Bahasa yang digunakan di Game of Thrones tampak biasa saja. Tapi, kalau kita telisik lebih jauh, dan kita nalar penggunaannya berdasarkan apa yang ada di dunia saat ini, saya menduga Westeros atau benua utama GoT memiliki masa lalu yang kelam, sekelam kolonialisme. Atau bahkan … kolonialisme oleh White Walker. Ow Em Ji! Bagaimana bisa?
Bahasa Utama Westeros
Kalau kita melihat ketujuh kerajaan yang ada di Westeros, kita akan melihat bahwa mereka semua menggunakan Bahasa Bersama atau Common Tongue. Buat kita penonton, Bahasa Bersama itu ya bahasa Inggris. Tapi, tentu saja di Game of Thrones tidak ada yang namanya bahasa Inggris. Lha wong bangsa Inggris-nya saja tidak ada. Yang ada adalah Common Tongue yang dimengerti oleh hampir semua orang. Dan ini agak ganjil sebenarnya.
Keganjilan pertama adalah karena Westeros adalah benua yang sangat besar. Secara geografis, kita bisa melihat bahwa benua yang memanjang secara vertikal ini mencakup berbagai wilayah iklim. Di sebelah paling selatan, yaitu kerajaan Dorne, kita mendapat iklim yang tropis, atau semi tropis lah. Orang-orangnya seperti berada di kawasan Mediterania, dengan tanaman model-model anggur dan zaitun. Sementara itu, di bagian utara, di kawasan yang disebut asal manusia, kita mendapati kawasan kutub. Di situ iklimnya ya iklim kutub yang selalu bersalju. Salju ada sepanjang tahun. Jadi, bayangkan saja jarak antara bagian selatan dengan bagian utara Westeros ini seperti antara Indonesia hingga ke Yakutsks di Rusia sana. Antara Meksiko hingga Kanada sana.
Pertanyaannya sekarang, adakah di dunia ini di mana wilayah seluas itu dengan bentang alam dan iklim seberbeda itu yang memiliki bahasa yang sama? Di Indonesia yang iklimnya sama saja bahasanya sangat berbeda-beda. Memang sih di Indonesia suku-sukunya terpisahkan oleh laut, sehingga perkembangan bahasa yang berbeda-beda sangat dimungkinkan. Tapi kan tidak semuanya begitu? Lihat itu pulau Jawa. Iklimnya sama, tidak dipisahkan laut, tapi bahasanya berbeda-beda. Ada yang bahasa Jawa, ada yang Sunda, ada yang Osing, ada yang Tengger, dan ada juga lainnya.
Bagaimana dengan Westeros? Kita bisa melihat bahwa orang dari Dorne bisa memahami dengan baik bahasa orang King’s Landing, atau kawasan Utara maupun Iron Islands. Padahal, alam mereka ini berbeda-beda dan budaya mereka pun berbeda-beda.
Jelas ada yang tidak wajar di balik kesamaan bahasa di Westeros ini.
Essos Sebagai Bandingan
Sebagai perbandingan, mari kita lihat Essos. Benua yang memanjang dari timur ke barat ini memiliki keragaman bahasa dan budaya. Iklimnya sih relatif sama. Semuanya tropikal. Bentang alamnya saja yang berbeda-beda. Ada yang tampak lumayan hijau tetapi sebagian besar seperti Afrika utara dengan beberapa bagian seperti Gurun Sahara. Semua ini selaras dengan kenyataan berbahasa yang ada di sana: bahasanya beragam dan saling tidak mengerti. Kaum Dothraki nan berani dalam bertarung (di Westeros dikenal dengan “jeritan perangnya”) memiliki bahasa yang berbeda dengan orang-orang yang saling tidak mengetahui bahasanya. Orang dari Dothraki Sea tidak bisa memahami bahasa orang Yunkai dan Mereen dan orang Mereen pun butuh penerjemah untuk memahami orang Valyria.
Inilah kenyataan: Di sebuah wilayah yang bangsanya berbeda-beda dengan budaya berbeda-beda dan bentang alam yang berbeda-beda, keragaman bahasa adalah sebuah keniscayaan. Dan Essos adalah sebuah benua yang semacam itu. Dalam kondisi seperti itu, maka dibutuhkanlah seorang juru bahasa. Di Game of Thrones, kita tahu Missandei yang memahami 19 cara orang berbicara. Semestinya, kalau kita simpulkan enteng-entengan dari sini, artinya minimal ada 19 bahasa yang ada di semesta GoT ini.
Penjajahan sebagai Hipotesis
Nah, dari situlah saya menarik hipotesis bahwa ada sesuatu di Westeros ini pada masa lalu yang memungkinkan terjadinya keseragaman bahasa. Ada sebuah era kolonialisme yang memungkinkan berbagai suku bangsa di Westeros ini yang akhirnya memiliki bahasa satu, yaitu bahasa Common Tongue. Saya ingin mengajukan dua model yang akan dibahas secara los dan enteng-entengan saja, yaitu model Indonesia dan model Amerika Serikat.
Untuk model Indonesia, kita melihat bahasa persatuan atau Common Tongue yang berasal dari satu suku bangsa yang ada di kawasan ini. Di Indonesia, bahasa Melayu yang berasal dari kawasan Riau itu menyebar ke seluruh Indonesia awalnya melalui perdagangan tapi belakangan dimanfaatkan untuk kemudahan oleh kekuatan kolonial. Untuk lebih jelasnya, banyak referensi dari para ahli di Indonesia tentang bagaimana bahasa Melayu ini akhirnya meluas dan bertransformasi hingga menjadi bahasa Indonesia yang seperti kita kenal saat ini. Satu sumber yang sering saya rujuk (karena mencakup juga sedikit perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Melayu di Malaysia dan Singapura) adalah buku James Sneddon ini–pastinya banyak sumber dari pakar di Indonesia sendiri yang lebih baru dan lebih update, tapi sayangnya saya belum sempat baca.
Untuk model Amerika Serikat, kita melihat fenomena di mana bahasa yang akhirnya dipakai adalah bahasa dari luar, yang dibawa oleh kekuatan kolonial terkuat. Kedatangan orang-orang Eropa menyebabkan terpinggirnya suku-suku asli di Amerika–melalui berbagai hal, baik yang tidak sengaja pada awalnya seperti wabah hingga upaya terstruktur seperti pembantaian bison yang menjadi bahan pangan penting suku asli–hingga akhirnya matinya keragaman bahasa. Yang akhirnya terjadi adalah penggunaan bahasa paling dominan dari luar, yaitu bahasa Inggris di seluruh bentangan Amerika Utara (meskipun di Kanada juga ada penggunaan bahasa Prancis).
Bagaimana dengan Westeros, sebuah negara yang sukunya beragam dan bentang alamnya juga beragam ini? Saya punya hipotesa bahwa kawasan ini pernah dikolonialisasi, entah oleh salah satu suku yang ada di sana, maupun oleh bangsa dari tempat lain. Tapi di awal saya main-main dengan gagasan bahwa mungkin saja mereka ini pernah dikolonisasi oleh White Walker. Itu tidak mustahil, kalau kita simpulkan dari bagaimana di film Game of Thrones ini sekali-kalinya mereka bersatu adalah untuk melawan White Walker dan para prajurit tanpa nyawa. Tapi ya … kalau kita nalar lagi, terus buat apa White Walker menjajah manusia? Lha wong mereka sukanya cuma gigit-gigit orang begitu. Mana ada kebudayaan kalau orangnya semua digigiti? Ya kan? Ya Kan?
Hipotesis yang lebih masuk akal adalah bangsa Valyria datang ke Westeros untuk menguasai wilayah ini karena di tempat mereka sendiri sumber dayanya sudah habis dan kotanya hancur. Mereka ini datang (dari kawasan Essos) dengan bahasa mereka dan kemudian menjajah Westeros. Jadi, bahasa yang asalnya dari satu kawasan kepulauan di Selatan Essos ini datang ke Westeros dan mengubah peradaban. Kok bisa? Ya, kita bisa lihat bahwa bangsa Valyria ini adalah bangsa yang punya keunggulan, yaitu mereka adalah penunggang naga. Mereka punya hewan piaraan yang bisa mengalahkan semuanya. Naga di Games of Thrones adalah deux ex machina, yang bisa menyelesaikan masalah. Naga memungkinkan inovasi terciptanya “Baja Valyria,” yang ringan tapi ganas dan bisa membunuh White Walker itu. Naga memungkinkan manusia menghanguskan prajurit tanpa nyawa dengan sekali sembur.
Mungkin, pertama kali bangsa Valyria mendapat kehormatan tinggal di Westeros juga tidak terlepas dari peran mereka menyingkirkan para White Walker dengan naga dan pedang mereka ini.
Mari kita akhiri di sini karena saya sudah waktunya ngantor. Cukuplah di sini saya katakan bahwa ada masa lalu yang gelap di Westeros, yaitu masa lalu kolonialisme. Gelap di sini bisa berarti kotor tapi juga bisa berarti sekadar belum kita ketahui. Kalau dari serial Game of Thrones, kita tidak tahu pasti masa lalu ini. Mungkin kawan-kawan yang sudah membaca The Song of Ice and Fire oleh George R.R. Martin sudah tahu itu. Tapi, mengingat GoT sudah berkembang lebih dari karya induknya, saya dudukkan saja tafsiran saya ini atas serial tersebut.
Mari kita tutup dengan semboyan: Kuasai Common Tongue, Cintai keragaman Bahasa!