengembara. Di saat itulah saya membayanggkan diri saya jauh dari mana-mana dan tidak jelas ke mana kaki melangkah. Di detik itulah, momen yang semestinya biasa itu (dan bahkan kurang mengenakkan karena saya belum berbuka puasa) terasa seperti momen yang syahdu dan indah. Perasaan ini bertahan hingga akhirnya saya sampai di bundaran dan mendapat Isuzu atau Elf yang lima belas menit lagi sudah akan mendamparkan saya di Porong.

Kalau kawan-kawan ada yang bertanya-tanya kenapa ada gerbang di sebelah utara bundaran Bangil, perkenankan saya mengingatkan. Alkisah, ada sebuah masa ketika di dunia ini tidak ada yang namanya Lumpur Lapindo. Sekarang, gerbang tol di sebelah utara bundaran Bangil itu sudah tutup. Jalannya sudah habis disruput lumpur lapindo seperti sehelai spaghetti yang terendam saus bolognese dan kemudian disruput lelaki Italia.

Begitulah, setelah sekitar dua puluh tahun menjalani hidup, saya akhirnya merasakan apa yang disebut orang-orang sebagai mudik itu. Di tahun-tahun selanjutnya, saya akan merasakan mudik-mudik yang indah dan menyentuh. Tapi, sebagaimana bisa kawan-kawan baca di cerita-cerita yang berlatar Arkansas, akhirnya saya merasakan apa yang disebut tidak mudik itu. Saya juga merasakan apa yang disebut lebaran tanpa adanya harapan bisa berkumpul dengan keluarga besar. Bahkan, kalau bukan karena kebaikan hati kawan dan bos di tempat kerja, saya bisa merasakan sholat ied yang dilanjutkan dengan bekerja–untungnya kawan dan bos saya cukup baik dan memberi saya keluangan sebanyak-banyaknya untuk merayakan idul fitri. Dan sekarang, ketika hidup dalam pelukan COVID 19 ini, saya jadi merasakan lagi apa yang disebut lebaran tanpa mudik, padahal jarak saya dan orang tua saya tak lebih dari 1,5 jam perjalanan. Pada akhirnya, saya harus menyadari bahwa mudik bukanlah hukum alam. Mudik adalah budaya. Saya sendiri baru mengenalnya ketika berusia 20-an tahun.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *