The Batman: Hadir Berbeda dengan Nostalgia 90-an

Ternyata postingan pertama di rumah baru ini tentang The Batman (2022) yang disutradarai oleh Matt Reeves dengan menampilkan tokoh hutama Robert Pattinson. Mari langsung masuk ke obrolan kita: The Batman adalah reboot yang tanpa henti menghadirkan nostalgia 90-an secara halus.

Oh ya, mohon dimaklumi kalau ada hal-hal yang mungkin saya ungkap dari filmnya. Tapi, sebisa mungkin, sesuai dengan genre film ini (yang cenderung ke film detektif), saya tidak akan membocorkan apa yang menjadi daya jualnya.

Nostalgia 90-an

Memang ini bukan soal baru di Hollywood. Bukan hanya soal 90-an, nostalgia era yang lalu-lalu sudah pernah terjadi di Hollywood. Sebagai contoh saja, film era 70-an banyak yang bernostalgia tentang era 50-an, era pasca perang Amerika yang sedang kaya-kayanya dengan surplus pasca Perang Dunia II. Lihatlah itu serial Happy Days yang menampilkan Henry Winkler sebagai karakter Fonzy, bad boy yang baik, mirip-mirip Lupus, atau si Boy, atau Dilan lah kalau di Indonesia. Begitu juga film-film fiksi ilmiah yang diangkat dari karya-karya Philip K. Dick. Ada beberapa yang bernostalgia dengan era 50-an.

Nah, sekarang, di sera 2020-an ini, kita bisa melihat nostalgia ke era 90-an. Saya ambil satu saja contohnya: Captain Marvel (2019). Film ini jelas nostalgia 90-an. Seluruh cerita berlangsung pada pertengahan 90-an, atau jaman MTV lah. Lagu-lagu yang ditampilkan adalah dari lagu-lagu di MTV Hot Seat seperti lagu-lagunya Nirvana, Garbage, dan lain-lain. Masih ada aura maskulinitas berlebihan dari era 80-an tapi jelas-jelas di film Captain Marvel ini dikikis habis-habisan. Sosok alien juga ternyata tidak lagi hitam putih, berbeda dengan era 80-an di mana alien adalah penjahat, yang asing dan tak dikenal adalah yang brutal (ya mirip-mirip yang sering muncul di serial kartun The Simpsons itu, di mana aliennya pasti datang untuk menguasai bumi).

Tapi, apakah The Batman juga seperti itu? Apakah dia mengulangi lagi apa yang sudah terjadi di Captain Marvel?

The Batman dari Pixabay

The Batman: Nostalgia Halus

Film superhero kita kali ini tidak sefrontal itu dalam bernostalgia. Tentu agak pelik bernostalgia secara terang-terangan dengan 90-an untuk Batman ini. Ada beberapa Batman di era 90-an itu. Agak mengganggu imajinasi kita pastinya kalau film Batman tahun ini berlatar era 90-an (sementara di imajinasi kita waktu itu ada Batmannya sendiri). Tapi tak urung, nostalgia 90-an itu pun tetap hadir.

Yang pasti tampak adalah adanya usaha untuk menjadikan si manusia kelelawar kita ini berbeda dengan kehadiran-kehadirannya sebelumnya (lewat akting Ben Affleck, Christian Bale, Michael Keaton, Val Kilmer, George Clooney, dll.). Paling tidak dengan dua kehadiran sebelumnya (Bale dan Affleck). Batman-nya Bale sangat gelap, dewasa, siap brutal. Batman-nya Affleck berani nekad, bertanggung jawab, dan dewasa serta positif. Batman-nya Pattinson seperti ini berbeda dari keduanya.

Trailer-nya cukup menipu. Dalam trailer itu, ada kesan Batman kita kali ini bakal brutal tak habis-habis. Bahkan, anak saya yang mengajak saya nonton sempat bilang bahwa Batman yang baru ini kabarnya mendapat gangguan jiwa karena trauma masa kecil. Trailer yang gelap itu mengesankan kebrutalan dan kenekadannya. Kurang lebih Batman-nya Bale dengan setting darkness digeser lebih ke kanan biar tambah gelap. Anggapan tentang gangguan kejiwaan itu pun juga tampaknya terpengaruh Batman-nya Bale yang memang digambarkan punya trauma masa kecil jatuh ke sumur tua dan juga sempat los dol waktu menghadapi Joker-nya Heath Ledger.

Tapi, yang hadir di film adalah Batman yang berbeda. Kita melihat lebih jelas wajah Batman yang tanpa topeng memang gelap, tetapi akan berubah begitu mulai berbicara dan berinteraksi dengan sekelilingnya. Lihatlah interaksinya dengan Alfred yang diperankan oleh Andy Serkis (yang akhir-akhir ini tambah sering muncul sebagai dirinya sendiri dan bukan CGI–sungkem paman Gholum!). Ada momen-momen Bruce Wayne agak dingin ke Alfred, tapi lihatlah momen-momen intim yang lain. Relasinya bikin trenyuh. Kalau mau menitikkan air mata, monggo masszeh! Intinya Batman kita ini tidak segelap Batman-nya Bale, tapi juga tidak seperti Batman motivator ala Ben Affleck.

Saya punya kecurigaan memang bahwa karakter Batman yang baru ini punya karakter era 90-an meskipun jelas-jelas berlatar di era iPhone. Era 90-an kalau kita tilik melalui film-film cenderung diwarnai semangat apolitis. Anak-anak muda (khususnya kulit putih) lebih asyik masyuk menikmati masa muda yang penuh YOLO, mengeksplorasi hubungan personal di tengah zaman pasca “kemenangan” Amerika dalam Perang Dingin (klaim kemenangan ini pernah terdengar diucapkan pemimpin dan ideolog AS meskipun tidak sedikit yang mengkritisinya). Era 90-an adalah puncaknya komedi romantik dalam sinema Hollywood dan mulai hadirnya CGI. Sementara itu, dunia musik melihat lahirnya rock alternatif, yang tidak benar-benar rock maupun pop seperti yang jelas definisinya pada era 80-an (meskipun memang akarnya di era 70- dan 80-an). Saya hanya merasa, warna-warni antara spirit apolitis, keterasingan, tapi ada benih-benih optimisme itu tertangkap di The Batman (lihat deh bagaimana satu artikel di majalah Time membahas mereka di akhir artikel di bbc ini).

Tapi, ada dua poin yang sangat terasa memberikan nostalgia 90-an ini: musik dan aura si pahlawan bertopeng. Musiknya jelas-jelas lagu “Something in the Way” dari Nirvana yang diracik ulang agar lebih sinematik (setidaknya begitu kata artikel ini). Aura kemurungan yang dibawa oleh lagu ini seolah gerimis yang mempercepat kelam (apalagi kalau sambil mengingat Kurt Cobain menyanyikannya secara akustik buat konser MTV dan kalau kita tahu kalau biografi Kurt Cobain soal lagu ini). Penonton yang tidak mengalami masa ini terbawa kemurungan saat muncul lagu ini (anak saya yang masih remaja pun mulai ngantuk dan mulai beringsut-ingsut ketika lagu ini mulai sering muncul). Penonton dari generasi MTV ada ingatan-ingatan di masa keemasan era video klip itu. Ya, sekuat itulah nostalgia 90-an menyambar dalam film ini. Generasi milenial yang sudah mulai tertarik dengan era 90-an lewat berbagai kehadiran di film-film Hollywood lainnya (atau mungkin mulai tertarik karena Vincent dan Desta suka membicarakannya) mungkin akan ikut terseret ke sana.

Nostalgia 90-an ini pun hadir kembali dalam karakter Batman yang mencoba berbeda dengan Batman-batman sebelumnya ini. Menurut artikel Brady Langman ini, setiap karakter Batman adalah gabungan dari karakter-karakter si bapak kelelawar sebelumnya, tapi memang masing-masing mencoba hadir dalam bentuk baru. Uniknya, selain karakter-karakter Batman sebelumnya (seperti saya bahas di atas), tokoh kita kali ini juga mirip karakter lain, yaitu the Crow (terutama dari serial yang dimainkan oleh Marc Dacascos). Lihatlah wajah putihnya (yang bersaing dengan wajah pucat Bruce Wayne) dan rambutnya dan murungnya. Lihat juga rumahnya yang Gothic. Ah, motornya juga. Motor Batman kita yang berkesan klasik Harley Davidson zaman perang ini lebih dekat ke Harley Davidson chopper-nya The Crow daripada motor Batman yang lebih brutal dan lancip-lancip yang dikendarai Christian Bale.

Ya, era 90-an tidak hadir dalam bentuk latarnya, tapi spirit dan ingatan-ingatannya seperti ini. Dengan nostalgia 90-an seperti ini, Batman yang ditampilkan oleh Robert Pattinson ini menjadi tokoh yang berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, meskipun di antara banyak pahlawan super dia ini termasuk yang paling sering digarap ulang dan dimainkan rupa-rupa karakter. Dalam hal ini, tak jadi soal karakternya terasa ganjil dan emo dan bermasalah seperti diakui oleh Brady Langman. Manusia lowo kita ini adalah karakter yang sudah fiks berbeda dan punya kesempatan untuk berkembang lagi–dia memang belum cukup mapan secara emosi seperti Batman-nya Ben Affleck.

Maka saya cukupkan di sini review singkat ini. Selanjutnya kita akan bahas genre detektifnya (mungkin minggu depan, saya saat bicara tentang fiksi detektif di kelas Sastra Populer yang saya ajar semester ini).

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *