Pariwisata Berkelanjutan Sebulan Penuh

Seperti tahun-tahun sebelumnya (kalau tidak khilaf), pada bulan Ramadhan tahun ini blogger Anda ini berusaha untuk menjalankan tradisi rutin menulis selama 30 hari dengan tema khusus. Setelah mempertimbangkan berbagai hal yang mungkin bermanfaat buat diri sendiri, buat para pembaca potensial, serta buat karir jangka panjang, maka tema untuk tradisi menulis selama bulan puasa ini jatuh ke: pariwisata berkelanjutan dan tulisan perjalanan.

Kenapa Pariwisata Berkelanjutan?

Tentu ini adalah pertanyaan legal untuk diajukan. Jawabannya cukup sederhana: karena pariwisata berkelanjutan adalah sesuatu yang bagus dan sedang kita butuhkan. Kita saat ini hidup di dalam dunia yang sedang menghadapi perubahan iklim (utamanya karena pembangunan yang dilakukan manusia), tidak semua orang mendapatkan keuntungan berkelanjutan dari kegiatan pariwisata yang bahkan sekilas tampak menguntungkan mereka, dan banyak hal bagus di masyarakat yang bisa tergerus bahkan sampai hilang karena kegiatan pariwisata yang tidak bertanggung jawab. Ketiga hal ini sudah mencukupi untuk membuat kita mempertimbangkan satu praktik pariwisata yang mempertimbangkan alam/planet, manusia/budaya, sambil juga tetap memberikan keuntungan/profit bagi para pelakunya.

Gambar diambil dari Pixabay karya forografer rogeriopaulocosta.

Selain itu, ada juga alasan lain kenapa kita akan bicara pariwisata berkelanjutan selama sebulan ke depan. Alasan yang satu ini sifatnya pribadi. Pada pertengahan tahun ini, berkat hibah yang didapatkan oleh Prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, tempat saya bekerja pada siang hari, saya mendapatkan kesempatan untuk mengambil kursus dan sertifikasi dari Global Sustainable Tourism Council yang di Indonesia dijalankan oleh Wise Steps Consulting. Saya ikut kursus online itu selama beberapa bulan dan pada akhir bulan ikut ujian dan lolos. Di kursus ini pula, saya jadi tahu orang-orang yang menjalankan pariwisata berkelanjutan dan bisa menunjukkan bagaimana praktik pariwisata yang bertanggung jawab ini membawa kemaslahatan bagi para pelakunya.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, sebenarnya saya sudah tertarik dengan konsep pariwisata berkelanjutan ini dari kawan-kawan di Malang. Kawan-kawan di Malang ini tepatnya adalah East Java Ecotourism Forum, sebuah forum berisi para pelaku industri pariwisata yang berfokus pada ekowisata. Awalnya saya pikir ekowisata hanya soal pariwisata yang ramah lingkungan. Belakangan, setelah mengenal kawan-kawan ini lebih jauh, sedikit demi sedikit saya mengetahui bahwa konsep “ekowisata” yang mereka usung ini memiliki akar pada “wisata berbasis masyarakat“. Dalam praktiknya, pariwisata menuntut adanya tata kelola masyarakat yang kokoh sehingga kegiatan pariwisata ini benar-benar bisa memberikan nilai tambah kepada apa yang ada sambil juga tetap menjaga keberlangsungan sosial budaya serta lingkungan. Pendeknya, triple bottom line.

Inilah yang menjadi akar kenapa akhirnya pada bulan Ramadhan ini kita akan mencoba mengulik pariwisata berkelanjutan.

Bentuk Tradisi Ramadhan

Sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tradisi Ramadhan tahun ini berupa tulisan esai yang mungkin level keseriusannya lebih tinggi. Di tahun-tahun sebelumnya, tradisi Ramadhan yang pernah saya lakukan adalah 30 hari menulis postingan blog, ada juga 30 hari menulis renungan dalam bentuk postingan IG. Kali ini kita akan menulis esai yang mungkin akan membutuhkan penggunaan rujukan dan penulisan sitasi. Struktur kalimatnya mungkin juga dibuat lebih formal. Kalau tidak benar-benar perlu, tidak akan ada kalimat majemuk bertingkat. Tapi kalau memang diperlukan kompleksitas kalimat semacam itu, maka mau tidak mau harus dilakukan.

Kenapa harus berubah gaya? Seperti disampaikan di awal postingan ini, salah satu dampak yang diharapkan bisa diperoleh dari tradisi Ramadhan tahun ini adalah penguatan karier. Harapannya, esai-esai yang diunggah di sini bisa menjadi draf awal untuk esai-esai ilmiah yang akan dipublikasikan di jurnal ilmiah. Blogger Anda ini juga orang yang perlu mengurusi kariernya di perguruan tinggi, saudara. Selama ini memang si blogger agak longgar dalam hal ini karena merasa bahwa artikel ilmiah bukanlah satu-satunya cara mengkomunikasikan ilmu pengetahuan dan hasil riset. Saat ia dia masih punya pandangan yang sama, tapi bedanya adalah kali ini dia ingin mendapat nilai orang-orang yang menilai angka kreditnya sebagai dosen yang biasanya hanya memberinya sedikit nilai karena tulisannya berbentuk “esai populer” dan dipublikasikan di media massa yang bisa diakses pembaca umum.

Jadi, tidak bisa dipungkiri bahwa postingan-postingan ini adalah sebuah usaha mendapatkan rekognisi. Jadi ya, mohon dimaklumi kalau ada kalanya tulisan-tulisan yang muncul di sini terkesan seperti orang insecure yang ingin membuktikan dirinya.

Karena alasan terakhir barusan, maka tidak semua tulisan yang dibuat dalam kegiatan menulis rutin di bulan Ramadhan ini akan ditayangkan di sini. Karena sebagian berupa draf mentah sebuah esai ilmiah yang nantinya dipublikasikan di jurnal, maka tulisan-tulisan tersebut akan diunggah di tempat lain. Sayang kan kalau misalnya nanti setelah jadi esai ilmiah malah tidak bisa dipublikasikan karena setelah dilakukan uji plagiarisme ditemukan kemiripan cukup besar dengan sebuah tulisan online (meskipun ditulis oleh dia sendiri)?

Inti dari program menulis ini adalah meluangkan minimal 20 menit sehari untuk menuangkan gagasan terkait pariwisata berkelanjutan dan catatan/narasi perjalanan. Perkara di mana akan ditayangkan, itu tidak jadi soal. Harapan saya sedikit yang saya bagi di sini nantinya bermanfaat buat para pembaca yang kesasar ke sini.

Let It Start!

Dengan demikian, mari kita mulai tradisi menulis sebulan penuh ini. Semoga bermanfaat bagi si blogger, kariernya, serta pembaca yang sampai di sini. Semoga juga yang dilakukan di sini berdampak ke pariwisata Indonesia, khususnya pariwisata Indonesia yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan demi manusia alam Indonesia, tradisi/budaya Indonesia, manusia Indonesia, dan dampaknya bagi dunia.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *