Resensi Train to Busan (2016)

Train to Busan (2016) mengisahkan tentang seorang bapak yang menemani anaknya merayakan ulang tahun di kota ibunya bertepatan dengan sebuah malapetaka besar di daerahnya. Malapetaka itu sendiri adalah wabah zombie, yang diawali dengan ledakan di pabrik kimia yang menyebabkan orang menjadi zombie dan kemudian menggigit orang lain, yang kemudian menjadi zombie, dan akhirnya ke-zombie-an itu pun menyebar hingga tidak ada lagi kota yang selamat, selain Busan, kota yang menjadi tujuan bapak dan anak tadi.

Ceritanya cukup menegangkan karena diawali dengan sebuah adegan yang cukup mengejutkan, yaitu ketika sebuah truk pickup menabrak kijang hingga kijang itu mati, tapi kemudian kijang itu hidup kembali. Kita mendapat foreshadowing bahwa makhluk mati bisa hidup kembali akan menyertai kita di sepanjang film ini. Selanjutnya, ketegangan terjadi ketika sedikit demi sedikit kita tahu dampak dari orang yang mati terjadi bisa hidup kembali dan menyerang hingga menyebabkan semua berubah jadi seperti mereka. Dan, sedikit demi sedikit kita juga mulai mengenali aspek-aspek dari kezombiean ini. Penemuan demi penemuan sepanjang film ini menegangkan dan layak dialami sendiri satu per satu. Karena itulah saya tidak akan ungkap bagian itu di sini.

Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah dalam film ini kita dihadapkan dengan perubahan psikologis juga. Selain ketakutan yang menghantui sepanjang film, ada juga sifat-sifat gelap manusia yang diungkap. Yang utama adalah sikap egois dan oportunis. Kita melihat bagaimana sikap peduli berperang dengan sikap egois dan oportunis. Ini yang menjadi penyeimbang film zombie yang bisa dibilang lebih banyak berurusan dengan wadag yang hanya punya energi tanpa punya jiwa itu.

Tapi, kalau melihat film ini sebagai film zombie, ada yang mengganggu bagi saya. Kisah zombie, yang mestinya fiksi ilmiah, idealnya memiliki satu hukum ilmiah yang diikuti (meskipun fiksional). Hal ini biasanya disebut “novum,” satu hal baru (hukum baru, benda baru, atau cara kerja baru). Nah, film Train to Busan ini kurang menunjukkan itu dan cenderung terjebak ke wilayah lazimnya kisah zombie yang lebih mirip cerita fantasi yang tidak terlalu butuh penjelasan. Kita harus terima saja bahwa ada yang menyebabkan orang menjadi zombie. Tidak ada upaya (dalam film ini) untuk memahami cara kerja wabah zombie ini.

Sebagai film dia tidak lengkap. Tapi, sebagai representasi kecil sebuah wabah, mungkin seperti itu yang terjadi: pemahaman kita tentang cara kerja sebuah wabah terjadi sedikit demi sedikit dan dalam tempo yang lama. Pada dua hari pertama, sebuah wabah mungkin hanya tampak dampaknya saja. Dan di Train to Busan, orang-orang hanya melihat dampaknya begitu dekat dengan mereka. Sementara kita, yang menghadapi COVID 19 yang katanya memiliki penyebaran super cepat karena didukung mobilitas global kita saat ini–sangat sedikit dari kita yang bisa melihat dampaknya dari dekat. Masak kita harus melihat wabah seperti Train to Busan–dan tidak hanya melalui angka-angka di koran online dan grup WAuntuk menyadari wabah ini benar-benar terjadi?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *