Berbuka Sorga, Berbuka Tanpa Ujung

Kalau di beberapa postingan yang lalu saya mengesankan seolah-olah puasa sambil kerja di tengah musim panas adalah badai, itu tidak terlalu salah. Tapi itu juga bukan berarti neraka. Banyak kok sorganya, dan bahkan kalau saya ceritakan, bisa-bisa saya kedengaran seperti ustadz ngasih tausiah tentang nikmatnya bersyukur. Tapi ya bisa jadi memang begitu. Ada momen-momen puasa sambil kerja di tengah musim panas yang membuatnya layak disyukuri atau bahkan disujudsyukuri. Dan karena ini soal puasa, ya tentu saja sorga atau kenikmatannya ada di momen berbuka puasanya.

Saya yakin kawan-kawan setuju bahwa nikmat puasa ada di buka puasanya kan? Setuju kan? Kalau nggak, silakan deh tanya pak ustadz. Kalau kawan-kawan setuju, mari kita lanjut baca. Kalau tidak setuju, silakan baca dulu. Siapa tahu nanti setuju?

Salah satu kenikmatan buka puasa yang paling saya ingat adalah ketika saya bekerja pada hari kemerdekaan AS. Pada tanggal 4 Juli, biasanya kami membawa mahasiswa yang ikut program-program Spring International Language Center untuk menonton kembang api. Kami menontonnya dari kampus Spring International, di halaman rumput parkiran belakang yang begitu curam. Kembang apinya sendiri diluncurkan dari Northwest Arkansas Mall, yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari Spring International. Kembang api itu biasanya ditembakkan selama 15 menit (atau lebih). Nonstop. Dari Spring International, kami menontonnya sambil makan semangka dan minum soda kalengan dan jus macam-macam.

Yang agak jadi masalah adalah pesta kembang api itu hanya bisa dilakukan waktu langit sudah gelap. Sementara itu, pada musim panas langit gelap itu baru dimulai sekitar pukul 8.30-an malam. Sebagai spesialis transportasi atau sopir van, tugas saya adalah mengangkut mahasiswa dari kampus utama University of Arkansas (tempat banyak mahasiswa Spring International tinggal, di asrama kampus) dan dari apartemen milik Spring International. Saya sudah mulai berdinas pada pukul 7 (masih panas dan gerah), menjemput dan mengantarkan peserta ke lokasi. Biasanya, baru pada pukul 8.15 saya bisa duduk santai di lokasi. Masalahnya, duduk di lokasi pada pukul 8.15 itu artinya waktu berbuka belum tiba, sementara semua yang ikut acara sudah bisa makan semangka dan minum soda dingin dari boks berisi es batu. Ya Allah!

Tapi, begitu HP menunjukkan waktu adzan, gerbang sorga terbuka. Saya sergap satu potong semangka dan pamit ke Jimmy, supervisor saya, yang lagi duduk di bak truknya memegang botol soda di satu tangan dan memeluk anjing di tangan lainnya.

“Man, I need to break my fast,” sambil bersiap lari membawa semangka.

“Go ahead,” kata dia sambil mengelus-elus golden retrievernya yang hari itu dia bawa ke Spring International. “Make sure to be here at 9 to see the fireworks.”

Tujuan saya waktu itu jelas: lari menyeberang jalan besar College Avenue dan tambah lari lagi sedikit ke Millsap Road. Di situ ada restoran yang dari dulu selalu saya ingin coba tapi tidak ada alasan. Begitu sampai di sana, saya yang benar-benar tidak tahu apa menu mereka selain chili langsung bertanya apa ada semacam burger yang vegetarian. Ternyata mereka waktu itu kehabisan. Akhirnya saya hanya mendapat kentang goreng. Okelah. Saya bawa kentang goreng itu pergi ditambah satu gelas plastik soda. Di Spring International, saya masuk ke dalam gedung dengan menggunakan kartu saya yang sudah diaktifkan untuk masuk gedung dari pintu depan maupun belakang. Di dalam saya segera mencari tempat yang pas untuk menghabiskan buka saya itu sambil sholat maghrib beralas koran.

Itu sorga, kawan.

Sorga lainnya lagi terjadi ketika saya bertugas mengantarkan para Fulbrighter dan guru-guru Meksiko untuk menonton bisbol. Acaranya biasanya mulai jam 6 dan berakhir sekitar jam 9. Bisbol, sebagaimana mungkin kawan-kawan ketahui, adalah “American pastime,” hobi favoritnya orang Amerika. Kalau nonton bisbol, biasanya semua anggota keluarga ikut serta. Bahkan teman pun diajak janjian. Di sana, suasana para penonton lebih menggairahkan–buat saya–daripada suasana di lapangan hijau. Permainan bisbol itu tenyata–buat saya–membosankan. Nuwun sewu lho ya. Begini prosesinya: Pembawa acara ngomong panjang lebar tentang seorang pemain dan timnya. Pemain yang baru saja dirasani itu maju sambil diiringi musik kegemarannya diputar keras di TOA–pernah suatu kali “Song 2” dari blur. Pemain bersiap-siap memukul dan pitcher ancang-ancang melempar. Bola melesat cepat dan terpukul. Penonton bersorak. Bola tertangkap, penonton “aaaaah.” Pembawa acara berkomentar panjang lagi. Ada iklan “Flying Burrito” ada iklan di jumbotron. Anak-anak kecil berlarian. Suami izin ke istrinya beli bir. Maskot tim berlari-lari di lapangan dan mengajak penonton bermain. Kamera menyorot penonton yang memakai kostum tim. Lima menit kemudian, pembawa acara berkomentar tentang seorang pemain. Pemain yang barusan dibicarakan berjalan menenteng pentungan di lapangan diiringi musik kegemaran. Dan berulang lagi.

Kurang membahagiakan. Buat saya yang tumbuh besar menonton Sea Games dan PON, sepakbola dan Badminton, tentu bisbol ini seperti Permainan badminton yang diolor sampai 3 jam. Dan tentunya itu lebih parah kalau udaranya panas dan haus dan orang-orang yang Anda ajak bisa minum Pepsi atau Fanta atau Sprite atau Mountain Dew–sementara Anda menahan haus dan dahaga karena berpuasa. Itu siksaan kawan. Untungnya para Fulbrighter dan guru-guru Meksiko yang saya bawa itu banyak tanya-tanya tentang berbagai hal lain yang bisa saya jawab. Jadinya ya siksaannya tidak terlalu berat.

Tapi waktu lampu lapangan sudah mulai dinyalakan dan langit mulai meredup, saya semakin berbahagia. Tentu karena nikmat berbuka akan datang. Saya langsung pamit ke para Fulbrighter dan guru-guru Meksiko yang setelah beberapa waktu saya bawa ke mana-mana itu akhirnya sudah jadi kawan (padahal menurut aturan pekerjaan mestinya mereka klien). Saya keluar lewat gerbang resmi dan berjalan ke parkiran, di mana saya memarkir GMC Savana warna mutih yang mudah dilihat dari jauh itu. Saya langsung masuk pintu tengah. Saya keluarkan wadah plastik ziploc dari dalam tas. Di situ ada mangga yang saya bawa dari rumah. Kalau beli di Walmart, mangga yang dijual memiliki sticker “Guatemala” yang artinya bisa diimpor dari Guatemala atau jenis Guatemala yang ditanam di California. Yang jelas, mangganya relatif biasa–dan sama sekali tidak sebanding dengan mangga Arumanis. Tekstur mangganya agak firm, lebih kenyal, dan kekuatannya tidak ganas. Tapi, setelah dua jam menonton permainan yang belum bisa saya nikmati hingga tahun ke-6 atau ke-7 hidup saya di Arkansas itu, mangga yang saya potong dadu itu adalah remah-remah sorga yang paling dekat yang bisa saya jangkau. Setelah itu saya sholat di dalam van dengan posisi seyakin saya karena memang di parkiran itu sulit menentukan timur barat–kan katanya Timur atau Barat itu milik Tuhan, dan ke mana pun kita menoleh kita menghadap Tuhan.

Itu sorga lain dari bekerja di bulan puasa pada tengah musim panas. Tentu ada lainnya, misalnya ketiga saya mengembalikan mobil ke Spring International setelah membawa mahasiswa pesta sandwich dan di Spring International saya disambut kawan saya Matt yang membawa satu loyang plastik sandwich Subway isi ayam, kalkun, dan veggie–dan saya disuruh membawa sebanyak yang saya perlu. Tapi itu untuk kesempatan lain saja.

Yang pasti, sorga itu bisa kita temukan di mana-mana sebenarnya, asal kita mau menyadarinya. Dan ketika sorga itu terjadi, mungkin kita perlu memaksimalkan dan mengecap setiap detiknya. Kalau kecapan-kecapan itu berhasil, mungkin hasilnya adalah sorga itu akan terus bertahan di kepala kita. Kalau itu sudah terjadi, manakala kita perlu, kita bisa hadirkan lagi sorga itu dan mencicipinya lagi. Sungguh kawan, sorga itu bukan seperti kentang goreng atau semangka atau mangga atau burger fisik yang akan habis jika dimakan. Sorga itu akan berlipat ganda saat dimakan. Dan kalau Anda pernah berbuka sorga, niscaya Anda akan menikmati berbuka tanpa ujung, bahkan ketika berbuka bersama pada puasa kemarin sebenarnya melanggar anjuran WHO.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *